Hukum Salat di Hijir Ismail

Hukum Salat di Hijir Ismail

Ka’bah merupakan kiblat umat Islam yang memiliki nilai spiritual tinggi dalam ajaran Islam. Setiap bagian dari Ka’bah menyimpan sejarah dan keutamaan tersendiri, yang sering kali menjadi perhatian khusus bagi umat Muslim, terutama bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji dan umrah. Salah satu bagian yang menarik perhatian adalah Hijir, atau biasa dikenal dengan Hijir Ismail, yang kerap dianggap memiliki keistimewaan tersendiri dalam syariat Islam.

Sebagai tempat yang berada di lingkup Ka’bah, banyak orang bertanya-tanya tentang hukum beribadah di sana, khususnya salat. Apakah benar salat di Hijir Ismail memiliki keutamaan yang lebih? Bagaimana asal mula penamaan dan status hukum dari Hijir Ismail ini? Artikel ini akan membahas berbagai aspek terkait Hijir Ismail, mulai dari sejarahnya, status hukumnya dalam salat, hingga keutamaan berdoa di tempat tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin.

Mengenal Hijir Ismail

Definisi hijir

Secara bahasa, kata hijir (الحِجر) dengan harakat kasrah pada huruf ha, memiliki banyak makna, di antaranya adalah akal, naungan, atau perlindungan. [1]

Sedangkan secara istilah adalah,

الْحِجْرُ حَطِيمُ مَكَّةَ وَهُوَ الْمُدَارُ بِالْبَيْتِ مِنْ جِهَةِ الْمِيزَابِ

Al-Hijr adalah “Al-Hatim” di Makkah, yaitu bagian dari Ka’bah yang berbentuk setengah lingkaran di sisi utara, dekat talang air (mizab). [2]

Penamaan Hijir Ismail

Penamaan Hijir, dengan Hijir Ismail tidak memiliki dasar yang kuat. Nabi Ismail ‘alaihis salam tidak mengetahui tentang bagian ini, karena sesungguhnya Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam membangun Ka’bah secara utuh yang termasuk juga bagian Hijir ini. Kemudian, dinding Ka’bah mengalami keretakan akibat kebakaran dan banjir besar sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu, kaum Quraisy menghancurkan sisa dinding yang tersisa dan membangun kembali Ka’bah. Namun, mereka kekurangan dana yang halal untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan fondasi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam. Sehingga mereka pun mengeluarkan bagian Hijir dari Ka’bah dan membangun dinding pendek di sekitarnya sebagai penanda bahwa Hijir merupakan bagian dari Ka’bah. Mereka telah menetapkan syarat bahwa mereka hanya akan menggunakan dana yang halal dalam pembangunan Ka’bah, yang tidak berasal dari mahar pelacuran, penjualan riba, atau hasil kezaliman kepada orang lain.

Dalam Sahih Bukhari dan Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah dinding ( الجَدْر ) itu bagian dari rumah (Ka’bah)?”

Beliau menjawab, “Ya.”

‘Aisyah bertanya lagi, “Mengapa mereka tidak memasukkannya ke dalam bangunan rumah (Ka’bah)?”

Beliau menjawab,

إن قومك قصرت بهم النفقة

Kaummu kekurangan dana.” (HR. Bukhari no. 1584 dan Muslim no. 1333)

Kata Al-Jadr secara bahasa berarti dinding, dan yang dimaksud adalah Hijir. Maka, yang benar adalah menyebutnya sebagai Hijir, tanpa menisbahkannya kepada Ismail ‘alaihis salam. [3]

Apakah benar, Nabi Ismail atau Hajar dimakamkan di situ?

Sebagian orang meyakini bahwa Nabi Ismail atau Hajar (biasa dikenal Siti Hajar) dimakamkan di dalam Hijir. Keyakinan ini merupakan kesalahan.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Penamaan Hijir sebagai ‘Hijir Ismail’ merupakan kekeliruan, karena Hijir ini bukan milik Nabi Ismail, dan beliau tidak mengetahuinya serta tidak dimakamkan di sana. … . Lagipula, tidak mungkin dia dimakamkan di sana, karena ini adalah Rumah Allah yang dikunjungi oleh umat Islam dari seluruh penjuru dunia, dan menjadikan kuburan manusia sebagai kiblat tentu tidak dibenarkan.” [4]

Dari sisi periwayatan, tidak ada satu pun sabda Rasulullah yang menetapkan hal tersebut. Syekh Al-Albani rahimahullah mengatakan,

ولم يثبت في حديث مرفوع أن هذا الحجر دفن فيه إسماعيل عليه السلام ، أو دفنت فيه هاجر

Tidak ada satu pun hadis marfu’ yang menetapkan bahwa Ismail ‘alaihis salam atau Hajar dimakamkan di dalam Hijir.[5]

Baca juga: Ngalap Berkah dari Kain Kiswah Kabah

Apakah Hijr Ismail termasuk bagian dari Ka’bah?

Seluruh bagian Hijr Ismail adalah bagian dari Ka’bah. Ini merupakan pendapat Hanafiyah dan Hanabilah, serta salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’iyah.

Dalilnya adalah hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Hijir, beliau bersabda,

هُوَ مِنَ الْبَيْتِ

Itu adalah bagian dari Ka’bah.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

‘Aisyah juga berkata, “Aku ingin masuk ke dalam Ka’bah untuk salat di dalamnya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tanganku, lalu memasukkanku ke dalam Hijir, dan bersabda,

صَلِّي فِي الْحِجْرِ إِذَا أَرَدْتِ دُخُول الْبَيْتِ، فَإِنَّمَا هُوَ قِطْعَةٌ مِنَ الْبَيْتِ، فَإِنَّ قَوْمَكِ اقْتَصَرُوا حِينَ بَنَوْا الْكَعْبَةَ فَأَخْرَجُوهُ مِنَ الْبَيْتِ

Salatlah di Hijir jika kamu ingin masuk ke dalam Ka’bah, karena Hijir adalah bagian dari Ka’bah. Kaummu saat membangun Ka’bah mengeluarkannya dari bagian Ka’bah karena keterbatasan dana.‘” (HR. Abu Dawud no. 2028, dan Syekh Al-Albani mengatakan, ‘Hasan sahih’) [6]

Hukum salat di Hijir Ismail

Setelah kita mengenal Hijir Ismail, dan mengetahui bahwa Hijir Ismail adalah bagian dari Ka’bah, maka hukum salat di dalamnya sama dengan hukum salat di dalam Ka’bah. Salat sunah di dalam Hijir Ismail diperbolehkan, tetapi salat wajib tidak sah dilakukan di dalamnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Salat wajib tidak sah di dalam Ka’bah ataupun di atasnya berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arah Ka’bah.’ (QS. Al-Baqarah: 144)

Orang yang salat di dalam atau di atas Ka’bah itu tidak menghadap ke arah Ka’bah. Sedangkan tentang salat sunah, maka sah salat sunah di dalam Ka’bah, maupun di atasnya. Kami tidak tahu ada yang menyelisihi pendapat ini.” [7]

Keutamaan salat di Hijir Ismail

Salat di Hijir Ismail dianjurkan karena mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أنه دخل الكعبة عام الفتح وصلى فيها ركعتين

Beliau memasuki Ka’bah pada tahun penaklukan Makkah dan salat di dalamnya sebanyak dua rakaat.” (HR. Bukhari no. 382 dan Muslim no. 2362) [8]

Keutamaan berdoa di Hijir Ismail

Hijir Ismail merupakan salah satu tempat di mana doa-doa (lebih diharapkan untuk) dikabulkan.

Syekh Sa’id bin Wahf Al-Qahthaniy rahimahullah mengatakan, “Di antara tempat-tempat yang mustajab untuk berdoa adalah di dalam Ka’bah atau di dalam Hijir Ismail.” Di antara dalil yang beliau sebutkan, selain hadis tentang anjuran salat di dalamnya, adalah hadis dari Usamah bin Zaid,

أن النبي صلى الله عليه وسلم لَمَّا دَخَلَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika memasuki Ka’bah, beliau berdoa di seluruh sudutnya.” (HR. Muslim, 68: 15) [9]

Kesimpulan

Hijir, yang biasa disebut Hijir Ismail (walaupun penamaan ini tidak tepat), merupakan bagian dari Ka’bah dan memiliki keutamaan besar dalam salat dan doa. Salat sunah dianjurkan di sana, namun tidak untuk salat wajib. Tempat ini juga merupakan salah satu lokasi yang mustajab untuk berdoa.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah di tempat yang mulia ini.

Baca juga: Renovasi Ka’bah Lima Tahun Sebelum Nabi Diutus Menjadi Rasul

***

Rumdin PPIA Sragen, 1 Rabiulakhir 1446 H

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi Utama:

1) Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah.

2) Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, karya Al-Fayyumi.

3) Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Ibnu Baz.

4) Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, karya Al-‘Utsaimin.

5) Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fiqh Kuwait).

 

Catatan kaki:

[1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 17: 102.

[2] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, 1: 122.

[3] dan MajmuFatawa wa Rasa’il Al-‘Utsaimin, 22: 354.

[4] Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al-Utsaimin, 22: 355.

[5] Lihat Tahdzirus Sajid, karya Al-Albani, hal. 68-69.

[6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 17: 103.

[7] Al-Mughni, 2: 475-476.

[8] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 11: 432.

[9] Adz-Dzikr wa Ad-Du’a wa Al-‘Ilaj bi Ar-Ruqa min Al-Kitab wa As-Sunnah, karya Sa’id bin Wahf Al-Qahthaniy, 3: 1028.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *