Memotong Ayat Karena Toleransi?

Memotong Ayat Karena Toleransi?

Memotong Ayat Karena Toleransi?

8 hours yang lalu
Memotong Ayat Karena Toleransi?

Memotong Ayat Karena Toleransi?

Kisah Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di Habasyah

Suatu ketika disebuah negeri yang sangat jauh dari tempat asalnya, beberapa sahabat Nabi yang sedang berusaha menyelamatkan diri berada pada kondisi genting. Ketika itu mereka berada di sebuah negeri yang bernama Habasyah. Berhijrah meninggalkan kota Mekah karena ingin menyelamatkan diri dan agama mereka. Namun orang-orang Qurays mengirim utusan dan ingin mengadu antara para sahabat dengan pemimpin Habasyah yang ketika itu beragama Nasrani. Hingga akhirnya merekapun dibawa mengahadap raja Habasyah. Dia bertanya kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum bagaimana pendapat mereka tentang nabi Isa yang dituhankan oleh orang-orang Nasrani. Maka tanpa ragu Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mewakili para sahabat membacakan surat Maryam yang berisi bantahan terhadap akidah trinitas agama Nasrani. Tanpa ragu beliau radhiyallahu ‘anhu membaca firman-Nya tentang ucapan Nabi Isa tanpa menutup nutupinya,

{ قَالَ إِنِّی عَبۡدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِیَ ٱلۡكِتَـٰبَ وَجَعَلَنِی نَبِیࣰّا }

“Dia (Isa) berkata, ‘Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.’” (QS. Maryam [19]: 30)

Pelajaran dari kisah

Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim di hadapan non muslim, lantang menyampaikan kebenaran tanpa menutup-nutupinya, namun dengan cara yang santun. Beliau radhiyallahu ‘anhu tidak takut kalau raja Habasyah akan murka karena menyebut Isa hanya hamba dan bukan tuhan, beliau radhiyallahu ‘anhu tidak takut raja Habasyah akan menjauh dari agama Islam. Karena sesungguhnya hidayah itu ditangan Allah.

{ إِنَّكَ لَا تَهۡدِی مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ یَهۡدِی مَن یَشَاۤءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِینَ }

“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash [28]: 56)

Raja Najasyi pun menitikkan air mata ketika mendengar Al-Quran dibacakan di hadapannya, dan dikemudian hari beliau masuk ke dalam Islam.

Itulah Al-Quran, merupakan  petunjuk bagi umat manusia. Firman Allah yang Allah janjikan akan dijaga dari perubahan hingga akhir zaman.  Allah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kami (pula) yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)



Berbeda dengan kitab-kitab sebelum Al-Quran, terjadi banyak perubahan di dalam kitab-kitab tersebut, Allah berfirman,

يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ

“Mereka suka merubah firman Allah dari tempatnya.” (QS. Al-Maidah [5]: 13)

Karenanya tidaklah pantas Al-Quran disandingkan dengan kitab-kitab terdahulu yang telah mengalami banyak perubahan. Tidak diperbolehkan pula membaca Injil maupun Taurat, terlebih memperdengarkannya kepada khalayak ramai tanpa membantah kesesatannya.

Syaikh Al-’Utsaimin mengatakan:

ولا يحل لأحد أن يطالع في كتب الإنجيل ولا في كتب التوراة، وقد روي أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم رأى مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه صحيفة من التوراة، فغضب

“Tidak diperbolehkan bagi seorangpun untuk membaca kitab Injil maupun Taurat, telah diriwayatkan bahwa Nabi shalallahu ‘alayhi wa’ala alihi wasallam melihat Umar bin Khattab sedang memegang lembaran Taurat maka Rasulullah pun murka.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al Utsaimin jilid 26 hal 351)

Apalagi bila terdapat penyimpangan akidah dalam bacaan yang diperdengarkan, maka sudah merupakan kewajiban untuk mengingkarinya tanpa berdalih toleransi beragama, dan tidak boleh menyembunyikan ayat atau penjelasan tentang penyimpanganya. Dalam kaidah ushul fikih disebutkan:

لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة

“Tidak boleh menunda penjelasan di waktu yang dibutuhkan.”

Dan Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَه

“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi Kitab (yaitu) ‘Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.’” (QS. Ali Imran [3]: 187)

Dalam kisah Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu diatas kita bisa mengambil pelajaran bahwa seorang muslim bisa hidup berdampingan dengan non-muslim, dan hal tersebut tidak menghalangi untuk mendakwahkan Islam kepada mereka, dengan cara yang penuh hikmah. Dan tidak diperbolehkan menyembunyikan ayat atau sebagiannya yang menerangkan kesesatan akidah mereka, terlebih diwaktu yang dibutuhkan semisal ada kesesatan yang disampaikan di depan khalayak ramai.

Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita untuk istiqamah diatas agama-Nya. Serta menjadikan kita sebagai pemberi petunjuk yang diberkahi dimanapun kita berada.

Ditulis oleh: Ustadz Riza Taufiq Al Madina, Lc., M.A.

 

Referensi:

  1. Asy Syaibani, Ahmad bin Hambal. (1995). Musnad Ahmad. Mesir: Darul Hadis.
  2. Al Utsaimin, Muhammad bin Shaleh. (1992). Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al Utsaimin. Arab Saudi: Darul Watan.
  3. Al Harrani, Ahmad Bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah. (1999). Al Jawab As Sahih Liman Baddala Dinal Masih. Arab Saudi: Dar Al’ashimah.
  4. Al Maqdisi, Abdullah Ibnu Qudamah. (2002). Raudhatun Nadhir Wa Junnatul Munadhir. Beirut: Muasasah Ar Rayan.
  5. Ibnu Katsir, Ismail Ibnu Umar (1999). Tafsir Ibnu Katsir. Arab Saudi: Darut Thaibah.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *