Bagaimana Sikap Kita Jika Pemerintah Kebablasan dalam Toleransi Beragama?
Bagaimana Sikap Kita Jika Pemerintah Kebablasan dalam Toleransi Beragama?
Alhamdulillah, washshalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa–ash–haabihi ajma’iin
Agama Islam membolehkan secara umum bermuamalah dengan orang-orang kafir dalam urusan dunia seperti jual beli, sewa menyewa, memenuhi undangan, dan sebagainya dari beragam bentuk muamalah, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al–Mumtahanah (60): 8)
Dan juga Islam melarang seorang muslim menzhalimi pemeluk agama lain, merampas haknya, menodai kehormatannya, dan mengganggu pelaksanaan agama mereka jika dia termasuk orang yang memiliki akad perjanjian dengan kaum muslimin.
Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ – فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ketahuilah bahwa orang yang menzhalimi orang kafir yang memiliki akad perjanjian dengan Islam, atau mengurangi haknya, atau membebaninya di atas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu yang ia relakan, maka aku adalah orang yang menjadi penuntutnya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, no. 3052. Hadis ini hasan)
Tetapi ini semua bersamaan dengan keyakinan bahwa agama Islam merupakan agama yang haq dan apa yang mereka anut adalah kebathilan. Dan merupakan perkara terlarang bagi kita menanamkan kecintaan terhadap mereka & keyakinan yang mereka anut, serta wajibnya atas kita semua untuk berlepas diri dari mereka sampai mereka beriman kepada Allah, sebagaimana perkataan Ibrahim ‘alayhis salam yang diabadikan di dalam Al-Quran:
إِنَّا بُرَءَٰٓؤُا۟ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةُ وَٱلْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحْدَهُۥٓ
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al–Mumtahanah (60): 4)
Oleh karena itu, merupakan perkara yang melampaui batas jika seseorang turut ikut campur di dalam praktik agama lain dengan memberi bentuk keikutsertaan atau seperti memberi ucapan selamat atas perayaan mereka, pujian, atau sanjungan terkait agamanya dan apa yang semisalnya dengannya; sebab ini semua memberi makna keridhoan pada keyakinan yang mereka anut sedangkan ia merupakan kebathilan, dan seorang muslim tidaklah ia ridho terhadap kebathilan.
Jika Pemerintah Melampaui Batas dalam Toleransi
Adapun jika didapati sebuah pemerintahan yang melakukan perkara demikian maka yang wajib adalah bersabar dan menunaikan kewajiban nasihat dengan cara yang telah digariskan oleh syariat yaitu dengan cara rahasia, berhias dengan akhlak yang mulia, serta tetap menghormati kedudukan mereka sebagai pemimpin.
Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, maka hendaknya ia membenci perbuatannya itu dan janganlah sekali-kali ia melepaskan diri dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim, no. 1855)
Dan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda menjelaskan etika dalam memberi nasihat kepada pemimpin,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan ia lakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima maka itulah yang diharapkan, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya.” (HR. Ahmad, no. 15333. Hadis ini shahih)
Semoga Allah memberi hidayah & taufik kepada para pemimpin kaum muslimin untuk beramal sesuai syariat dan berhukum sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Aamiin
Ditulis oleh: Ustadz Habibirrahman, Lc.
Leave a Reply