Mengapa Harus Sabar Kalau Bisa Marah?

Mengapa Harus Sabar Kalau Bisa Marah?

Intermeso

Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan.

Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar.

Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar.

Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur.

Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu,

عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له

Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan.

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.”

Sabar dalam Al-Qur’an

Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ

Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)

وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ

“… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya,

وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ

“… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat,

وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ

Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126)

Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak.

Hakikat keberadaan dunia

Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155)

وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah?

Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan.

Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar.

Pemberian terbaik dari Allah

Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya,

وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ

Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam hadis lain juga disebutkan,

والصَّبْرُ ضِياءٌ

Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim)

Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar.

Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah?

Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya?

Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan?

Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya?

Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal:

Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan

Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama:

  • sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan,
  • sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra,
  • dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai.

Apa itu sabar dan kenapa harus sabar?

Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya.

Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif.

Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya.

Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini.

Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan.

Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis?

Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah.

Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar?

Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar.

Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga?

Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!”

Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita.

Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)

Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum.

 

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *