Hak Istri yang Wajib Ditunaikan Suami

Hak Istri yang Wajib Ditunaikan Suami

Teks Hadis

Dari Hakim bin Mu’awiyah, dari ayahnya, ia berkata, “Aku bertanya,

يَا رَسُولَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجِ أَحَدِنَا عَلَيهِ؟

“Wahai Rasulullah, apa hak seorang istri terhadap suaminya?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُطْعِمُهَا إِذَا أَكَلْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكتَسَيتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إلا في الْبَيتِ

“Berilah makan kepadanya ketika kamu makan; beri dia pakaian ketika kamu berpakaian; jangan memukul wajahnya; jangan mencelanya (mendoakan jelek istrinya, pent.); dan jangan memboikotnya (meng-hajr-nya), kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad, 33: 217; Abu Dawud no. 2142; An-Nasa’i dalam Al-Kubra, 8: 269; Ibnu Majah no. 1850; Ibnu Hibban, 9: 486; dan Al-Hakim, 2: 187-188. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Adab Az-Zifaf, hal. 280).

Kandungan Hadis

Kandungan pertama

Hadis ini menunjukkan bahwa suami wajib memberi makan dan pakaian kepada istri, semua ini harus sesuai dengan kemampuan suami dan dengan cara yang baik (makruf). Allah Ta’ala berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam Haji Wada’,

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan mereka (istri) mempunyai hak atas kamu berupa nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang makruf.” (HR. Muslim no. 1218)

Kandungan kedua

Dalam hadis ini terdapat dalil yang menunjukkan larangan bagi suami untuk memukul istrinya di bagian wajah. Hal ini karena wajah adalah pusat kecantikan seorang wanita. Kulit wajah itu halus dan lembut, sehingga dikhawatirkan pukulan tersebut akan terlihat di wajah, dan mungkin akan meninggalkan bekas (luka). Selain itu, wajah adalah pusat panca indera seperti mata dan telinga, yang mungkin terluka jika dipukul.

Diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الضَّرْبِ فِي الْوَجْهِ، وَعَنِ الْوَسْمِ فِي الْوَجْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memukul wajah dan menandai wajah (memberi cap pada wajah, pent.).” (HR. Muslim no. 2116)

Hadis ini menunjukkan bahwa larangan tersebut bersifat umum, artinya berlaku untuk seluruh manusia, baik itu istri, anak, murid, maupun lainnya, dan juga berlaku untuk hewan seperti keledai, kuda, domba, dan lainnya. Larangan ini lebih berat berlaku pada manusia karena alasan yang telah disebutkan.

Kandungan ketiga

Hadis ini juga menunjukkan dalil yang membolehkan memukul istri. Karena syariat tidak melarang memukul, namun hanya melarang memukul pada bagian wajah. Jika ada alasan yang mengharuskan suami mendisiplinkan (mendidik) istrinya dengan pukulan, maka suami boleh memukulnya, dengan syarat pukulan tersebut harus ringan, dan harus menghindari area wajah serta bagian tubuh lain yang dikhawatirkan akan terluka. Hal ini karena tujuan dari pukulan adalah untuk mendidik dan memperbaiki, bukan untuk melukai atau mencederai. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

“Wanita-wanita yang kalian khawatirkan akan nusyuz [1], maka nasihatilah mereka, jauhilah (boikotlah) mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)

Ayat ini menunjukkan bahwa ada tahapan dalam mendidik istri, dan memukul adalah tahap yang terakhir.

Kandungan keempat

Dalam hadis ini juga terdapat dalil yang membolehkan suami untuk menjauhi atau memboikot (meng-hajr) istrinya sebagai bentuk pendisiplinan, dengan syarat hal tersebut tidak dilakukan di luar rumah karena hal tersebut bisa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Maksudnya, suami tidak boleh meng-hajr istri dengan pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu tertentu sehingga istri tinggal di rumah sendirian.

Istri boleh diboikot atau dijauhi ketika di dalam rumah. Misalnya, tidak berbicara dengannya, atau berkata agak keras kepadanya, atau menjauhinya di tempat tidur, dengan tidur di ranjang yang sama namun tidak berhubungan suami istri. Allah Ta’ala berfirman,

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ

“Jauhilah (boikotlah) mereka di tempat tidur.” (QS. An-Nisa’: 34)

Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, juga yang dipilih oleh Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir rahimahumullah. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 5: 171; Tafsir Ibnu Katsir, 2: 257)

Tidak ada batasan waktu tertentu untuk hal ini. Adapun memboikot istri dengan tidak mengajak bicara, hal itu dibatasi tidak lebih dari tiga hari. [2]

Diriwayatkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

آلَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، وَقَعَدَ فِي مَشْرُبَةٍ لَهُ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah tidak akan berhubungan dengan istri-istrinya selama sebulan, dan beliau tinggal di atas loteng … “ (HR. Bukhari no. 5201)

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Laki-laki adalah pemimpin atas wanita”; hingga, “Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisa’: 34)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata bahwa dengan menyebutkan ayat ini, tampaklah kesesuaian antara hadis dan judul bab, karena yang dimaksud dalam ayat ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Nasihatilah mereka dan jauhilah (boikotlah) mereka di tempat tidur”; yang sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumpah tidak akan mendekati istri-istrinya selama sebulan, karena konsekuensinya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memboikot istri-istrinya. Ini menunjukkan bahwa menjauhi (memboikot) istri tidak harus di dalam rumah, namun boleh dengan pergi keluar rumah.

Para ulama berbeda pendapat dalam mengompromikan hadis ini dengan hadis lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa hajr Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu sebabnya adalah sumpah, bukan semata-mata hajr. Adapun sebagian ulama yang lain mengutamakan hadis Anas radhiyallahu ‘anhu atas hadis yang sedang dibahas, sehingga mereka membolehkan memboikot istri dengan pergi ke luar rumah. Ini adalah pendapat Al-Bukhari rahimahullah, karena setelah menyebutkan hadits Mu’awiyah bin Haidah dalam bab,

هجرة النبي – صلى الله عليه وسلم – نساءه في غير بيوتهن

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhi istri-istrinya di luar rumah”; beliau berkata,

الأول أصح

“Hadis yang pertama lebih sahih.”

Maksudnya, (hadis) memboikot istri di luar rumah itu sanadnya lebih shahih.

Pendapat lain mengatakan bahwa pembatasan yang disebutkan dalam hadis ini tidak diambil (dimaknai) secara mutlak. Namun, boleh menjauhi istri di luar rumah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah pendapat Ibnu Munir, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Ada pula yang mengatakan bahwa hal ini berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. [3] Ada juga yang mengatakan bahwa jika seorang pria hanya memiliki satu istri, maka ia memboikot di dalam rumah. Namun, jika ia memiliki lebih dari satu istri, ia memboikot mereka di luar rumah. Ini adalah pendapat Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Kandungan kelima

Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa seorang suami tidak boleh mencela istrinya, dengan menggunakan kata-kata yang buruk yang dapat menyebabkan buruknya hubungan dan timbulnya rasa tidak suka antara suami dan istri. Misalnya, “Semoga Allah memburukkanmu”; atau “Semoga Allah memerangimu”; atau “Semoga Allah melaknatmu”; dan kata-kata buruk lainnya. Sebaliknya, suami harus berbicara dengan kata-kata yang baik yang dapat membuat istri bersikap lembut, patuh, serta tertarik padanya.

Namun, seringkali kita melihat bahwa banyak orang yang memperlakukan istrinya dengan buruk dan tidak baik, kecuali mereka yang dilindungi oleh Allah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya iman, kurangnya pengetahuan, dan kurangnya pemahaman dalam agama. Begitu juga banyak istri yang berperilaku buruk terhadap suaminya. Jika iman kuat dan hati diterangi oleh ilmu, maka masing-masing akan menunaikan hak-haknya terhadap yang lain, dan hubungan baik serta perlakuan yang baik akan terus terjaga. [4]

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@29 Shafar 1446/ 3 September 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Nuzyuz adalah istri yang durhaka dalam perkara ketaatan kepada suami yang telah Allah wajibkan.

[2] Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ, فَيُعْرِضُ هَذَا, وَيُعْرِضُ هَذَا, وَخَيْرُهُمَا اَلَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ

“Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seseorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari no. 6077 dan Muslim no. 2560)

[3] Lihat Fathul Baari, 9: 301 dan 11: 568.

[4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 341-344).

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *