Hukum Nikah Mut’ah (Bag. 2)

Hukum Nikah Mut’ah (Bag. 2)

Kandungan Hadis (Lanjutan)

Kandungan keempat: Kapan nikah mut’ah dilarang sampai hari kiamat?

Para ulama sepakat bahwa nikah mut’ah itu haram, namun mereka berbeda pendapat mengenai kapan waktu pengharamannya mulai berlaku. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam teks hadis di atas. Dalam hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa larangan tersebut berlaku pada tahun Khaibar, yaitu tahun ketujuh Hijriyah. Sedangkan dalam hadis dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa larangan tersebut berlaku pada tahun Authas, yaitu bulan Syawal tahun kedelapan Hijriyah. Sedangkan dalam hadis dari Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan, larangan tersebut berlaku pada tahun Fathu Makah, yaitu bulan Ramadan tahun kedelapan Hijriyah.

Jawaban terhadap perbedaan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang:

Pertama: Perbedaan waktu pengharaman dengan adanya kesepakatan tentang pengharamannya tidak mempengaruhi keabsahan hukum haram tersebut, selama para ulama sepakat bahwa hukum nikah mut’ah itu haram.

Kedua: Hadis dari Salamah dan hadis dari Rabi’ bin Sabrah tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Perawi menyebut tahun Authas sebagai tahun pembebasan Makah (Fathu Makah), karena tahun Authas adalah tahun Fathu Makah. Fathu Makah terjadi pada bulan Ramadan tahun kedelapan Hijriyah, sedangkan pertempuran Authas terjadi pada bulan Syawal tahun kedelapan Hijriyah, seperti yang telah disebutkan. Artinya, dua peristiwa itu hanya berjarak satu bulan.

Jika kita memahami bahwa larangan tersebut berlaku “hingga hari kiamat”, maka tidak mungkin diperbolehkan lagi setelah satu bulan pada saat pertempuran Authas. Hadis dari Salamah tidak menyebutkan bahwa mereka melakukan nikah mut’ah di Authas, melainkan hanya menyebutkan bahwa rukhsah (kebolehan) mut’ah itu berlaku pada tahun Authas, seperti yang telah disebutkan.

Adapun hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa pengharaman berlaku pada tahun Khaibar, yaitu tahun ketujuh Hijriyah, sedangkan hadis dari Rabi’ bin Sabrah yang menyebutkan bahwa pengharaman berlaku pada tahun Fathu Makah. Para ulama memiliki dua pandangan dalam menggabungkan (mengkompromikan) keduanya:

Pertama: Bahwa pengharaman mulai berlaku pada tahun Khaibar, berdasarkan hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu. Kemudian, diperbolehkan pada tahun Fathu Makah, yaitu tahun Authas, karena adanya kebutuhan (hajat) saat itu. Setelah itu, nikah mut’ah diharamkan secara permanen hingga hari kiamat. Jadi, pengharaman dan penghalalan terjadi dua kali; ada penghalalan saat kebutuhan dan pengharaman ketika tidak ada kebutuhan.

Ini adalah pendapat dari An-Nawawi Asy-Syafi’i [1] dan juga dipilih oleh Asy-Syinqiti [2] rahimahumallah. Hal ini karena hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu jelas menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada tahun Khaibar, dan hadis dari Rabi’ bin Sabrah jelas menunjukkan bahwa pengharaman berlaku pada tahun Fathu Makah, dengan tambahan redaksi “hingga hari kiamat.” Hal ini menunjukkan bahwa pengharaman ini bersifat permanen dan tidak akan ada penghalalan lagi setelahnya. Namun, perlu dicatat bahwa hadis-hadis tentang pengharaman pada tahun Khaibar masih mengandung kemungkinan yang lain sebagaimana penjelasan di pendapat kedua berikut ini.

Kedua: Bahwa pengharaman hanya berlaku sekali, yaitu pada tahun Fathu Makah, dan sebelum itu, mut’ah diperbolehkan. Tidak ada pengharaman pada tahun Khaibar. Argumen untuk pandangan ini adalah adanya rukhsah (kebolehan) untuk mut’ah setelah tahun Khaibar.

Adapun hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pengharaman mut’ah terjadi pada tahun Khaibar, bersamaan dengan diharamkannya memakan keledai jinak. Akan tetapi, keduanya disebutkan bersamaan sebagai sanggahan atas pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi darurat dan memperbolehkan memakan daging keledai jinak [3]. Sedangkan tidak diragukan lagi bahwa pengharaman memakan keledai jinak terjadi pada saat tahun Khaibar.

Hal ini mungkin membingungkan jika merujuk pada riwayat dalam Ash-Shahihain yang menyebutkan dari hadis Ali radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah mut’ah pada tahun Khaibar dan (melarang memakan) daging keledai jinak.” (HR. Bukhari no. 5523 dan Muslim no. 1407)

Secara lahiriah, hadis ini menunjukkan bahwa larangan nikah mut’ah berlaku pada waktu yang sama dengan larangan terhadap daging keledai jinak, yaitu pada tahun Khaibar. Namun, As-Suhaili dan beberapa ulama seperti Ibnul Qayyim rahimahumullah berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak diharamkan pada tahun Khaibar dan hanya diharamkan sekali saja (yaitu pada saat Fathu Makah). Mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nikah mut’ah yang terjadi pada tahun Khaibar karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak melakukan nikah mut’ah dengan wanita-wanita Yahudi di Khaibar.

Menanggapi hal ini, Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar sebelumnya telah melakukan pernikahan dengan suku Aws dan Khazraj sebelum Islam, sehingga mungkin ada wanita dari mereka yang menjadi objek nikah mut’ah. Selain itu, hadis tersebut hanya menyebutkan adanya larangan tanpa menyebutkan bahwa nikah mut’ah benar-benar dilakukan (terjadi) pada tahun Khaibar. [4]

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [5]

[Selesai]

KEMBALI KE BAGIAN 1

***

@9 Rabiul awal 1446/ 13 September 2024

Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Syarh Shahih Muslim, 9: 193.

[2] Adhwa’ul Bayaan, 1: 386.

[3] Dari Al-Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad bin Ali bin Abi Thalib), bahwa dia pernah mendengar Ali bin Thalib berkata kepada Ibnu Abbas, “Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang melakukan nikah mut’ah dan melarang memakan daging keledai jinak.” (HR. Muslim no. 1407)

[4] Lihat Ar-Raudh Al-Unf, karya As-Suhaili, 6: 557; Zaadul Ma’aad, 3: 459, 5: 111; Fathul Baari, 9: 170.

[5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 258-264). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *