Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain.

Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda,

مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ

“Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut.

Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.)

Anjuran menjaga perasaan antar sesama

Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil.

Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya,

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

“Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24)

Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat.

Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)

Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.)

Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ

“Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!”

Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?”

Beliau menjawab,

الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016)

Dalam riwayat lain,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46)

Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ

“Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim)

Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut.

Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ

“Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan

Menjaga perasaan hewan

Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan.

Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584)

Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda,

أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟

“Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93)

Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya.

Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan)

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *