Ini Shalawatan? Kok Mirip Konser ya?

Ini Shalawatan? Kok Mirip Konser ya?

Ini Shalawatan? Kok Mirip Konser ya?

3 hours yang lalu
Ini Shalawatan? Kok Mirip Konser ya?

Ini Shalawatan? Kok Mirip Konser ya?

Diantara kenikmatan terbesar yang Allah berikan kepada umat manusia adalah dengan diutusnya seorang Nabi yang menuntun kita kepada jalan menuju kebahagiaan dan memperingatkan dari jalan kesengsaraan. Seorang Nabi yang sangat cinta kepada umatnya, yang menunggu umatnya di telaganya kelak di akhirat, serta akan memberi syafaat bagi umatnya. Beliau adalah Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alayhi wasallam, kekasih Allah serta penutup para Nabi dan Rasul sebelumnya. Beliau memiliki jasa yang sangat besar pada kita, melalui perantara beliaulah kita bisa mendapatkan hidayah Islam.

Maka sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk mencintai beliau. Bahkan ini merupakan bukti keimanan seorang mukmin, dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahualayhi wasallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ، حتَّى أكُونَ أحَبَّ إلَيْهِ مِن والِدِهِ ووَلَدِهِ والنَّاسِ أجْمَعِينَ)

“Tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya, serta seluruh manusia. (HR. Bukhari, no. 15)

Diantara tanda kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alayhi wasallam adalah dengan bershalawat kepada beliau, terutama ketika mendengar nama beliau disebut, sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

(البخيلُ الذي من ذُكِرْتُ عندَه فلم يُصَلِّ عليَّ(

“Orang yang bakhil adalah yang (mendengar) namaku disebut disisinya namun tidak bershalawat kepadaku. (HR. Tirmidzi, no. 3546, hadis sahih).

Bershalawat kepada Nabi shallallahualayhi wasallam adalah sebuah perintah yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya dengan perintah yang Allah mulai dari diri-Nya lalu para malaikat dalam firman-Nya,

﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾

“Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya bershalawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkan dengan penuh penghormatan kepadanya. (QS. AlAhzab (33): 56)



Maka sudah sepantasnya kita memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahualayhi wasallam.

Namun sebuah hal yang sungguh sangat disayangkan dimasa ini adalah munculnya sekelompok orang yang berkumpul untuk bersama-sama bershalawat kepada Nabi shallallahualayhi wasallam dengan diiringi dengan alat-alat musik, dan tidak jarang terjadi campur baur antara laki-laki dengan perempuan pada acara tersebut, yang dikenal dengan istilah konser shalawat.

Marilah kita menimbang beberapa hal yang terjadi pada konser shalawat dengan perspektif para ulama terdahulu, para salafus shalih.

Pertama, Penggunaan Alat Musik pada “Konser Shalawat

Pemakaian alat musik telah diingkari oleh para ulama, baik dari ulama madzhab Syafi’i maupun selainnya, diantaranya adalah:

Imam AlGhazali1 berkata, “Alat musik dan alautar (alat musik yang dipetik) adalah haram”2

Ibnu Hajar AlHaitami3 menukilkan perkataan dari Imam Qurtubi4, “Adapun seruling, alautar, drum, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang keharaman mendengarkannya. Dan aku tidak pernah mendengar dari seorangpun yang didengarkan ucapannya dari kalangan salafus shalih (ulama terdahulu) dan para ulama zaman akhir yang membolehkannya. Bagaimana tidak akan dilarang, sedangkan (alat musik) adalah syi’ar (tanda) dari para pemabuk, orang fasik, (musik juga) membangkitkan syahwat, kerusakan, dan kegilaan. Yang seperti ini tidak diragukan lagi keharamannya, tidak pula diragukan kefasikan orang yang melakukannya, serta tidak diragukan dosanya.5

Bila alat musik adalah haram dan merupakan tanda kefasikan, maka tidak boleh dicampurkan dengan kesucian dan kesakralan ibadah, baik itu shalawat maupun selainnya.

Kedua, Shalawat Berjamaah dengan Satu Suara dengan Keras

Shalawat dengan cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, maupun para salafus shalih. Imam Asy-Syatibi6 mengomentari tentang dzikir bersama-sama dengan suara keras, termasuk di dalamnya adalah bershawalat bersama-sama dengan sura keras. Beliau berkata, “Maka seandainya hal tersebut (dzikir dengan bersamasama dengan satu suara) adalah benar, maka para salafus shalih pasti lebih mengetahuinya, memahaminya, dan mengamalkannya, namun ternyata tidak. Maka manakah ayat dari Al-Quran dan (hadis) dari sunah (yang memerintahkan) untuk berkumpul dan berdzikir dengan satu suara yang dikeraskan? Padahal Allah berfirman,

﴿ ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ﴾

“Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan rendah hati dan suara yang lirih. Sungguh Dia tidak menyukai orang yang melampaui batas. (QS. AlA’raf (7): 55).”7

Ketiga, Campurbaur antara Laki-Laki dan Perempuan

Tidak jarang pula dalam acara konser shalawat terjadi campur baur antara lelaki dengan perempuan. Bahkan ada yang sampai menari-nari ketika bershalawat, wal’iyadzubillah. Maka manakah nilai-nilai Islam dan ibadah ada pada acara seperti ini. Imam Nawawi berkata, “Bercampurbaur (laki-laki) dan wanita merupakan hal yang dapat membawa kepada kerusakan.8

Melihat pada perkataan para ulama terdahulu pada sebagian kemungkaran yang ada sudah jelas menunjukkan bahwa konser shalawat bukanlah tata cara shalawat yang dituntunkan oleh Rasulullah, karena didalamnya terdapat kemungkaran dan keharaman. Sungguh mengherankan bagaimana mungkin seseorang beribadah dan mendekatkan diri pada Allah mencampurkannya dengan kebathilan dan keharaman. Dua hal yang bertolak belakang, Allah berfirman,

﴿ وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ﴾

“Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebathilan. (QS. AlBaqarah (2): 42).

Lalu marilah kita jujur, apakah bentuk shalawat yang semacam ini akan melunakkan hati, menambah kecintaan pada Rasulullah shallallahualayhi wasallam dan mendekatkan diri pada Allah? Ataukah justru sebaliknya?

Lalu bila ada yang mengatakan tidak boleh melarangnya karena bagaimanapun juga shalawat adalah ibadah yang agung. Maka kita jawab: betul shalawat kepada Nabi adalah amal ibadah yang agung, oleh karenanya haruslah kita agungkan dengan melakukannya sesuai dengan yang dituntunkan oleh Nabi shallallahualayhi wasallam, dan diamalkan oleh para sahabat, serta para salafus shalih, bukan dengan mencampurkannya dengan kebid’ahan, kemaksiatan, dan kebathilan.

Ibnul Hajj9 melarang kebiasaan sebagian orang di zamannya yang mengkhususkan waktu-waktu tertentu yang tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahualayhi wasallam untuk bershalawat, beliau berkata, “Demikian pula sepantasnya untuk melarang mengerjakan hal yang dibuat-buat dari (mengkhususkan) shalawat dan salam pada Nabi (dengan cara tertentu) ketika terbit fajar. Walaupun shalawat dan salam pada Nabi termasuk ibadah yang paling agung dan paling mulia, akan tetapi dalam mengerjakannya harus sesuai dengan tuntunan yang dituntunkan (oleh Nabi), maka tidak boleh meletakannya kecuali pada tempat yang dikhususkan untuknya. Tidakkah kamu melihat bahwa membaca Al-Quran adalah termasuk dari ibadah yang agung, namun demikian kita tidak boleh membacanya ketika ruku’, sujud, maupun ketika duduk, yaitu duduk dalam shalat.10

Apabila shalawat dan salam pada Nabi shallallahualayhi wasallam dengan cara yang sesuai dengan tuntunannya, namun mengkhususkan waktu yang tidak dikhususkan oleh Nabi shallallahualayhi wasallam maupun para sahabat dilarang oleh Ibnul Hajj, maka bagaimana seandainya beliau melihat fenomena konser shalawat yang terjadi di zaman ini? Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan kebathilan, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang banyak bershalawat kepada Rasulullah sesuai dengan tuntunannya, serta mendapatkan syafaat dari beliau kelak dihari kiamat.

Ditulis oleh: Ustadz Riza Taufiq Al Madina, Lc., M.A.

Perpustakaan Masjid Nabawi, Madinah. 8 Rabiul Awal 1446 H.

Daftar Pustaka:

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail .(1422 H). Shahih Bukhari. Daar Tuq An-najah.

At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa. (1975). Sunan At-Tirmidzi. Mesir: Syarikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa Al Halabi.

Al-Albani, Muhammad Nashirudin. (1985). Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil. Beirut: Al-Maktabah Al-Islami.

Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad. (1996). Al-Wasith fil Madzhab. Mesir: Darus Salam.

An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab. Damaskus: Dar Al-Fikar.

Ibnul Hajj, Muhammad bin Muhammad. Al-Madkhal. Dar At-Turats.

Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-I’tisham. Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra.

Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. (1985). Siyar A’lam An-Nubala. Muassasah Ar-Risalah.

Al-Haitami, Ahmad bin Muhammad bin Hajar. Az-Zawajir ‘an Iqtiraf Al-Kabair. Damaskus: Dar Al-Fikar.

1 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazzali, ulama Madzhab Syafii abad ke5 hijriah.

2 Al-wasith fil Madzhab jilid 7 halaman 350.

3 Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitami, ulama besar Madzhab Syafii abad ke10 hijriah.

4 Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, ulama ahli tafsir abad ke7 hijriah.

5 AzZawajir ‘an Iqtiraf AlKabair jilid 2 halaman 337.

6 Ibrahim bin Musa Asy-Syatibi, ulama abad ke8 hijriah.

7 AlI’tisham jilid 1 halaman 342.

8 AlMajmu’ Syarah AlMuhadzab karya Imam Nawawi jilid 3 halaman 490.

9 Muhammad bin Muhammad Al-Fasi ibnul Hajj, ulama dari abad ke8 hijriah.

10 AlMadkhal, karya Ibnul Hajj jilid 2 halaman 250.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *