Ada Apa dengan Shalawat Nariyah?

Ada Apa dengan Shalawat Nariyah?

Ada Apa dengan Shalawat Nariyah?

10 hours yang lalu
Ada Apa dengan Shalawat Nariyah?

Ada Apa dengan Shalawat Nariyah?

Alhamdulillaah, washshalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa–ash–haabihi ajma’iin

Telah diketahui bersama bahwa shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam merupakan termasuk sebaik-baik amalan dan di antara dari sebaik-baik ketaatan yang hendaknya diperbanyak oleh seorang muslim dalam kesehariannya. Dengan memperbanyak shalawat terdapat limpahan pahala, pengampunan dosa, pemenuhan hajat dan raihan tempat yang istimewa di akhirat kelak.

Akan tetapi hendaknya bagi seorang muslim untuk tidak melampaui batas syari’at dalam perkara shalawat ini, di antaranya adalah dengan tidak mengada-adakan lafazh shalawat yang ia tekuni pengamalannya layaknya sesuatu yang disyariatkan lalu ia membatasi keutamaan dan fadhilahnya tanpa berpedoman pada nash Al-Quran dan As-Sunnah; sebab ranah keutamaan & fadhilah merupakan bagian dari ajaran syariat, sedang syariat itu mesti terbangun di atas pondasi dalil yang shahih.

Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

‌من ‌عَمِلَ ‌عَمَلًا ‌لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang bukan bagian dari perkara kami maka hal tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)

Di antara lafazh shalawat yang diada-adakan -walaupun asal perkara shalawat adalah hal yang disyariatkan- adalah apa yang orang-orang istilahkan dengan shalawat ‘Naariyyah’ yang dianggap barangsiapa yang membacanya sebanyak 4444 kali maka ia akan mendapatkan sekian keutamaan. Ia berbunyi:

اَللّٰهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَــمَّدِ  الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضٰى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىٰ اٰلِهِ وِصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Artinya: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang mulia hujan pun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.”

Shalawat ini, bersamaan dengan statusnya yang masuk dalam ranah bid’ah disebabkan adanya pembatasan jumlah dan fadhilah yang tidak ada asalnya dalam syariat; ia juga mengandung penyelisihan aqidah yang zhahir, dimana ia memberi kandungan bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dapat memenuhi kebutuhan, melepaskan kesulitan, mengabulkan harapan, dan menurunkan hujan, sedangkan perkara-perkara ini semua merupakan kekhususan Rabb subhanahu wata’ala yang tidak ada satu makhluk pun yang membersamai-Nya.



قُل لَّآ أَمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ

“Katakanlah (wahai Rasulullah): “Aku tidak berkuasa menarik manfaat untuk diriku dan tidak (pula) menolak mudharat kecuali apa yang dikehendaki Allah.” (QS. Al-A’raaf (7): 188)

وَهُوَ ٱلَّذِى يُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ مِنۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوا۟ وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُۥ ۚ وَهُوَ ٱلْوَلِىُّ ٱلْحَمِيدُ

“Dan Dialah (Allah) Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha mengurusi urusan hamba-hamba-Nya lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syuura (42): 28)

أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَآءَ ٱلْأَرْضِ ۗ أَءِلَٰهٌ مَّعَ ٱللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang yang sedang dalam kesulitan berat apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran.” (QS. An-Naml (27): 62)

Dan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam sendiri apabila ditimpa kesempitan maka beliau shallallahu ‘alayhi wasallam memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar dibebaskan dari kesempitan.

Juga di akhir kalimat pada shalawat ini terdapat makna pembatasan akan jumlah bilangan ilmu Allah subhanahu wata’ala, sedangkan ilmu Allah subhanahu wata’ala itu meliputi segala sesuatu, tak terbatas dengan jumlah.

وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah (2): 282)

Sekiranya kita menghapus kata (به) dan menggantinya dengan kata (بها) yang dhamirnya kembali pada shalawat itu sendiri, maka makna dari shalawat ini akan sedikit terluruskan dan akan seperti ini:

اَللّٰهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَــمَّدِ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهَا الْعُقَدُ

Sebab shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam merupakan ibadah yang menjadi sebab dihilangkannya kesempitan dan kegundahan atas izin Allah subhanahu wata’ala.[1]

Yang lebih baik bagi seorang muslim agar menjauhi lafazh shalawat ini dan lebih mendahulukan lafazh shalawat yang telah tetap dalam As-Sunnah, dimana ia lebih baik bagi seorang hamba, lebih selamat, dan lebih mendatangkan maslahat bagi agamanya dan dunianya.

 

Referensi:
[1] Lihat: Majmu’ Rasaail Muhammad ibn Jamil Ziinu: 1 l 227-228.
 

Penulis: Ustadz Habibirrahman, Lc.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *