Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnya
Jika seorang istri bepergian tanpa izin suaminya, tanpa alasan yang sah, maka hak nafkahnya gugur karena dia tidak tunduk dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya, dan karena suaminya tidak dapat bergaul dengannya. Begitu juga, jika dia pergi bersamanya (suami) dalam perjalanan, namun tanpa izin darinya terlebih dahulu dan suaminya tidak bisa mengembalikannya ke rumahnya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali jika suaminya bisa menikmati kebersamaannya dengan istrinya tersebut pada perjalanan yang dimaksud.
Adapun jika dia bepergian dengan izin suaminya bersama orang lain karena kebutuhannya, maka hak nafkahnya juga gugur menurut mazhab Hanbali dan juga ada pendapat dalam mazhab Syafi’i, karena tidak adanya keberadaan istri di rumah suaminya. Hal ini sama hukumnya sebagaimana jika dia meminta penundaan sebelum menikah.
Jika istri bepergian dengan suaminya, dan keinginan untuk pergi itu datang dari suaminya, lalu suaminya tersebut turut membawanya, maka dia berhak atas nafkah perjalanan. Namun, jika dia yang ingin bepergian dan mengajak suaminya, maka dia hanya berhak atas nafkah tinggal dan tidak berhak atas nafkah perjalanan (biaya perjalanan).
Jika suami ingin bepergian dengan istrinya dan istrinya menolak untuk bepergian bersamanya tanpa adanya alasan syar’i, maka hak nafkahnya gugur, dengan syarat suami telah menjamin keamanan jiwa istrinya dan juga hartanya, serta tidak berniat untuk menyakiti istrinya dengan perjalanan tersebut. Jika ada yang hilang dan kurang dari syarat ini, maka dia berhak atas nafkah, karena penolakannya saat itu merupakan alasan yang diperbolehkan oleh syariat.
Abu Al-Husein Al-‘Imrani dalam kitabnya Al-Bayan, salah satu kitab mazhab Syafi’i mengatakan,
“Jika wanita bepergian tanpa izin suaminya, hak nafkahnya gugur, karena dia telah menghalangi suaminya untuk menikmati perjalanannya. Jika dia bepergian dengan izin suaminya, maka harus dilihat: Jika suami bepergian bersamanya, maka hak nafkahnya tidak gugur, karena dia masih dalam pemeliharaan dan ketaatan suaminya. Jika dia bepergian sendirian karena memenuhi kebutuhan suaminya, maka suaminya wajib memberinya nafkah, karena dia bepergian dengan sebab memenuhi kebutuhan suaminya. Dan jika dia bepergian untuk kebutuhannya sendiri, maka mazhab Syafi’i dalam urusan nafkah berkata, ‘Dia berhak atas nafkah. Dan dalam urusan pernikahan (nafkah batin), tidak ada nafkah baginya.’”
Keputusan mengenai tidak adanya hak nafkah untuk istri yang bepergian tanpa izin suaminya sudah jelas dan tidak perlu diragukan lagi, karena saat itu seorang istri dianggap menjadi pembangkang, seperti seorang istri yang dinyatakan tidak taat.
Adapun status hukum untuk seorang istri yang bepergian untuk kebutuhannya sendiri dengan izin suaminya, maka masih ada yang mengganjal dalam hati kami. Dan setelah membaca dan menelaah kembali pembahasan tersebut, kami lebih condong akan adanya kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah tinggal saja (tidak wajib menafkahi biaya perjalanan istri tersebut), namun disunahkan untuk memberikan nafkah perjalanan jika suami mampu. Adapun alasan yang mereka kemukakan bahwa suaminya tidak dapat menikmati kebersamaan dengannya karena kebutuhan istri untuk melanjutkan perjalanan, maka itu tidak cukup untuk menghentikan nafkahnya, karena izin suami atas kepergiannya, maka itu sama seperti melepaskan sebagian haknya untuk sementara waktu. Wallahu A’lam bis-shawab.
Keenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, nafkah suami terhadap istri adalah wajib selama istri mengabdikan dirinya kepada suami dan tinggal di rumah suaminya sesuai dengan ikatan pernikahan yang telah dilakukan di antara keduanya. Sama halnya dengan orang-orang yang mengabdi untuk kepentingan orang lain, seperti hakim dan pekerja di sektor publik, maka mereka pun sudah selayaknya mendapatkan hak nafkah dan digaji.
Oleh karena itu, selama istri berada di rumah, tanggung jawab untuk memberi nafkah bagi suami adalah wajib, meskipun istrinya tersebut bekerja (di rumah). Jika istri bekerja di dalam rumah, seperti merajut, menjahit, memasak, dan menjual masakan, atau juga jika dia bekerja dari jarak jauh (online), seperti menggunakan komputer atau hape dari rumahnya, maka nafkah mereka tetap harus diberikan karena mereka telah memenuhi syarat berupa tinggal di rumah suami, melayani, dan berada di rumahnya.
Lalu, bagaimana halnya jika istri bekerja di luar rumah?
Jika istri bekerja di luar rumah, maka ada dua kemungkinan:
Pertama: Tanpa izin suaminya
Seorang wanita yang bekerja dan mendapatkan penghasilan tanpa persetujuan suaminya, maka dia tidak berhak mendapat nafkah. Nafkah istri adalah kewajiban suami seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jadi tidak sah bagi istri untuk mencari nafkah, kecuali jika suaminya tidak menafkahinya.
Wanita yang bekerja dan mencari nafkah sejatinya tidak sepenuhnya mengabdikan dirinya kepada suaminya, dan jika suami melarangnya melakukan itu, dan dia melawan serta keluar tanpa izinnya, maka dia dianggap melakukan nusyuz (pembangkangan) selama dia keluar dari rumahnya, dan dengan begitu dia tidak berhak mendapatkan nafkah darinya.
Adapun jika suaminya tidak memberinya nafkah (tanpa alasan syar’i), maka istri diperbolehkan untuk mencari nafkah lewat pekerjaan, berdagang, atau dengan meminta-minta, dan suaminya tidak boleh melarangnya saat itu, baik istrinya tersebut kaya ataupun miskin, karena keberadaannya dalam naungan suami dan ketaatannya kepada suami mengharuskan adanya nafkah untuk istri. Jika suami tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka dia tidak berhak untuk membatasi istri.
Kedua: Seizin suaminya
Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban nafkah istri jika ia keluar untuk bekerja dengan izin suaminya, dalam dua pandangan:
Pandangan pertama: Istri tidak berhak atas nafkah jika ia keluar dari rumah suaminya untuk bekerja untuk dirinya sendiri dengan izinnya. Ini adalah pendapat dari mazhab Hanafiah dan Syafi’iyah, dan ini juga merupakan konsekuensi dari pendapat Hanbali.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika istrinya bepergian tanpa izinnya, maka nafkahnya gugur dari suaminya, karena dia sudah melakukan pembangkangan kepada suaminya. Begitu juga, jika ia pindah dari rumah suaminya tanpa izinnya. Namun, jika ia bepergian dengan izin suaminya untuk kepentingan suaminya, maka nafkahnya tetap ada, karena ia bepergian atas kepentingan suami. Dan jika itu untuk kepentingan dirinya sendiri, maka nafkahnya gugur, karena dia telah menghilangkan kesempatan untuk melayani suaminya karena kepentingan dirinya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.” (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 8: 231)
Mereka berdalil bahwa nafkah diberikan sebagai imbalan untuk menahan diri sendiri demi memenuhi hak suami, sehingga jika ia keluar dari rumah, hak suaminya berkurang, dan nafkahnya gugur.
Selain itu, keluarnya istri bisa mengakibatkan hilangnya hak suami untuk menikmati istrinya, sehingga mirip dengan nusyuz (penentangan dan pembangkangan), dan dia telah memilih kesibukan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin baginya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri sekaligus mendapatkan nafkah dari suami.
Pandangan kedua: Istri yang bekerja berhak mendapatkan nafkah jika dia pergi bekerja dengan izin suaminya. Ini adalah pendapat lain dari para Hanafiyah dan Syafi’iyah, dan ini merupakan pokok ajaran Ibnu Hazm karena suami wajib memberikan nafkah hanya dengan adanya akad, meskipun istri tidak mau patuh.
Mereka beralasan bahwa suami telah memberikan izin untuk pergi, sehingga itu dianggap sebagai pengunduran diri dari haknya, dan bahwa istri tidak melanggar suami, malah dia melakukan kebalikan dari pelanggaran.
Pandangan yang lebih tepat: Dr. Khalid bin Abdullah Al-Muzaini menyampaikan sebuah kesimpulan setelah mempertimbangkan kedua pendapat di atas,
“Setelah merenungkan pendapat dan bukti, saya rasa perlu untuk menjelaskan masalah ini. Karena suami memiliki dua hak dari istrinya: hak ihtibas/penahanan (penyerahan diri seorang wanita sepenuhnya kepada suami) dan tamkin/hak menikmati istri. Mungkin saja, seorang suami mengizinkan istrinya untuk bekerja, tetapi tidak melepaskan haknya dalam menikmati istrinya, sehingga meminta penghapusan sebagai ganti dari hak menikmati istrinya yang hilang dengan tidak memberikan nafkah. Sehingga, dalam permasalahan ini, perlu kita rinci. Jika suami mengizinkan istri keluar tanpa melepaskan haknya utuk dapat menikmati istrinya, maka tidak ada nafkah bagi sang istri. Namun, jika suami mengizinkan istri keluar dan melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya, maka istrinya tetap berhak mendapatkan nafkah.”
Dalam hal ini, keputusan ada di tangan suami. Jikalau dirinya mengizinkan istrinya bekerja untuk kepentingan istrinya sendiri dan bukan untuk kepentingan suami atau apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, lalu kemudian ia melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya kapan pun ia inginkan, maka sang istri tetap memiliki hak untuk diberikan nafkah. Sebaliknya, jika ia mengizinkan istrinya bekerja, namun tidak melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya (tidak melepaskan hak tamkin), maka istri tidak lagi wajib untuk dinafkahi.
Wallahu A’lam bis-shawab.
[Selesai]
KEMBALI KE BAGIAN 1
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Diringkas dari artikel berjudul, Musqitat An-Nafaqah Az-Zaujiyyah yang diterbitkan oleh noslih.com, dengan beberapa penyesuaian bahasa.
Leave a Reply