Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ

“Tahukah kalian apa itu gibah?”

Para sahabat menjawab,

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ

“Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya,

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

“Gibah itu adalah engkau membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang tidak disukainya (mencakup fisik, perilaku, keluarga, dan lain-lain, penj).”

Ada sahabat bertanya,

أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ

“Wahai Rasul, seandainya yang saya bicarakan itu benar-benar nyata ada dalam dirinya, apakah termasuk gibah?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Jika benar-benar demikian, itulah gibah. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan kenyataan, maka itu fitnah.” (HR. Muslim)

Sebelum dibahas lebih jauh tentang klasifikasi gibah, ada suatu kejadian di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya ada perempuan bernama Fatimah bintu Qais yang diceraikan oleh suaminya. Begitu selesai masa idahnya, maka datang dua sahabat yang ingin melamarnya, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahmin. Fatimah merasa bimbang untuk memilih di antara kedua sahabat yang melamar tersebut. Kemudian Fatimah menanyakan hal tersebut dan berkonsultasi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menceritakan keduanya,

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari pundaknya (maksudnya, dia suka memukul), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.”

Namun, Fatimah tidak menyukainya, tapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bersabda,

انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Nikahlah dengan Usamah.”

Lalu Fatimah menikah dengan Usamah dan berkata,

فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

“Maka, Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku merasa bahagia hidup dengannya.” (HR Muslim no. 2709)

Dari kisah di atas, dapat kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membicarakan aib kedua sahabatnya dan melakukan gibah terhadap keduanya. Oleh karenanya, perlu diketahui terkait macam-macam atau jenis-jenis gibah.

Secara garis besar, gibah terbagi menjadi dua jenis, yaitu gibah yang terlarang dan gibah yang diperbolehkan.

Pertama, gibah yang terlarang

Yaitu, gibah tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Misalnya, gibah karena iri, cemburu, tidak suka terhadap seseorang, atau hanya sekedar candaan. Bahkan, ada yang mencari harta dengan menggibahi orang lain dengan membuat acara di TV. Na’uzubillah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing (menggibahi) satu sama lain. Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah?

Kedua, gibah yang diperbolehkan

Yaitu, gibah yang dilakukan saat ada kebutuhan mendesak atau maslahat yang lebih besar sehingga jangan sampai menjadi kebiasaan. Jenis gibah ini merupakan pengecualian dari hukum asal gibah yang haram. Sebagaimana khamar yang hukum asalnya haram, namun jika terpaksa meminumnya karena kondisi darurat (misal kehausan dan tidak menemukan air selain khamar), maka diperbolehkan dengan syarat hanya sesuai atau sebatas dengan kebutuhan saja (untuk menghindari kematian akibat kehausan).

Jenis gibah yang diperbolehkan ini menurut para ulama ada enam kondisi berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis.

Pertama: Mengadukan kezaliman kepada aparat, penguasa, dan pihak yang berwenang

Allah Ta’ala berfirman,

لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ

“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi (dianiaya).” (QS. An Nisa: 148)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ

“Orang kaya (makna lain: mampu) tetapi menunda-nunda dalam membayar utang, maka halal kehormatannya dan hukumannya.” (HR. Ahmad; An-Nasa’i, VII: 317; Ibnu Majah, II: 811, no. 2427; Abu Dawud, X: 56, no. 3611; Shahih Al-Bukhari secara ta’liq, V: 62)

Contoh kasus: misal rumah Anda kemalingan suatu barang dan setelah cek di CCTV, Anda mengetahui seseorang yang melakukannya. Kemudian Anda melaporkan pencuri tersebut ke pihak kantor polisi.

Kedua: Mengubah kemungkaran

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ

“Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya level keimanan.” (HR. Muslim)

Contoh kasus: Ada seorang murid melihat sesama temannya di sekolah mem-bully murid yang lain, sedangkan murid tersebut tidak berani melerai atau menegur karena takut juga malah di-bully. Maka, murid tersebut melaporkannya ke guru BK atau kepala sekolah.

Ketiga: Meminta fatwa atau petuah

Contoh kasus: Ada seorang suami-istri mempunyai masalah dalam rumah tangga mereka. Lalu, pasangan tersebut ingin tahu solusi atau hukum terkait masalah yang sedang mereka hadapi untuk meminta jawaban kepada seorang ustaz atau kiai. Dalam kondisi-kondisi tertentu, harus menyebutkan nama dan perilaku pasangan.

Permasalahan di atas pernah dialami juga oleh seorang sahabiah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Hindun, istri dari Abu Sufyan. Ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. “Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”, tanya Hindun.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ

“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari)

Keempat: Memperingatkan dari keburukan

Keburukan ini mencakup keburukan dunia dan agama (akhirat). Misal, ada seseorang yang suka berbuat maksiat, zalim, bahkan menyesatkan (menjerumuskan) orang lain. Maka, kita boleh memperingatkan orang lain agar berhati-hati terhadap perilaku buruk atau kesesatan orang tersebut agar tidak tertular atau terkena kezalimannya (baik fisik maupun pemahaman).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim)

Kelima: Membicarakan orang yang terang-terangan melakukan keburukan

Hal ini dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikit pun.” (HR. Bukhari)

Laits bin Sa’ad, salah seorang perawi hadis ini berkata, “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafik.”

Keenam: Mengidentifikasi seseorang

Kasus ini semisal kita masuk di suatu kampung dan bertanya tentang seseorang yang kita cari. Ternyata di kampung tersebut ada beberapa orang yang namanya sama dengan orang yang kita cari. Maka, boleh kita mengidentifikasi orang yang kita cari tersebut dengan ciri fisiknya (gendut, kurus, atau sebutan yang sudah menjadi ciri khasnya seperti si buta, si pincang, dan lainnya).

Dari Ibnu Umar, ia berkata,

كَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  مُؤَذِّنَانِ بِلالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الأَعْمَى

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki dua muazin, Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang buta.” (HR. Muslim)

Baca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari kajian Ustadz Abdullah Zaen, Lc. M.A. Link kajian:

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *