Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Abdurrahman di masa Nabi ﷺ

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya.

Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1]

Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu,

فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها.

Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274)

Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2]

Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah.

Fatwa ketika terjadi wabah amwas

Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin.

Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه

Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730)

Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya.

Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi

Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata,

“Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156)

Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata,

“Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani)

Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan.

Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata,

“Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.”

Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.”

Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.”

Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700)

Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru.

Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata,

“Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata,

“Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3]

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad

[Bersambung]

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah.

[3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *