Hukum Memakai Fasilitas Negara untuk Kepentingan Pribadi

Hukum Memakai Fasilitas Negara untuk Kepentingan Pribadi

Hukum Memakai Fasilitas Negara untuk Kepentingan Pribadi

59 mins yang lalu
Hukum Memakai Fasilitas Negara untuk Kepentingan Pribadi

Hukum Memakai Fasilitas Negara untuk Kepentingan Pribadi

Umar Bin Abdul Aziz adalah seorang pemimpin kaum muslimin yang sering dijadikan contoh sebagai pemimpin yang adil sepeninggal Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Beliau memegang pemerintahan hanya dua tahun yaitu dari tahun 99 – 101 H namun beliau menebarkan kebaikan dan kemajuan yang begitu banyak kepada umat. Hal itu dikarenakan beliau benar-benar berusaha menunaikan amanah yang diembannya. Dan juga beliau sangat berusaha menjaga harta kaum muslimin dan tidak menggunakannya kecuali pada hal-hal yang diizinkan oleh syariat. Diantara contohnya adalah yang dikisahkan oleh Ibnu Asakir dalam bukunya:

أَنَّ عُمر بن عبد العَزِيزَ كَانَ يُسرجُ عَليْهِ الشَمْعَة مَا كَانَ فِي حَوَائِجِ الُمسلِمينَ فَإِذَا فرَغَ مِنْ حَوَائِجِهِمْ أَطْفَأَهَا ثُم أسرج عليه سراجه

“Umar Bin Abdul Aziz dahulu menyalakan lilin untuk kepentingan kaum muslimin, apabila telah selesai dari kepentingannya, beliau memadamkan lilin tersebut, lalu menyalakan lentera miliknya (pribadi).”

Betapa berhati-hatinya Umar bin Abdul Aziz dalam menjaga amanah harta kaum muslimin, bahkan dalam hal yang oleh kebanyakan manusia dianggap remeh seperti lilin yang mungkin nilainya tidak seberapa. Namun ketika lilin tersebut adalah milik negara, beliau tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadinya. Beliau memilih menyalakan lentera pribadi miliknya untuk urusan pribadinya.

Dikisahkan pula bahwa suatu ketika gubernur Madinah pernah meminta lilin khusus untuk dirinya pribadi, maka Umar bin Abdul Aziz menolaknya karena harta umat tidak digunakan untuk kepentingan pribadi meskipun untuk setingkat gubernur. Beliau berkata:

يَا ابْنَ أُمِّ حَزْمٍ لَطَالَمَا مَشَيْتَ إِلَى مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الظُّلَمِ لَا يَمْشِي بَيْنَ يَدَيْكَ بِالشَّمْعِ

“Wahai Ibn Umi Hazm, selama kamu berjalan ke masjid Rasulullah dalam kegelapan maka janganlah kamu berjalan dengan lilin di depanmu.”

Fasilitas Negara adalah Amanah

Begitulah para salafus shalih dalam menjaga harta milik negara. Mereka tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, mereka takut akan hisabnya di hari kiamat kelak.

Allah berfirman:

وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ



“Dan barang siapa yang berbuat khianat, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizhalimi.” (QS. Ali Imran [3]: 161)

Fasilitas negara adalah harta umat, merupakan amanah yang harus dijaga dengan semestinya, bukan harta yang bisa dengan seenaknya dimanfaatkan untuk hal-hal yang bukan kepentingan pekerjaan, terlebih untuk kepentingan pribadi. Memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi adalah melanggar amanah dari umat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hati darinya.” (HR. Ahmad, no. 20695, hadis shahih)

Bagaimana mungkin dia akan sanggup meminta kerelaan hati dalam pemakaian fasilitas itu dihadapan semua umat? Sungguh hal yang sangat berat dan sangat susah.

Namun sungguh disayangkan banyak dari para pegawai yang meremehkan hal ini, berbagai fasilitas negara dari peralatan kantor, kendaraan, hingga hal-hal yang lainnya sudah merupakan hal yang lazim ditemukan digunakan untuk kepentingan pribadi para pegawai, padahal itu adalah harta milik umat. Sungguh berbeda kondisi kita dengan para salafus shalih sebagaimana kisah Umar Bin Abdul Aziz di atas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata:

إِنَّ أَوَّلَ مَا تَفقَدُونَ مِنْ دِيْنِكُمْ الأَمَانَةُ

“Sesungguhnya yang petama kali akan hilang dari agama kalian adalah amanah.” (HR. Al Baihaqi, no. 2026, hadis shahih)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengingatkan kita akan bahayanya mengambil harta tanpa ada hak pada harta tersebut dalam sabdanya:

وَاللهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ، إِلَّا لَقِيَ اللهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian yang mengambil sesuatu tanpa hak, kecuali dia akan menemui Allah di hari Kiamat dengan membawa sesuatu tersebut.” (HR. Muslim, no. 1832)

Karenanya sudah seharusnya setiap pegawai berhati-hati dalam memakai fasilitas negara dan tidak menggunakannya kecuali pada kepentingan pekerjaanya.

Kondisi Terpaksa

Namun bagaimanakah apabila dalam kondisi sangat terpaksa lalu memakai fasilitas negara seperti memakai kertas atau pena milik kantor karena kondisi yang sangat terpaksa? Syaikh Al-Utsaimin pernah ditanya hal yang semisal dan menjawab: “Apabila kantor tersebut adalah bukan miliknya, namun milik pemerintah atau milik perusahaan atau milik bersama, maka tidak diperbolehkan memakai alat-alat kantor walaupun dalam kondisi darurat. Namun dalam kondisi sangat terpaksa bisa dikatakan boleh memakainya bila dengan niatan untuk menggantinya dengan yang semisalnya atau dengan yang lebih baik.”

Penutup

Apabila kita ingin negara kita menjadi negara yang jaya sebagaimana kejayaan umat Islam di masa lampau, maka sudah sepatutnya kita kembali kepada agama kita, mengamalkan agama dengan sebaik-baiknya dalam setiap aspek kehidupan. Imam Malik berkata:

لا يُصْلِحُ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا

“Tidaklah akan memperbaiki kondisi akhir dari umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah memperbaiki awal dari umat ini.”

Maka sudah sepatutnya semua kaum muslimin menjaga amanah yang diembannya,  para pegawai menjaga amanah, menjaga harta milik umat dengan sebaik-baiknya. Sehingga harta negara terjaga dan tersalurkan pada hal yang semestinya.

Daftar pustaka:

  1. Al Bukhari, Muhammad bin Ismail . Shahih Bukhari. Daar Tauq An najah.
  2. An Naisaburi, Muslim bin Al Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihy At-Turats Al Arabi.
  3. As Syaibani, Ahmad Bin Hambal. Musnad Al Imam Ahmad. Mesir: Darul Hadis.
  4. Al Baihaqi, Ahmad bin Al Husain. Syu’abul Iman. Riyadh: Maktabah Ar Rusyd.
  5. Ibnu Asakir, Ali Bin Husain. Tarikh Dimasq. Darul Fikar.
  6. Al Asbahani, Ahmad Bin Abdullah Abu Nu’aim. HIlyatul Auliya. Beirut: Darul Kutul Al Arabi.

 

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *