Sebagaimana telah kita bahas pada artikel yang telah lalu tentang besaran nafkah suami kepada istri, dapat kita ketahui bahwa di antara kewajiban suami yang harus ditunaikan dan diberikan kepada istrinya adalah memberikan nafkah. Baik itu nafkah harta maupun nafkah batin. Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani, melainkan sesuai kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
اتَّقوا اللَّهَ في النِّساءِ، فإنَّكم أخذتُموهنَّ بأمانةِ اللَّهِ، واستحلَلتُمْ فروجَهُنَّ بِكَلمةِ اللَّهِ، وإنَّ لَكُم علَيهنَّ أن لا يوطِئنَ فُرشَكُم، أحدًا تَكْرهونَهُ، فإن فعلنَ فاضربوهنَّ ضربًا غيرَ مُبرِّحٍ، ولَهُنَّ علَيكُم رزقُهُنَّ وَكِسوتُهُنَّ بالمعروفِ
“Bertakwalah kepada Allah tentang (urusan) wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak yang menjadi kewajiban mereka, yaitu mereka tidak boleh memasukkan ke rumah kalian orang yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Mereka pun memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian, yaitu nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang makruf.” (HR. Abu Dawud no. 1905)
Hanya saja wahai saudaraku sekalian, ada beberapa kondisi di mana nafkah untuk istri tidak lagi dihukumi wajib bagi suami. Pada pembahasan kali ini, akan sedikit kita bahas beberapa kondisi yang menggugurkan kewajiban memberi nafkah suami kepada istri.
Pertama: Terjadinya pembangkangan istri (nusyuz) terhadap suami
Contohnya adalah istri yang bepergian dan keluar dari rumah suaminya sesukanya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Pada kasus semacam ini, gugur kewajiban suami dalam memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya selama istrinya tersebut sedang dalam kondisi tidak hamil. Jika ternyata istrinya sedang hamil atau menyusui, maka suami tetap wajib memberikan nafkah kepadanya meskipun istrinya tersebut melakukan pembangkangan terhadapnya.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad As-Syinqithi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Zad Al-Mustaqni’, di mana beliau menukil adanya ijma’ dan kesepakatan di kalangan ulama akan gugurnya kewajiban menafkahi istri dari suami apabila sang istri melakukan pembangkangan kepadanya.
As-Sarkhasi rahimahullah, di dalam kitabnya Al-Mabsuth, membawakan dalil firman Allah Ta’ala,
وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya (enggan untuk taat kepada kalian), maka nasihatilah mereka dan berpisahlah dengan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)
Sembari beliau rahimahullah mengatakan,
“Dan jika seorang wanita tidak hadir di samping suaminya, atau menolak untuk pindah bersama ke rumahnya, atau ke tempat yang diinginkan suaminya di negara mana pun, dan dia sudah menerima mahar, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah (dari suaminya); karena dia dihukumi sebagai istri yang nasyiz (yang tidak taat), dan tidak ada nafkah bagi wanita yang tidak taat.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk menjauhkan haknya dalam hal pergaulan melalui firman-Nya (yang artinya), ‘dan berpisahlah dengan mereka di tempat tidur.’ Maka, itu menunjukkan bahwa dia tidak berhak atas nafkah dari suaminya secara otomatis, karena hak dalam hal pergaulan adalah untuk keduanya, sedangkan hak nafkah khusus untuk dia (istri).
Dan juga seorang istri hanya berhak atas nafkah jika dia benar-benar menyerahkan dirinya kepada suaminya dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk kepentingan suaminya. Jika dia enggan melakukan itu, maka dirinya telah berlaku zalim (kepada suami), dan dia telah menghilangkan dan melewatkan apa yang seharusnya menjadi sebab dirinya mendapatkan hak nafkah dari suaminya.”
Baca juga: Takaran Adil dalam Nafkah dan Pemberian Tambahan kepada Anak
Kedua: Terhalangnya suami dari menikmati istrinya
Seperti: usia istri yang masih terlalu muda tatkala menikah sehingga suami belum dapat menggaulinya, maka suami belum wajib untuk menafkahinya. Hal ini dikuatkan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menikah dan melangsungkan akad dengan Aisyah dengan persetujuan ayahnya Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu di umurnya yang baru tujuh tahun atau enam tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum tinggal bersamanya dan belum menafkahinya. Barulah ketika Aisyah mencapai umur sembilan tahun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memulai rumah tangganya dengannya dan menafkahinya. Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
تَزَوَّجَنِي النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَنَا بنْتُ سِتِّ سِنِينَ، فَقَدِمْنَا المَدِينَةَ فَنَزَلْنَا في بَنِي الحَارِثِ بنِ خَزْرَجٍ، فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي، فَوَفَى جُمَيْمَةً، فأتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وإنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ، ومَعِي صَوَاحِبُ لِي، فَصَرَخَتْ بي، فأتَيْتُهَا لا أدْرِي ما تُرِيدُ بي، فأخَذَتْ بيَدِي حتَّى أوْقَفَتْنِي علَى بَابِ الدَّارِ وإنِّي لَأُنْهِجُ حتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي، ثُمَّ أخَذَتْ شيئًا مِن مَاءٍ فَمَسَحَتْ به وجْهِي ورَأْسِي، ثُمَّ أدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأنْصَارِ في البَيْتِ، فَقُلْنَ: علَى الخَيْرِ والبَرَكَةِ، وعلَى خَيْرِ طَائِرٍ، فأسْلَمَتْنِي إلَيْهِنَّ، فأصْلَحْنَ مِن شَأْنِي، فَلَمْ يَرُعْنِي إلَّا رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ضُحًى، فأسْلَمَتْنِي إلَيْهِ وأَنَا يَومَئذٍ بنْتُ تِسْعِ سِنِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani Al-Harits bin Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku, lalu aku datangi sementara aku tidak mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku, lalu membawaku hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air, lalu membasuhkannya ke muka dan kepalaku, lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu yang ternyata di dalamnya ada para wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan keberkahan dan mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik.’ Lalu, ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapikan penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut, melainkan keceriaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akhirnya, mereka menyerahkan aku kepada beliau di mana saat itu usiaku sembilan tahun.” (HR. Bukhari no. 3894)
Para ulama menyebutkan bahwa usia sembilan tahun adalah usia minimal seorang wanita telah dewasa dan mendapatkan haidnya. Dan ketika Aisyah diserahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di umur sembilan tahun, maka itu menandakan bahwa Aisyah telah dewasa dan telah siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga serta melakukan hubungan suami istri. Dari titik ini pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi wajib untuk menafkahinya.
Ketiga: Jika seorang istri melakukan tindakan kriminal kemudian dipenjara
Para ulama sepakat bahwa nafkah tidak berlaku bagi istri yang dipenjara karena kesalahannya sendiri, karena dia dipenjara disebabkan kesalahannya sendiri, dan suami tidak terlibat dan tidak memiliki andil dalam hal itu.
Namun, jika dia dipenjara secara zalim (bukan karena kesalahan sendiri dan karena salah dakwa), ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nafkahnya juga gugur, karena penahanannya tidak ada kaitannya dengan suami. Sementara itu, ulama Maliki berpendapat bahwa nafkahnya tetap berlaku, karena penyebab penahanannya bukan dari dirinya, melainkan akibat tindakan orang lain secara zalim. (Al-Fikih Al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily, cetakan Damaskus, Suriah, hal. 7382)
Keempat: Murtadnya seorang istri (istri keluar dari Islam)
Sungguh kemurtadan adalah nusyuz atau pembangkangan yang paling besar kepada Allah Ta’ala, yaitu apabila seorang istri berpindah agama dari Islam ke agama lainnya atau ia menjadi atheis atau apabila seorang istri benar-benar meninggalkan salat dan tidak pernah melakukannya kembali. Dalam hal ini, maka suami tidak lagi wajib menafkahinya, karena dengan keluarnya dirinya dari Islam, secara otomatis membuat hubungan pernikahannya dengan suaminya terputus dan mereka berdua harus dipisahkan.
Dengan murtadnya seorang istri, maka sudah tidak ada lagi sebab yang mewajibkan seorang suaminya untuk menafkahinya. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
Baca juga: Memberi Nafkah kepada Anak-Istri adalah Ibadah yang Agung
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply