“Suatu ketika, beberapa orang tawanan dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba ada seorang wanita dalam tawanan itu bingung mencari anaknya. Beberapa saat kemudian, ia melihat anak kecil dalam rombongan tawanan tersebut, lalu ia pun mendekapnya di perutnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Menurut kalian, apakah wanita ini tega melemparkan anaknya ke dalam api?’ Kami menjawab, ‘Tidak, demi Allah.’ Beliau bersabda, ‘Sungguh, Allah itu lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya melebihi sayangnya perempuan ini kepada anaknya.’” [1]
Inilah mengapa kasih sayang yang dimiliki seseorang kepada orang lain tidak akan bisa sempurna dan diberikan secara totalitas. Namun, Rabb kita, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak demikian. Kasih sayang Allah begitu besar dan sempurna kepada seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana Allah berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” [2]
Dalam Tafsir Al-Muyassar, dijelaskan bahwa sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian dalam setiap perkara yang Allah perintahkan untuk kalian kerjakan dan perkara yang Allah larang untuk kalian lakukan. [3] Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan dalam tafsirnya, “Kemudian Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya, ‘Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.’ Dan di antara bentuk rahmat-Nya adalah Allah melindungi darah dan harta-harta kalian, memeliharanya, dan melarang kalian dari melanggar kehormatannya.” [4]
Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu
Allah ‘Azza Wa Jalla yang telah memberikan kepada kita kehidupan dan telah menciptakan apa yang ada di bumi ini untuk kepentingan manusia. Allah berfirman,
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.” [5]
Syekh As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala menafsirkan ayat ini, “Dia menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini sebagai suatu kebaikan dan kasih sayang untukmu agar dapat diambil manfaatnya, dinikmati, dan dijadikan pelajaran. Di dalam ayat yang mulia ini, terdapat sebuah dalil yang menunjukkan bahwasanya segala sesuatu itu pada dasarnya adalah mubah dan suci, karena disebutkan dalam kerangka suatu anugerah. Dengan dalil (nash) tersebut, maka hal-hal yang kotor tidak termasuk di dalamnya. Dan sesungguhnya keharaman hal-hal yang kotor itu pun telah diambil dari pemahaman utama ayat ini, penjelasan akan maksudnya dan bahwasanya Allah menciptakannya untuk kemaslahatan kita. Maka, apa pun yang ada bahayanya dalam hal itu, maka tidak termasuk di dalamnya. Dan sebagai penyempurnaan nikmat-Nya, Dia melarang kita dari hal-hal yang kotor demi untuk membersihkan kita.” [6]
Bahkan, Allah telah menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan tanpa kita memintanya. Sebagai contoh, apakah kita pernah meminta kepada Allah agar pada hari itu kita bisa menghirup udara dengan baik, atau kita bisa berjalan dengan baik, atau apakah kita pernah meminta agar kita bisa makan pada hari itu? Jarang sekali di antara kita untuk meminta hal-hal yang seperti ini. Tetapi, inilah bentuk kasih sayang Allah yang begitu besar kepada kita. Tanpa kita meminta, Allah telah memberikan segala apa yang kita butuhkan pada hari itu. Dan kita baru akan sadar setelah nikmat-nikmat itu Allah cabut dari kita. Barulah kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar nikmat itu dikembalikan. Tentu, kalau kita diminta untuk menghitung segala nikmat yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan, kita tidak akan bisa menghitungnya. Allah berfirman,
وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [7]
Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya, “Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [8]
Apabila kita sekiranya dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang telah kita terima dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada kita, kita tidak akan mampu untuk melakukannya karena kelalaian dan lemahnya diri kita. Namun, Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa mencurahkan nikmat-Nya kepada hamba-Nya setiap saat, walaupun hamba tersebut masih kurang dalam bersyukur atau bahkan melakukan kemaksiatan. Na’udzubillahi min dzalik.
Sudah selayaknya bagi seorang hamba yang telah menerima nikmat yang begitu banyak untuk bisa bersyukur kepada Allah. Bersyukur dengan meyakini bahwa semua nikmat yang ia peroleh, semuanya dari Allah, kemudian bersyukur dengan mengucapkan hamdalah dan memperbanyak zikir kepada Allah serta bersyukur dengan memanfaatkan segala nikmat yang Allah berikan untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang pandai bersyukur.
[Bersambung]
Baca juga: Menebar Kasih Sayang
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Muttafaqun ‘alaihi.
[2] Surah An-Nisa’ ayat 29.
[3] Tafsir Al-Muyassar.
[4] Taisir Al-Karimi Ar-Rshman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 177.
[5] Surah Al Baqarah ayat 29.
[6] Op.cit, hal. 37.
[7] Surah An-Nahl ayat 18.
[8] Op.cit, hal. 500.
Leave a Reply