Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 2)

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 2)

Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihak

Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya tentang pengertian, dalil-dalil, bentuk, dan syarat-syarat dalam transaksi sewa menyewa. Perlu diketahui pula bahwasanya akad dalam transaksi sewa menyewa adalah akad yang mengikat antara kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak bebas dalam berlaku apa pun, kecuali dengan kesepakatan bersama. Mengingat transaksi ini disamakan kategorinya oleh para ulama dengan jual beli. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi semua akad,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …” (QS. Al-Ma’idah: 1)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan tafsir yang sangat bagus,

“Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu untuk memenuhi segala perjanjian. Artinya, untuk menyempurnakannya, menyelesaikannya, dan tidak melanggar atau mengurangi sedikit pun darinya. Hal ini mencakup segala jenis perjanjian, baik antara hamba dengan Rabbnya … Dan juga perjanjian antara hamba dengan manusia lainnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, dan sejenisnya, serta perjanjian pemberian seperti hibah dan sebagainya. Bahkan, termasuk pula memenuhi hak-hak sesama muslim yang telah ditetapkan oleh Allah di antara mereka.” (Tafsir As-Sa’di, Surah Al-Ma’idah ayat 1, dengan sedikit diringkas)

Fokus tulisan kali ini bermuara pada pembahasan faskh. Yakni, batalnya suatu akad transaksi antara kedua belah pihak. Berikut ini adalah pembahasan yang harus diketahui.

Faskh atau batalnya transaksi sewa menyewa

Akad transaksi sewa menyewa tidak dapat dibatalkan, kecuali karena adanya aib (cacat) atau hilangnya manfaat yang diterima dari akad tersebut. Demikian yang disebutkan oleh jumhur ulama.

Kemudian, para ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai transaksi sewa menyewa jika salah satu pihak wafat. Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat, “Jika demikian, maka di-faskh (dibatalkan) akad tersebut. Karena tidak mungkin berpindah akad tersebut kepada ahli warisnya, mengingat yang melakukan akad tersebut adalah si mayit.” Maka, mereka mengatakan, “Akad tersebut terbatalkan secara otomatis.”

Adapun jumhur dari ulama Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka berpendapat tidak terbatalkannya akad tersebut walaupun salah satu dari keduanya wafat. Karena akad tersebut adalah akad yang mengikat, yang tentunya harus dilaksanakan dan diselesaikan hingga sampai waktu yang telah disepakati.[1]

Dalil dari hal ini adalah hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظُهِرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا

Umar bin Khaththab telah mengusir orang-orang Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Sesungguhnya setelah penaklukan Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu, sebab setelah dikuasai, negeri tersebut milik Allah dan Rasul-Nya serta milik kaum Muslimin seluruhnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud hendak mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu. Akan tetapi, orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau membolehkan mereka tetap tinggal di sana untuk meneruskan usaha (pertanian) mereka, dengan ketentuan bagi mereka setengah bagian dari hasil buah-buahan yang mereka kerjakan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, “Kami izinkan kalian menetap dengan ketentuan seperti itu sampai batas waktu yang kami kehendaki.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sisi pendalilannya adalah akad transaksi tersebut tidak terbatalkan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memperbarui akad tersebut. Hanya saja, di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, mereka pun diusir oleh Umar dari Khaibar ke Taima’ dan Ariha’.

Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang dapat membatalkan akad dari transaksi sewa menyewa,

Pertama: Rusaknya barang yang disewa

Contohnya, seperti mobil yang disewa mengalami kerusakan pada mesinnya. Maka, hal ini boleh jika ingin dibatalkan akadnya. Namun, pada poin ini, terdapat dua keadaan:

Pertama, akad tetap berlangsung jika pemilik barang bisa memperbaikinya.

Seperti halnya dengan contoh di atas, jika mobil yang rusak tersebut dapat diperbaiki dan bisa kembali berjalan, maka akad dari transaksi sewa menyewa tidak dibatalkan. Tentunya dalam hal ini, yang memperbaiki adalah pemilik barang, bukan penyewa, kecuali jika kerusakan disebabkan oleh penyewa. Maka, penyewalah yang ganti rugi atau memperbaikinya.

Kedua, jika pemilik barang tidak bisa atau tidak ingin memperbaikinya. Maka, penyewa diberikan pilihan, tetap menggunakan barang tersebut atau membatalkan akadnya serta uangnya kembali.

Kedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa

Contohnya, seorang penyewa menyewa rumah, kemudian ternyata beberapa hari setelahnya, rumahnya dikepung. Maka, hal yang seperti ini boleh untuk dibatalkan akadnya. Mengingat, penyewa tidak bisa mendapatkan manfaat dari penyewaan rumah tersebut karena ada rasa takut yang mengintainya.

Pada poin ini, sejatinya berlaku pula dua keadaan sebagaimana hal di atas:

Pertama, jika manfaat tersebut tidak bisa ditoleransi, sebagaimana contoh yang baru saja disebutkan di atas. Maka, hal ini tentunya terbatalkan akadnya.

Kedua, jika manfaat tersebut masih bisa ditoleransi, maka hendaknya dicari solusi dan tidak dibatalkan akadnya.

Contohnya, ada seseorang yang menyewa orang lain untuk membangun rumahnya. Kemudian karena satu dan lain hal, tukang atau kuli tersebut terkena sakit. Maka, tentunya hal ini tidak bisa otomatis membatalkan akad.

Lalu, bagaimana solusinya?

Solusinya adalah kuli tersebut mencari teman yang lain untuk menggantikan posisinya sementara. Karena ini adalah hak yang harus ditunaikan dan mengingat seorang muslim tergantung dari perjanjiannya.

Bagi penyewa, dalam hal ini diberikan pilihan apakah ingin menunggu dan bersabar; atau ingin membatalkan akadnya. [2]

Demikianlah solusi yang diberikan oleh para ulama tentang masalah batalnya transaksi sewa menyewa.

Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. 

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1

***

Depok, 17 Rabiul akhir 1446/ 20 Oktober 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3836.

[2] Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 190-191, dengan sedikit tambahan.

 

Referensi:

Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih.

Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *