Jika seorang suami telah menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka terdapat aturan yang berat jika suami tersebut (suami pertama) ingin menikah lagi dengan mantan istrinya. Suami pertama boleh kembali lagi dengan mantan istrinya jika mantan istrinya tersebut telah menikah lagi dengan laki-laki lain (suami kedua), berhubungan intim dengan suami kedua, kemudian diceraikan lagi oleh suami kedua, dan setelah masa iddah karena perceraian kedua telah selesai. Pernikahan dan perceraian dengan suami kedua ini harus berjalan secara alami (betul-betul menikah karena niat tulus ingin membangun rumah tangga yang baik dengan suami kedua), bukan karena rekayasa. Apabila pernikahan kedua ini hanya sekedar akal-akalan (rekayasa) agar wanita tersebut bisa segera kembali lagi dengan suami pertama, maka pernikahan ini disebut dengan nikah tahlil, dan hukumnya haram.
Dalam tulisan ini, akan dibahas hadis-hadis yang berkaitan dengan nikah tahlil.
Teks Hadis
Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ، ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَأَرَادَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: لَا، حَتَّى يَذُوقَ الْآخِرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ الْأَوَّلُ
“Seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga, lantas istrinya menikah dengan laki-laki lain, kemudian suami kedua menceraikannya sebelum menggaulinya, lantas suami pertama ingin menikahinya lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, maka beliau menjawab, “Tidak boleh, sampai suami yang kedua mencicipi madunya sebagaimana suami pertama merasakan madunya.” (HR. Bukhari no. 5261 dan Muslim no. 115, 1433)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang telah diceraikan (ditalak) tiga kali, maka tidak sah untuk kembali kepada suaminya kecuali setelah menikah dengan orang lain (suami kedua) dan suami kedua tersebut telah berhubungan intim dengannya. Jadi, maksud dari firman Allah Ta’ala,
حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ
“Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) adalah “berhubungan intim”.
Hal ini karena “nikah” dimaksudkan untuk “akad nikah” atau bisa dimaksudkan untuk “hubungan intim.” Sehingga, maksud “nikah” dalam ayat tersebut dijelaskan oleh hadis di atas, bahwa maksudnya adalah “hubungan intim.” Dengan kata lain, apabila wanita tersebut telah menikah dengan suami kedua dengan akad nikah yang sah, namun belum disetubuhi oleh suami kedua, maka wanita tersebut tetap tidak boleh kembali kepada suami pertama jika telah diceraikan oleh suami kedua.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
أجمعوا على أن الرجل إذا طلق امرأته ثلاثًا أنَّها لا تحل له إلَّا بعد زوج، على ما جاء به حديث النبي – صلى الله عليه وسلم -، وانفرد سعيد بن المسيب فقال: إن تزوجها تزويجًا صحيحًا لا يريد به إحلالًا، فلا بأس أن يتزوجها الأول
“Para ulama telah sepakat bahwa seorang pria yang menceraikan istrinya tiga kali, maka ia tidak akan sah kembali kepadanya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan suami lain (suami kedua), sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berpendapat bahwa jika wanita tersebut menikah dengan pernikahan yang sah dan tidak bermaksud untuk nikah tahlil, maka tidak masalah jika suami pertama menikahinya kembali (meskipun suami kedua belum menyetubuhi wanita tersebut, pent.).” (Al-Ijma’, hal. 102)
Mungkin Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah tidak mendengar atau mengetahui hadis ini, sehingga ia mengikuti makna zahir (literal) dari Al-Qur’an, yaitu semata-mata akad nikah. Al-Jassas rahimahullah berkata,
ولم نعلم أحدًا تابعه عليه، فهو شاذ
“Kami tidak mengetahui ada yang mengikuti pendapatnya, maka ini merupakan pendapat yang aneh/ganjil (syadz).” (Ahkamul Qur’an, 2: 89)
Oleh karena itu, pernikahan (akad nikah) semata tidak menjadikan wanita tersebut halal (boleh dinikahi kembali) untuk suami pertama.
Sebagian ulama menjelaskan hikmah dari pengharaman wanita tersebut untuk suami pertamanya hingga dia menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain (suami kedua), yaitu agar seorang suami tidak terburu-buru dalam menceraikan istrinya. Karena kembali kepada mantan istrinya setelah mantan istrinya tersebut menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain adalah sesuatu yang berat, karena adanya rasa cemburu dan juga gengsi dari laki-laki, terutama jika suami kedua adalah musuh atau pesaing dari suami pertama. (Shafwatul Atsar wal Mafahim, 3: 105)
Kandungan kedua
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita tersebut boleh kembali kepada suami pertama jika telah terjadi hubungan intim dengan suami kedua. Hubungan intim yang dilakukan tersebut adalah hubungan intim yang sempurna, sehingga masing-masing pihak merasakan kenikmatan hubungan tersebut. Syaratnya adalah bahwa suami kedua menikahi wanita tersebut dengan tujuan dan niat yang tulus untuk menjaga hubungan pernikahan (membangun rumah tangga) dan bukan dengan niat untuk nikah akal-akalan agar wanita tersebut bisa segera kembali ke suami pertama. Jika pernikahan tersebut hanya akal-akalan saja, maka wanita tersebut tidak akan halal untuk suami pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Selain itu, pernikahan tersebut haruslah akad nikah yang sah. Al-Wazir bin Hubayrah rahimahullah berkata,
اتفقوا على أنَّه إنما يقع الحل بالوطء في النكاح الصحيح
“Para ulama sepakat bahwa wanita tersebut menjadi halal (dinikahi lagi oleh suami pertama) hanya jika telah terjadi hubungan intim dalam pernikahan yang sah (dengan suami kedua).” (Al-Ifshah, 2: 159)
Jika pernikahan tersebut tidak sah, seperti pernikahan syighar atau pernikahan tanpa wali, maka hal itu tetap tidak bisa menghalalkan wanita tersebut, karena Allah Ta’ala berfirman,
حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ
“Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)
Adapun pernikahan yang fasid (tidak sah secara syariat), itu sama saja tidak ada karena syariat tidak mengaitkan hukum syar’i pada pernikahan yang tidak sah.
Dalam ayat ini ada syarat ketiga, yaitu kedua pihak harus dapat menegakkan batasan-batasan Allah dengan memberikan hak masing-masing dan berbuat baik dalam pernikahan, serta tidak melakukan pelanggaran yang sama yang mengakibatkan perceraian tiga kali. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika dia menceraikannya (lagi), maka wanita itu tidak halal baginya setelah itu hingga dia menikah dengan suami yang lain. Jika suami yang baru menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya jika mereka (suami pertama dan mantan istri) kembali bersama, jika mereka merasa dapat menegakkan batasan-batasan Allah. Itulah batasan-batasan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230)
Kandungan ketiga
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari “العسيلة” dalam hadis ini:
Pertama: Yang dimaksud adalah hubungan intim, yaitu (maaf) memasukkan kepala zakar ke dalam farji (kemaluan wanita), meskipun tidak terjadi inzal (ejakulasi). Karena tujuan dari “mencicipi madu” atau “mencicipi kenikmatan” itu bisa dicapai dengan hubungan intim, meskipun tidak sampai inzal. Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama.
Kedua: Yang dimaksud adalah inzal, dan penghalalan hanya terjadi dengan adanya inzal. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri rahimahullah, yang sepertinya berpendapat bahwa merasakan kenikmatan tersebut hanya dapat terjadi dengan adanya inzal. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
***
@29 Shafar 1446/ 3 September 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 274-276).
Leave a Reply