Mengenal Allah merupakan tujuan utama dari seluruh makhluk. Mengenal nama-nama Allah merupakan cara untuk memahami kebesaran dan kekuasaan-Nya. Tidak ada kehidupan bagi hati, kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, menyembah-Nya hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merasakan ketenangan dengan mengingat-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya.
Salah satu nama-Nya yang agung adalah “Al-Ghaniy“, yang berarti Mahakaya. Nama ini menunjukkan bahwa Allah tidak membutuhkan siapa pun, sedangkan seluruh makhluk bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Berikut adalah penjelasan singkat tentang salah satu nama dari nama-nama Allah yang indah, yaitu “Al-Ghaniy” (الغني). Kami memohon kepada Allah Yang Mahakaya agar memberikan taufik kepada kita untuk memahami dan mengamalkan kandungannya.
Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“
Nama Allah “Al-Ghaniy” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak delapan belas kali. [1]
Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
Surah Al-Baqarah ayat 263
قول معْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذَى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. Dan Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.”
Surah Al-An’am ayat 133
وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ
“Dan Tuhanmu adalah Yang Mahakaya lagi mempunyai rahmat.”
Surah Ibrahim ayat 8
إن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”
Surah An-Naml ayat 40
وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.”
Surah At-Taghabun ayat 6
فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Mereka kufur, lalu berpaling, namun Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”
Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“
Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaniy” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.
Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“
Az-Zajjajiy rahimahullah mengatakan,
الغني في كلام العرب: الذي ليس بمحتاج إلى غيره
“Al-Ghaniy dalam ucapan orang Arab, yaitu orang yang tidak membutuhkan orang lain.” [2]
Dari sisi asal kata, “Al-Ghaniy” berasal dari kata “ghaniya” ( غَنِيَ ) yang memiliki dua akar makna utama: (1) menunjukkan kecukupan ( الْكِفَايَةِ ), dan (2) menunjukkan suara.
Dikatakan, ‘Seseorang ghaniy jika ia mencukupi dirinya dengan kekayaannya.’ [3]
Al-Fayyumiy rahimahullah mengatakan, “Ghana’ ( الْغَنَاءُ ) berarti ( الِاكْتِفَاءُ ) kecukupan.” [4]
Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam”
Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks Allah
ِAbul Qasim Al-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, “Ghaniy dalam bahasa Arab berarti seseorang yang tidak membutuhkan orang lain. Begitu pula Allah, Dia tidak membutuhkan siapa pun, dan Mahasuci Dia dari segala kebutuhan, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Sesungguhnya Allah Mahakaya dari seluruh alam.” (QS. Al-Ankabut: 6)
Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15)
Allah tidak membutuhkan siapa pun dalam penciptaan-Nya dan apa yang Dia atur. Dia memberi, menyediakan rezeki, menetapkan takdir, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” [5]
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan,
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) [6]
Kekayaan Allah yang sempurna
Allah Mahakaya dengan Zat-Nya sendiri, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya yang tidak mengandung kekurangan sedikit pun. Allah harus kaya karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti Dia adalah Pencipta, Pemberi rezeki, Penyayang, dan Pemberi kebaikan. Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya dalam hal apa pun, sementara seluruh makhluk tidak bisa hidup tanpa bergantung kepada kebaikan, kasih sayang, dan pengaturan-Nya, bahkan sekejap mata pun.
Pemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhluk
Di antara tanda kekayaan-Nya yang sempurna adalah bahwa seluruh kekayaan langit dan bumi adalah milik-Nya. Pemberian-Nya kepada makhluk-Nya terus mengalir, siang dan malam, dengan tangan-Nya yang senantiasa terbuka untuk memberi.
Kekayaan-Nya juga terlihat dalam ajakan-Nya kepada hamba-hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya setiap saat, dan Dia menjanjikan untuk mengabulkan. Dia memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan menjanjikan penerimaan dan ganjaran. Jika seluruh penduduk langit dan bumi, dari yang pertama hingga yang terakhir, berkumpul dalam satu tempat dan memohon segala sesuatu yang mereka inginkan, kemudian Dia memberi mereka semua permintaan mereka, hal itu tidak akan mengurangi kekayaan-Nya sedikit pun, sebagaimana jarum yang dicelupkan ke dalam laut tidak akan mengurangi air laut.
Kekayaan khusus bagi hamba-Nya
Kekayaan Allah yang agung, yang tidak dapat diukur, tampak dalam apa yang Dia siapkan bagi penduduk surga berupa kenikmatan yang terus menerus, berbagai bentuk penghormatan, dan nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, atau terlintas di hati manusia.
Allah mengayakan hamba-hamba pilihan-Nya dengan melimpahkan pengetahuan, pemahaman, dan hakikat keimanan ke dalam hati mereka, sehingga hati mereka hanya bergantung kepada-Nya dan tidak memperhatikan apa pun selain-Nya. [7]
Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hamba
Penetapan nama “Al-Ghaniy” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:
Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi
Dalam Tafsir As-Si’di disebutkan,
فهو الغني بذاته، الذي له الغنى التام المطلق، من جميع الوجوه والاعتبارات لكماله، وكمال صفاته، فلا يتطرق إليها نقص بوجه من الوجوه، ولا يمكن أن يكون إلا غنيا، لأن غناه من لوازم ذاته، كما لا يكون إلا خالقا، قادرا، رازقا، محسنا
“Allah adalah Yang Mahakaya dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada kekurangan yang dapat menyentuh-Nya, dan tidak mungkin bagi Allah selain menjadi Al-Ghaniy, karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti penciptaan, kekuasaan, pemberian rezeki, dan kemurahan-Nya.”
Syekh As-Si’diy rahimahullah melanjutkan, “Dia tidak membutuhkan siapa pun dari segi apa pun. Dialah Al-Ghaniy, yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, serta perbendaharaan dunia dan akhirat. Dia memberi kekayaan kepada seluruh makhluk-Nya secara umum, dan khususnya kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan ilmu dan iman yang Dia curahkan ke dalam hati mereka.” [8]
Menyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hamba.
Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan sifat agung ini, maka ia akan mengenal dirinya. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekayaan mutlak, ia akan mengenal dirinya dengan kefakiran mutlak. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekuasaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kelemahan total. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kemuliaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kehinaan sempurna. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan ilmu dan hikmah sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kebodohan. Pengetahuan hamba tentang ketergantungannya kepada Allah, yang merupakan buah dari pengenalan ini adalah tanda kebahagiaan dan keberhasilannya di dunia dan akhirat.” [9]
Secara lebih rinci, Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa fakir itu ada dua macam:
Pertama: Fakir yang bersifat darurat, yaitu fakir yang mencakup semua manusia, baik orang saleh maupun orang fasik, dan tidak menuntut pujian atau celaan.
Kedua: Fakir yang bersifat pilihan, yang muncul dari dua pengetahuan penting: pengetahuan hamba tentang Tuhannya, dan pengetahuan hamba tentang dirinya. Fakir inilah yang merupakan kekayaan sejati, kebahagiaan, dan keberhasilan.
Mereka yang paling sempurna dalam hal ini adalah mereka yang paling banyak mengetahui kekurangan diri dan kekayaan Tuhan mereka. Semakin seorang hamba mengetahui kekuasaan Allah, semakin ia merasa fakir dan membutuhkan Allah. [10]
Berdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun.
Sebagai hamba yang sangat fakir, tentu kita sangat membutuhkan Allah Ta’ala. Di antaranya, kita bisa memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun. Imam An-Nasa’i meriwayatkan hadis sahih dari Anas bin Malik, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah,
ما يمنعك أن تسمعي ما أوصيك به، أن تقولي إذا أصبحت وإذا أمسيت: يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث، أصلح لي شأني كله، ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين.
“Apa yang menghalangimu untuk mendengarkan apa yang aku wasiatkan kepadamu? Ucapkanlah ketika pagi dan sore, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku, dan jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau sekejap mata pun.’” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 6:147 dan Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 46.)
Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.
Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim”
***
Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiulakhir 1446 H.
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel: Muslim.or.id
Referensi Utama:
Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M.
Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an, Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy, Dar Fadhilah.
Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah-Mesir, cet. ke-1, 2015 M.
An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi-Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.
Catatan kaki:
[1] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 462; Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 211.
[2] Isytiqaq Asma’ Allah, karya Az-Zajjajiy, hal. 117.
[3] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibnu Faris, 4:397.
[4] Al-Mishbah Al-Munir, hal. 461.
[5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 117.
[6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62.
[7] Disarikan dari Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62-64.
[8] Tafsir As-Si’diy, hal. 948.
[9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 214.
[10] Lihat Thariq Al-Hijratain, karya Imam Ibnul Qayyim, hal. 13-14.
Leave a Reply