Satu Kali atau Dua Kali?

Satu Kali atau Dua Kali?

Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara.

Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.

Definisi azan

Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1]

Dalam firman Allah Ta’ala,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ

“Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”.

Secara istilah, azan didefinisikan sebagai,

الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة

“Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2]

Tentang azan Jumat

Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum.

Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3]

Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك

Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874)

“Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

بين كل أذانين صلاة

Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4]

Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat

Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut.

Mayoritas ulama

Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah.

Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini.

Mereka berdalil dengan:

Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

… فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ

“Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya)

Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau.

Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya.

Pendapat lainnya

Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan.

Mereka berdalil dengan:

Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470)

Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah).

Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti.

Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar.

Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5]

Cara melaksanakan azan dua kali

Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunnahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya:

Tempat azan pertama yang tidak di masjid

Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6]

Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat

Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7]

Bijak dalam menyikapi perbedaan

Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali.

Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8]

Kesimpulan

Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam.

Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau.

***

Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi Utama:

Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M.

Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.

 

Catatan kaki:

[1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10.

[2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165.

[3] Al-Mughni, 3: 162.

[4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200.

[5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203.

[6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394.

[7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203.

[8] Liqa’ Syahri, 9: 69.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *