Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Teks Hadis

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ

“Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan)

Kandungan Hadis

Kandungan pertama

Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang.

Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan.

Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2]

Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan.

Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada.

Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4]

Kandungan kedua

Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka.

Kandungan ketiga

Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah.

Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya).

Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5]

Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami

***

@Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024

Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya.

[2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52.

[3] Al-Mughni, 10: 120.

[4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216.

[5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *