Jenis Gadai yang Tidak Diperbolehkan

Jenis Gadai yang Tidak Diperbolehkan

Setelah sebelumnya membahas tentang jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Tentunya, agar tidak terjatuh kepada larangan tersebut. Terdapat sebuah perkataan yang sangat menarik tentang hal ini,

عَرَفتُ الشَرَّ لا لِلشَر

لَكِن لِتَوَقّيهِ

وَمَن لَم يَعرِفِ الشَرَّ

مِنَ الخَيرِ يَقَع فيهِ

Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan tersebut, namun untuk menjauhinya. Sesungguhnya siapa saja yang tidak mengetahui keburukan di antara suatu kebaikan, dikhawatirkan akan terjatuh kepada keburukan itu.”

Adakalanya, mengetahui lawan dari kebaikan itu dibutuhkan dalam suatu keadaan. Tujuannya agar tidak terjatuh kepada keburukan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dahulu. Ketika para sahabat lainnya bertanya tentang amalan yang positif, justru Hudzaifah bertanya sebaliknya. Hal ini karena beliau khawatir akan terjerumus ke dalam amalan yang buruk itu. Beliau mengatakan,

مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي

Aku khawatir amalan buruk itu menimpaku.” [1]

Pada beberapa tulisan sebelumnya, telah jelas kaidah dalam hal gadai. Yaitu, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Adapun pada pembahasan kali ini adalah sebaliknya, yaitu membahas jenis gadai yang tidak diperbolehkan.

Jenis gadai yang tidak diperbolehkan

Kaidah kali ini adalah,

كُلُّ مَا لاَ يَجُوْزُ بَيْعُهُ لاَ يَصِحُّ رَهْنُهُ

Setiap barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak sah untuk digadaikan.” [2]

Kaidah ini adalah kaidah umum dan mencakup segala hal yang tidak diperbolehkan untuk digadaikan. Segala hal yang tidak bisa diperjualbelikan, maka tidak boleh untuk digadaikan. Baik dalam bentuk barang, manfaat, atau yang selainnya.

Alasan yang kuat mengapa tidak boleh menggadaikan hal yang tidak boleh diperjualbelikan adalah karena tidak ada manfaatnya. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menuturkan,

لأَنَّ رَهْنَ مَا لاَ يَصِحُّ بَيْعُهُ لاَ فَائِدَةَ مِنْهُ، وَالعُقُوْدُ التِي لاَ فَائِدَةَ مِنْهَا كُلُّهَا لَغْوٌ

Karena menggadaikan sesuatu yang tidak sah diperjualbelikan, tidak ada faedahnya; dan akad yang tidak ada faedahnya, maka semuanya sia-sia.[3]

Contoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkan

Berikut ini adalah beberapa contoh yang tidak boleh untuk digadaikan. Di antaranya,

Khamar

Khamar dilarang untuk digadaikan karena dilarang pula untuk diperjualbelikan. Allah telah melarangnya di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

Hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi

Termasuk dalam hal ini, hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi. Seperti anjing, babi, dan lain sebagainya. Itu semua haram untuk digadaikan karena haram untuk diperjualbelikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِن

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari,Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang hasil penjualan anjing, upah pelacur, dan bayaran dukun.” (HR. Bukhari no. 2237)

Berhala dan alat-alat musik

Termasuk juga pada kategori ini, menggadaikan berhala, alat-alat musik, seperti: gitar, piano, drum band, seruling, dan lain sebagainya. Karena para ulama mengkategorikan barang-barang tersebut haram hukumnya untuk diperjualbelikan.

Barang bukan milik sendiri atau barang milik orang lain

Kiranya hal ini sering terjadi di tengah masyarakat. Yaitu, seseorang menggadaikan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Hal ini tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Karena mengandung kezaliman kepada pemilik barang. Ini pun termasuk yang dilarang untuk diperjualbelikan. Tidak boleh bagi seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Menurut pendapat dari kalangan ulama Syafi’iyyah, akad seperti ini batal dan tidak sah. [4]

Maka, seseorang tidak boleh menggadaikan barang yang sedang ia pinjam dari orang lain atau barang yang sedang dititipkan kepadanya.

Barang yang sudah diwakafkan

Menggadaikan barang yang sudah diwakafkan pun juga tidak diperbolehkan. Karena barang yang sudah diwakafkan sudah diperuntukkan untuk kemaslahatan umum dan tentunya barang yang sudah diwakafkan juga tidak boleh diperjualbelikan.

Barang hasil curian atau maling

Ini pun banyak terjadi di sekitar masyarakat. Istilah kata sebagai “cuci tangan” dari perbuatan buruknya. Ada kalanya, maling setelah ia mencuri atau merampas barang orang lain langsung digadaikan. Maka, ini juga termasuk gadai yang tidak diperbolehkan.

Akadnya batil, jika murtahin (penerima gadaian/pemberi utang) mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, maka tidak boleh baginya untuk menerima barang tersebut. Karena akad gadai dari hal yang seperti ini tidak sah hukumnya.

Dan masih banyak lagi tentunya jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan, tidak terbatas hanya pada poin-poin yang disebutkan di atas. Poin-poin di atas adalah secara gambaran umum dan yang banyak terjadi di masyarakat kita. Tentunya gadai ini sangat erat kaitannya dengan harta.

Sehingga, bermuamalah dengan harta harus betul-betul hati-hati dan dijaga. Jangan sampai ada harta yang masuk ke dalam tubuh kita, namun ternyata harta tersebut adalah harta yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih layak (untuk tempat tinggal baginya).” (Al-Iraqi berkata, ‘Hadis dihasankan oleh At-Tirmidzi.”)

Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. .

***

Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily rahimahullah

Dan referensi lainnya.

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Shahih Bukhari no. 3411

[2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’,  9: 132

[3] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ , 9: 132

[4] Lihat Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 6: 4235

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *