Sebab-Sebab Terbesar Su’ul Khatimah (Kematian yang Buruk)

Sebab-Sebab Terbesar Su’ul Khatimah (Kematian yang Buruk)

Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh setiap makhluk-Nya. Semuanya akan mati dan akan menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan selama hidupnya di dunia. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35)

Sebagai seorang muslim, tentunya menginginkan kematian yang indah di akhir hidupnya, diwafatkan dalam kondisi yang baik, dan diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lantas, bagaimana jika kita diwafatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla dalam kondisi sebaliknya? Tentunya, kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi pada diri kita.

Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada su’ul khatimah (kematian yang buruk) agar senantiasa berhati-hati dan menghindarinya dengan segala upaya dan kemampuannya.

Dan di antara sebab-sebab su’ul khatimah adalah:

Akidah yang menyimpang

Seseorang yang memiliki keyakinan yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia akan meyakini perbuatan yang ia lakukan adalah kebenaran, padahal itu adalah kesesatan. Dia merasa apa yang ia lakukan sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jika, ia tidak segera sadar dan bertobat sebelum kematiannya, maka sia-sialah apa yang telah ia lakukan selama ini dan bisa menjadi sebab ia mati dalam kondisi su’ul khatimah. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakan (Wahai Muhammad), ‘Maukah engkau aku beritakan tentang amalan yang paling merugi? Yaitu, mereka yang semasa di dunia melakukan amalan yang sesat, tapi sayangnya mereka mengira telah berbuat baik.’ ” (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Sungguh merugi, orang yang menyimpang dari akidah yang lurus. Seluruh amalannya sia-sia dan ia termasuk orang-orang yang merugi. Ia akan senantiasa dalam kesesatannya dan sulit untuk bertobat darinya. Para pelaku penyimpangan akan sulit untuk menerima kebenaran, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menutup pintu tobat bagi mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

Sesungguhnya Allah menutup pintu tobat bagi para pelaku penyimpangan sampai dia tinggalkan ke-bid’ah-annya.” (HR. Ath-Thabrani)

Jika bukan karena taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mereka akan senantiasa dalam kesesatannya dan tidak akan bertobat darinya hingga kematiannya.

Menunda-nunda tobat

Menunda-nunda untuk bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari dosa-dosa yang pernah dilakukan adalah salah satu faktor yang menyebabkan seseorang tenggelam ke dalam angan-angan yang sia-sia. Ia akan berpikir untuk berbuat dosa sebanyak mungkin dan di suatu waktu, ia akan bertobat darinya entah kapan. Ia tidak sadar bahwa kematian bisa datang sewaktu-waktu, kapan saja, dan di mana saja. Bagaimana jika ia dimatikan dalam kondisi berlumuran dosa dan belum sempat bertobat darinya? Oleh karena itu, Allah ‘Azza Wajalla sangat membenci dan mencela orang-orang yang panjang angannya sehingga melalaikan mereka dari berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

رُّبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ  ذَرْهُمْ يَأْكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Orang-orang yang kafir itu sering kali menginginkan, kiranya mereka dahulu di dunia menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr: 2-3)

Dengan menunda tobat, berarti ia telah menunda kebaikan yang besar dan sekadar berangan-angan saja. Disebutkan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan modal bagi orang-orang yang merugi lagi bangkrut.

إن المنى رأس أموال المفاليس

Sesungguhnya sekadar berangan-angan tanpa realisasi itu adalah modal orang-orang yang bangkrut.” (Madarijus Salikin, 1:456)

Ujungnya ia akan menyesal selamanya dengan penyesalan yang terlambat, karena kematian lebih dulu menjemputnya di saat ia bergelimang dosa. Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata,

“Berhati-hatilah dengan sikap menunda-nunda. Hari ini adalah sekarang. Janganlah menunggu esok hari, karena jika esok tak kunjung datang, hanya penyesalanlah atas apa yang luput darimu.” (Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 30)

Senantiasa bermaksiat

Di antara sebab yang sering kali menggelincirkan seseorang pada kematian yang buruk adalah kemaksiatan yang terus menerus. Kemaksiatan akan menyebabkan seseorang lalai dari perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan enggan untuk bertobat sehingga membuatnya dengan mudah mengalami su’ul khatimah saat kematiannya. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

أن الذنوب والمعاصي والشهوات تخذل صاحبها عند الموت مع خذلان الشيطان له. فيجتمع عليه الخذلان مع ضعف الإيمان. فيقع في سوء الخاتمة

Sungguh dosa, maksiat, dan syahwat ialah sebab yang bisa menggelincirkan manusia saat kematiannya, ditambah lagi dengan godaan setan. Jika terkumpul maksiat dan godaan setan, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh amat mudah ia mati dalam kondisi su’ul khatimah.” (Al-Bidayah Wan Nihayah, 10:184)

Apabila seseorang selama hidupnya senantiasa banyak melakukan amal buruk atau kemaksiatan dan sedikit sekali amal baiknya, dikhawatirkan saat menjelang kematiannya, ia dimatikan dalam kondisi buruk pula. Karena ketika ia sering bermaksiat, maksiat itu akan menghalanginya untuk bertobat dan melakukan ketaatan, serta keburukanlah yang akan menghiasi pikirannya ketika menjelang kematiannya sehingga menyebabkannya mati dalam kondisi su’ul khatimah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُبعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ

Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai kematiannya.” (HR. Muslim)

Maksud dari hadis tersebut dijelaskan oleh Al-Munawi rahimahullah,

أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ

Yaitu, ia mati di atas kehidupan yang biasanya ia lakukan dan ia dibangkitkan di atas hal itu pula.” (At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ As-Shagir, 2:859)

Oleh karenanya, kematian seseorang biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan semasa hidupnya. Jika ia terbiasa dengan melakukan keburukan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi buruk pula. Begitu sebaliknya, jika ia terbiasa dengan melakukan kebaikan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi yang baik pula.

Terlalu cinta pada dunia

Cinta pada dunia biasanya dipengaruhi oleh lemahnya keimanan seseorang. Karena sebab lemahnya iman ini, akan menyebabkan lemahnya kecintaan dia kepada Rabbnya. Nantinya, yang akan menguasainya adalah syahwat dan maksiat, serta kecintaannya pada dunia yang amat mendalam.

Selain itu, kecintaan yang berlebihan pada dunia akan menyebabkan seseorang merasa berat atau bahkan enggan untuk melakukan ketaatan dan amal kebaikan. Dengan begitu, setan akan dengan mudah membuatnya terjerumus ke dalam kubangan dosa dan kemaksiatan.

Terlalu cinta pada dunia akan meredupkan iman seseorang, bahkan bisa saja membuatnya jatuh dalam kegelapan (kekufuran). Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perumpamaan dunia dengan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا مَثَلُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا كَمَآءٍ أَنزَلْنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخْتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلْأَنْعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَخَذَتِ ٱلْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَآ أَنَّهُمْ قَٰدِرُونَ عَلَيْهَآ أَتَىٰهَآ أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَٰهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِٱلْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

Demi Allah, tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya?” (HR. Muslim no. 2868)

Salah seorang salaf juga mengatakan, “Cinta dunia adalah induk dari segala dosa dan merusak agama seseorang.”

Berlebihan dalam mencintai dunia berarti ia lebih mengagungkan sesuatu selain Allah dan ini termasuk dalam dosa yang paling besar yang dapat mendatangkan azab dan murka-Nya. Selain itu, mencintai dunia dibanding akhirat berarti ia telah menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, padahal kehidupan akhirat jauh lebih baik dibandingkan dunia. Sebab, inilah yang sering kali membuat seseorang lalai dan menjumpai kematiannya dalam kondisi yang buruk.

Sebagai penutup, agar terjauhkan dari sebab-sebab tersebut hendaklah seseorang senantiasa melakukan ketaatan dan bertakwa kepada Rabbnya, melakukan apa yang diperintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Bersegera untuk bertobat, memperbaiki tujuan hidupnya, dan memperbanyak doa meminta husnul khatimah. Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepadaMu!’” (HR. Muslim, no. 4798)

***

Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md.

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *