Dalam kehidupan rumah tangga, setiap anggota keluarga memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Suami bertanggung jawab atas keluarganya, sementara istri bertugas mengurus rumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ ومَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ؛ فَالإِمَامُ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، والرَّجُلُ في أهْلِهِ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، والمَرْأَةُ في بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وهي مَسْؤُولَةٌ عن رَعِيَّتِهَا

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya, dan dia bertanggung jawab atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab atas tanggung jawabnya.” (HR. Bukhari no. 2278 dan Muslim no. 1829)

Namun, di zaman sekarang, banyak istri yang juga bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga, atau untuk alasan syar’i lainnya. Artikel ini akan membahas poin-poin penting tentang permasalahan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua.

Istri yang bekerja

Secara umum, posisi ideal seorang istri adalah di rumahnya, fokus pada tanggung jawab utamanya, yaitu mendidik anak-anaknya dan mengurus rumah serta suaminya. Namun, bekerja (di luar rumah) bukanlah sesuatu yang haram jika dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syariat. Bahkan, ada kondisi tertentu di mana bekerja bagi seorang wanita menjadi wajib atau dianjurkan, tergantung situasi dan kebutuhan. Sebaliknya, pekerjaan menjadi terlarang jika bertentangan dengan aturan-aturan syariat.

Dalam hadis riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa bibi Jabir pernah bercerai dan ingin keluar untuk mengurus kebunnya. Seorang pria mencegahnya, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بَلَى فَجُدِّي نَخْلَكِ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا

Tidak, keluarlah dan urus kebunmu, mungkin engkau akan bersedekah atau melakukan kebaikan.” (HR. Muslim no. 1483) [1]

Penghasilan istri, apakah menjadi milik suami?

Seorang istri memiliki hak penuh atas gaji atau pendapatan yang diperolehnya. Tidak ada yang berhak mengambilnya tanpa kerelaan dari sang istri. Syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita memiliki hak kepemilikan finansial yang independen. Hal ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka dengan senang hati memberikan sebagian dari maskawin itu kepadamu, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa’: 4)

Ayat ini menunjukkan bahwa mahar adalah hak milik wanita, dan tidak ada seorang pun yang berhak mengambilnya, kecuali dengan kerelaan dari pihak wanita tersebut. [2]

Oleh karena itu, tindakan orang tua atau kerabat atau suami yang mengambil sebagian dari pendapatan istri tanpa kerelaan, baik karena tekanan sosial atau alasan lainnya, merupakan bentuk pemanfaatan yang tidak dibenarkan. Allah Ta’ala melarang tindakan semacam ini dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29) [3]

Membantu suami dalam kebutuhan rumah tangga

Seorang istri hendaknya berinisiatif membantu suaminya. Jika seorang wanita memberikan sebagian dari gajinya kepada ayah, saudara laki-lakinya, atau yang lainnya dengan kerelaan hati, bukan karena rasa malu atau tunduk pada tradisi yang tidak adil, maka mereka boleh menerimanya. Suami juga diperbolehkan mensyaratkan sebagian dari gaji istrinya yang bekerja sebagai imbalan atas izinnya untuk bekerja, karena pekerjaan tersebut mungkin menyebabkan terganggunya ketenangan dan kenyamanan di rumah. Hal ini harus didiskusikan dengan kesepakatan antara keduanya.

Selain itu, seorang istri dianjurkan untuk membantu suaminya dalam kebutuhan rumah tangga jika suaminya sedang mengalami kesulitan finansial, dan ia dapat mengharapkan pahala dari Allah. Sebagaimana Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallah ‘anhu, yang bekerja, dan ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah cukup (diterima) jika aku memberi nafkah kepada suamiku dan anak-anak yatim yang ada di bawah asuhanku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

نعم، لها أجران أجر القرابة وأجر الصدقة

Ya, kamu mendapatkan dua pahala, pahala karena hubungan kerabat dan pahala sedekah.” (HR. Bukhari no. 1397)

Wanita tersebut bersedekah secara sukarela dan hal itu tidak menjadi kewajiban baginya. [4]

Baca juga: Hak Istri yang Wajib Ditunaikan Suami

Apakah menggugurkan kewajiban nafkah suami?

Permasalahan ini merupakan permasalahan yang banyak perincian, dan juga banyak terjadi silang pendapat di kalangan para ulama.

Namun, secara ringkas, jika suami merestui pekerjaan istrinya di luar rumah dan memberikan izin untuk itu, maka kewajiban suami untuk memberikan nafkah bagi istri tidak gugur. Sebab, istri telah mengabaikan hak suami dengan izinnya dan persetujuannya. Dengan demikian, seorang istri yang bekerja di luar rumah tetap berhak menerima nafkah dari suaminya selama pekerjaannya dilakukan dengan izin suami. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Wallahu a’lam. [5]

Adab ketika istri bekerja di luar rumah

Terdapat banyak adab yang berkaitan dengan seorang istri yang bekerja. Di antara yang paling penting adalah:

Pertama: Tidak merasa lebih tinggi dari suami

Nafkah adalah salah satu pilar kepemimpinan yang Allah berikan kepada laki-laki, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)

Jika seorang wanita bekerja dan memperoleh penghasilan, hal itu tidak boleh membuatnya merasa lebih tinggi dari suaminya atau menentang kepemimpinan yang Allah berikan kepada suami. Wanita tersebut harus sadar bahwa meskipun Islam membolehkan seorang wanita untuk mencari nafkah, penghasilannya tidak boleh membuatnya merasa lebih superior atau mengambil alih kepemimpinan di rumahnya. Sikap ini dapat menyebabkan kehancuran rumah tangga. Lebih dari 45% sebab perceraian adalah karena hal ini. Wallahu a’lam. [6]

Kedua: Tidak mengabaikan hak suami atau anak-anak

Para ulama menetapkan bahwa seorang istri yang keluar untuk bekerja dengan pekerjaan yang diperbolehkan tidak boleh mengabaikan hak suami dan anak-anaknya. Para ulama mendasarkan hal ini pada banyak dalil. Salah satunya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Abdullah, apakah aku mendengar bahwa engkau terus-menerus berpuasa di siang hari dan bangun untuk salat di malam hari?” Abdullah menjawab, “Benar, wahai Rasulullah!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فلا تفعل؛ صُمْ وأفطر، وقم ونم؛ فإن لجسدك عليك حقًّا، وإن لعينك عليك حقًّا، وإن لزوجك عليك حقًّا، وإن لزَورك عليك حقًّا …

Jangan lakukan itu! Berpuasalah dan berbukalah! Bangunlah untuk salat dan tidurlah, karena tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, istrimu memiliki hak atasmu, dan tamumu memiliki hak atasmu … ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa seorang muslim memiliki kewajiban untuk memenuhi hak dirinya dan keluarganya. Oleh karena itu, seorang wanita yang bekerja tidak boleh mengabaikan hak suami dan anak-anaknya. [7]

Ketiga: Keluar rumah sebatas kebutuhan

Allah Ta’ala telah memerintahkan istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap di rumah, dan wanita-wanita umat ini mengikuti jejak mereka dalam hal ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan tinggallah kalian di rumah kalian, dan janganlah kalian memperlihatkan perhiasan kalian seperti kebiasaan orang-orang jahiliah yang pertama.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Ibnu Katsir, semoga Allah merahmatinya, berkata,

وقوله تعالى: ﴿ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ ﴾؛ أي: الزَمْنَ فلا تخرجن لغير حاجة

Dan firman Allah وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ berarti tinggalilah, maka janganlah kalian keluar, kecuali untuk kebutuhan.” [8]

Keempat: Berpegang pada hijab syar’i

Janganlah wanita menampakkan sebagian auratnya kepada orang asing, kecuali apa yang memang terlihat dari pakaian luar. Allah Ta’ala berfirman,

وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها ، وليضربن بخمرهن على جيوبهن …

Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka …” (QS. An-Nur) [9]

Kelima: Menghindari campur baur (ikhthilath)

Para ulama menyatakan bahwa campur baur antara pria dan wanita diharamkan berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (hadis no. 5272, dihasankan oleh Al-Albani) dari Usaid bin Hudhair, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika keluar dari masjid dan pria-pria bercampur dengan wanita di jalan, beliau berkata kepada wanita,

استأخِرْنَ ؛فإنه ليس لكن أن تَحْقُقْنَ الطريقَ عليكن بحافَاتِ الطريقَ

Berjalanlah di belakang (para pria), karena bukanlah hak kalian (para wanita) untuk berjalan di tengah jalan. Kalian harus berjalan di pinggir jalan.” Yang dimaksud dengan ‘berjalan di tengah jalan’ adalah berjalan di tengah-tengah.

Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang wanita untuk berjalan di tengah jalan agar tidak bercampur dengan pria, melainkan mereka harus menghindari campur baur tersebut dengan berjalan di tepi jalan. Ini merupakan bukti bahwa campur baur antara wanita dan pria asing itu diharamkan, karena itulah makna larangan tersebut. [10]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ولا ريب أن تمكين النساء من اختلاطهن بالرجال : أصل كل بلية وشر ، وهو من أعظم أسباب نزول العقوبات العامة ، كما أنه من أسباب فساد أمور العامة والخاصة…

Tidak diragukan lagi bahwa memberi kesempatan kepada wanita untuk bercampur dengan pria adalah akar dari segala keburukan dan bencana, serta merupakan salah satu penyebab terbesar turunnya hukuman secara umum, seperti juga merupakan salah satu penyebab kerusakan urusan umum dan pribadi …[11]

Ringkasan

Peran utama seorang istri adalah mengurus rumah. Istri diperbolehkan bekerja di luar rumah selama sesuai dengan syariat. Istri memiliki hak atas penghasilan yang diperolehnya dan suami tidak boleh mengambilnya tanpa izin. Meskipun demikian, istri harus tetap memenuhi kewajiban kepada keluarga dan menjaga adab, seperti tidak merasa lebih tinggi dari suami, menjaga hijab syar’i, dan menghindari ikhtilath. Suami tetap berkewajiban memberikan nafkah meskipun istri bekerja, selama pekerjaan tersebut dilakukan dengan persetujuan suami. Wallahu a’lam.

Demikian, semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua.

Baca juga: Besaran Nafkah Suami kepada Istri

***

Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiulawal 1446 H

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi Utama:

Asasiyyat fii Al-Iqtishad Al-Manzili, Dr. Labib Najib Abdullah, Darul Muqtabas – Suriah, cet. ke-1, 2017 M.

Atsar ‘Amalil Mar’ah fii An-Nafaqah Az-Zaujiyyah, Prof. Dr. Abdus Salam Muhammad Asy-Syuwai’ir, Jami’ah Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah – Saudi, cet. ke-1, 1432.

 

Catatan kaki:

[1] Asasiyyat fii Al-Iqtishad Al-Manzili, hal. 47.

[2] Asasiyyat fii Al-Iqtishad Al-Manzili, hal. 44.

[3] Asasiyyat fii Al-Iqtishad Al-Manzili, hal. 50.

[4] Asasiyyat fii Al-Iqtishad Al-Manzili, hal. 50-51.

[5] Atsar ‘Amalil Mar’ah, hal. 41.

[6] Asasiyyat fii Al-Iqtishad Al-Manzili, hal. 51.

[7]

[8] idem

[9]

[10]

[11] Al-Turuq Al-Hukmiyyah, hal. 238.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *