Dalam keseharian, tentunya manusia sebagai makhluk sosial perlu untuk berinteraksi dan bertransaksi kepada sesama manusia yang lain. Baik itu jual beli, pinjam meminjam, saling menggadai, dan lain sebagainya. Hal ini adalah hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh manusia. Dan di antara bentuk transaksi adalah Ijarah atau sewa menyewa.
Pengertian ijarah (sewa menyewa)
Secara bahasa, ijarah diambil dari kata al-ajru yang berarti upah atau ganjaran.
Secara istilah, ijarah adalah suatu akad terhadap manfaat yang mubah hukumnya dan jelas dalam tempo yang disepakati. Atau bisa juga dikatakan, pekerjaan yang jelas dengan upah yang jelas. [1]
Bentuk sewa menyewa
Setidaknya bentuk sewa menyewa ada dua jenis:
Pertama, dalam bentuk manfaat atau mengambil manfaat dari suatu benda. Contohnya: “Saya sewakan kepadamu mobil ini.” Atau dengan sifatnya, seperti: “Saya sewakan kepadamu mobil saya yang bewarna ini dan itu.”
Kedua, dalam bentuk pekerjaan yang jelas atau disebut dengan sewa jasa. Seperti membangun rumah, membawa barang-barang, dan lain sebagainya.
Sehingga, dari kedua hal di atas, dapat diketahui bahwa sewa menyewa ada yang berbentuk sewa barang dan ada yang berbentuk sewa jasa. Dan sewa menyewa ini termasuk jenis dari akad jual beli. Oleh karena itu, diharamkan akad sewa menyewa di masjid sebagaimana akad jual beli pun dilarang. Begitu pun dilarang untuk akad sewa menyewa setelah azan jumat dikumandangkan. Karena sejatinya pada sewa menyewa terdapat jual beli manfaat. [2]
Para fuqaha bersepakat akan disyariatkannya transaksi sewa menyewa. Kecuali ada beberapa saja dari kalangan ulama yang tidak membolehkannya. Namun, jumhur (mayoritas) ulama membolehkan transaksi sewa menyewa. Mereka (para ulama) yang membolehkan transaksi ini berdalil dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.
Dalil-dalil bolehnya transaksi sewa menyewa
Dalil dari Al-Qur’an
Terdapat pada kisah dua orang wanita, anak dari Nabi Syu’aib ‘alaihis salam ketika salah satu dari mereka berkata kepada ayahnya, Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan kisahnya,
قَالَتۡ إِحۡدَٮٰهُمَا يَـٰٓأَبَتِ ٱسۡتَـٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَـٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِىُّ ٱلۡأَمِينُ قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَىَّ هَـٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِى ثَمَـٰنِىَ حِجَجٍ۬ۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرً۬ا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Dia (Syu’aib) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insyaAllah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qasash: 26-27)
Pendalilan dengan ayat ini tentunya tepat, karena syariat dari kaum sebelum kita adalah syariat Islam pula selama belum di-naskh (dihapus hukumnya). [3]
Dalil yang lain dari Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
Dalil dari As-Sunnah
Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah)
Di antaranya pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan upah kepada Abdullah bin Uraiqith ketika menunjukkan beliau jalan menuju kota Madinah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alahi wasallam pernah memberikan upah kepada orang yang membekam beliau, dan lain sebagainya.
Dalil ijma’
Kaum muslimin telah bersepakat dari sejak zaman sahabat akan bolehnya transaksi sewa menyewa. Karena butuhnya manusia kepada manfaat yang ada sebagaimana butuhnya mereka kepada barang-barang. Ketika akad jual beli diperbolehkan, maka otomatis diperbolehkan pula akad sewa menyewa dalam bentuk manfaat. [4]
Syarat sewa menyewa
Sah atau tidaknya sewa menyewa tentunya harus memenuhi syarat-syaratnya. Setidaknya ada beberapa syarat terkait dengan bolehnya sewa menyewa, yaitu:
Manfaat atau barang yang jelas
Artinya, penyewa mendapatkan keuntungan sebagai timbal balik dari upah yang diberikan kepada penyedia jasa atau yang disewakan. Dan keuntungan ini harus terlihat atau bisa disifati.
Misalnya, Abdullah menyewa mobil kepada Umar. Tentunya, Abdullah harus mengetahui terlebih dahulu mobilnya Umar yang ingin disewakan. Ini contoh dalam bentuk barang.
Jika dalam bentuk jasa, maka harus diketahui dulu misalnya, bahan pokok apa saja yang digunakan untuk membangun suatu proyek, berapa nominalnya, dan butuh berapa yang harus dihabiskan atau yang semisalnya.
Karena, jika tidak jelas manfaatnya atau barangnya, hal ini dinamakan dengan spekulasi. Dan spekulasi dalam hal ini bisa terjatuh kepada perjudian karena adanya gharar pada sewa menyewa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari jual beli gharar.
Sehingga, barang yang disewakan atau manfaatnya harus jelas. Jika tidak, maka tidak sahlah sewa menyewa tersebut.
Upah yang jelas
Berikut ini adalah syarat kedua, yaitu jelas upahnya. Sebagai ganti dari manfaat yang diberikan dari pemberi penyewaan jasa atau barang. Sehingga jika ada orang yang mengatakan, “Saya menyewa rumah anda dengan uang yang ada di rekening saya.” Maka, sewa menyewa ini tidak sah hukumnya. Karena adanya ketidakjelasan alias majhul. Walaupun di rekeningnya terdapat jumlah yang banyak.
Atau seseorang mengatakan, “Saya ingin menyewa rumahmu dengan anak kambing yang akan lahir di bulan November.” Tentu hal ini juga tidak sah, karena bentuknya adalah spekulasi. Dan tidak jelas ada berapa anak kambing yang akan lahir dari perut induknya. Dan contoh-contoh lainnya. Silahkan untuk meng-qiyas-kan hal-hal lainnya.
Barang yang disewakan adalah barang yang boleh untuk digunakan (halal)
Tentunya syarat ketiga ini sudah jelas perkaranya, barang atau manfaat dari sewa menyewa tersebut harus halal, tidak boleh dalam bentuk yang haram. Tidak boleh sewa menyewa dalam bentuk perjudian, zina, alat-alat musik, dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٲنِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Sehingga, jika bentuk manfaat atau barang yang disewakan adalah suatu yang haram, tidak sah akad sewa menyewa tersebut, dan wajib untuk dibatalkan.
Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.
[Bersambung]
***
Depok, 12 Rabiul akhir 1446/17 Oktober 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 182.
[2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 10: 5.
[3] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3801.
[4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3803.
Referensi:
Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih.
Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.
Leave a Reply