Pengertian Walimah
Asal kata “walimah” bermakna “kesempurnaan” dan “pertemuan”. Dikatakan,
أولم الرجل
“Aulama ar-rajulu’, ketika akal dan budi pekerti seseorang bersatu. Lalu makna ini diadaptasi untuk menyebut hidangan (jamuan) makanan dalam pesta pernikahan karena adanya pertemuan antara mempelai laki-laki dan perempuan, atau pertemuan para wanita di dalamnya, atau karena adanya kumpulan berbagai jenis makanan.
Yang dimaksud dengan istilah “walimah” di sini adalah khusus untuk hidangan dalam pesta pernikahan. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah menukil dari Tsa’lab dan lainnya dari ahli bahasa bahwa “walimah” adalah istilah khusus untuk makanan dalam pesta pernikahan dan tidak digunakan untuk selainnya. [1]
Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa “walimah” mencakup semua jenis makanan yang disiapkan untuk merayakan kebahagiaan dan kegembiraan, seperti menyambut orang yang datang dari safar (perjalanan jauh), atau makanan untuk akikah, namun penggunaan istilah “walimah” ini lebih sering merujuk pada hidangan makanan pesta pernikahan.
Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah berkata,
وقول أهل اللغة أَوْلى؛ لأنهم أهل اللسان، وأعرف بموضوعات اللغة
“Pendapat ahli bahasa lebih utama, karena mereka adalah ahli dalam bahasa dan lebih memahami makna-makna bahasa.” [2]
Oleh karena itu, penggunaan umum istilah “walimah” merujuk pada pesta pernikahan atau walimatul urs. Jika digunakan untuk acara (maksud) lain, harus ada keterangan tambahan, seperti “walimah khitan” (pesta sunatan) atau “walimah kedatangan dari perjalanan”, dan sejenisnya yang dikenal oleh orang Arab. Sehingga jika disebut “walimah” saja tanpa ada tambahan keterangan lain, maka maksudnya adalah walimatul urs.
Dalam walimah terdapat banyak manfaat dan faedah, berupa pengumuman pernikahan dengan berkumpulnya orang-orang, serta terdapat pula unsur silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan tetangga, memberi makan kepada fakir miskin, serta memberikan kebahagiaan kepada istri, keluarga, dan kerabat-kerabatnya.
Dalam serial tulisan ini, penulis akan membahas hukum-hukum fikih terkait walimah, yang diambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab Bulughul Maram. Adapun syarah (penjelasan) hadis-hadis tersebut, kami sarikan dari penjelasan Syekh Abdullah Al-Fauzan di kitab beliau, Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram.
Teks Hadis Pertama
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى عَلَى عَبْدِ الرّحْمنِ بنِ عَوْفٍ أثَرَ صُفْرَةٍ فَقَال: مَا هذَا؟ ، قَال: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي تَزَوّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبِ، قَال: فَبَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat tanda kuning pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya, ‘Apa ini?’ ‘Abdurrahman menjawab, ‘Wahai Rasulullah, saya baru saja menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.’” (HR. Bukhari no. 5155 dan Muslim no. 1427)
Kandungan Hadis Pertama
Kandungan pertama: Hukum mengadakan walimah
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang disyariatkannya mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan dan menganjurkannya. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya mengadakan walimah menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: Hukum mengadakan walimah itu dianjurkan (sunah), dan ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Mereka berpendapat demikian karena walimah adalah hidangan (jamuan) yang diadakan untuk merayakan sebuah kebahagiaan, sehingga menyerupai hidangan lainnya, seperti makanan untuk menyambut kedatangan dari safar (perjalanan jauh) dan sejenisnya.
Selain itu, tidak ada dalil yang secara tegas mewajibkannya. Hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ini tidak menunjukkan kewajiban secara jelas, karena Rasulullah hanya memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, yang menurut kesepakatan ulama tidak wajib. Maka, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَوْلِمْ
“Adakanlah walimah’; dipahami sebagai perintah anjuran (sunah).
Pendapat kedua: Hukum mengadakan walimah itu wajib. Ini adalah pendapat madzhab Zhahiriyah, dan juga merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Penulis kitab Al-Inshaf menyebutkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau berkata,
تجب ولو بشاة
“(Mengadakan walimah) itu wajib, meskipun hanya dengan seekor kambing”; karena adanya perintah. Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu ‘Aqil rahimahullah. [3]
Mereka berdalil dengan beberapa argumentasi berikut ini:
Argumentasi pertama: Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah, dan perintah tersebut menunjukkan hukum wajib (sebagaimana dalam kaidah ushul fikih). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk tetap mengadakan walimah meskipun telah menyetubuhi istrinya.
Argumentasi kedua: Hadis Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa ketika ‘Ali melamar Fathimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنه لا بد للعرس -وفي رواية: للعروس- من وليمة
“Harus diadakan walimatul urs.” [4]
Pendapat yang lebih kuat: Pendapat yang menyatakan bahwa hukum mengadakan walimah itu wajib (pendapat kedua) adalah pendapat yang kuat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan tidak ada indikator yang memalingkannya dari hukum wajib; dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun dengan hidangan yang mudah didapat (sederhana). Oleh karena itu, yang lebih hati-hati bagi yang mampu adalah tidak meninggalkan walimah sebagai bentuk ketaatan kepada perintah, meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk memperoleh manfaat dan faedah besar yang telah disebutkan sebelumnya.
Ulama yang menyatakan tidak wajib beralasan bahwa tidak ada batasan kadar (hidangan atau makanan) tertentu untuk walimah yang ditetapkan oleh syariat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa mengadakan walimah itu tidak wajib. Anggapan ini bisa dibantah bahwa hal itu tidak berarti bahwa tidak ada kewajiban mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan daging, dengan roti, dan juga memerintahkan untuk menyembelih kambing, yang menunjukkan bahwa ada kelonggaran dalam pelaksanaan walimah. Sebagaimana terdapat kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah, dan syariat tidak memberikan batasan tertentu kadar nafkah tersebut, namun dikembalikan kepada norma dan kebiasaan masyarakat (‘urf) setempat dan kebutuhan masing-masing keluarga. Demikian pula walimah.
Kandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimah
Hadis ini menunjukkan bahwa walimah itu disyariatkan, dan itu berasal dari pihak suami, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Abdurrahman ‘Auf,
أَوْلِمْ
“Adakanlah walimah”; dan beliau tidak memerintahkan pihak keluarga istri. Hal ini karena nikmat bagi suami lebih besar daripada bagi istri, karena biasanya pihak laki-laki yang menginginkan pernikahan. Adapun jika walimah tersebut diadakan oleh pihak keluarga istri, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut.
Kandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimah
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada batasan tertentu untuk jumlah dan jenis makanan yang dihidangkan dalam walimah [5]. Walimah sudah dianggap sah (baca: sehingga dapat menggugurkan kewajiban) dengan makanan apa pun yang disajikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk pernikahan beliau dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan aqith (keju kering), lemak, dan kurma [6], serta walimah untuk pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan roti dan daging [7].
Pendapat yang lebih tepat, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa jumlah (dan jenis) makanan dalam walimah itu disesuaikan dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Hal ini karena walimah termasuk dalam kategori nafkah yang dapat bervariasi berdasarkan waktu dan tempat. Maka, tidak ada batasan hidangan tertentu dalam walimah, dan walimah dapat berbeda-beda tergantung kondisi ekonomi suami. Namun, syaratnya adalah tidak boleh sampai derajat berlebih-lebihan atau untuk bermegah-megahan, seperti yang lazim terjadi di zaman sekarang. Bagi yang mampu, boleh mengadakan walimah dengan dua atau tiga ekor kambing sebagai bentuk kesempurnaan. Sementara bagi yang kurang mampu, cukup dengan makanan dan minuman yang mudah didapatkan dan sederhana, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk Shafiyyah radhiyallahu ‘anha tanpa menyajikan daging. Karena pada saat itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah saat kondisi safar.
Kandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah?
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu pelaksanaan walimah. Kebanyakan riwayat menunjukkan bahwa walimah diadakan setelah suami menggauli istrinya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah setelah menggauli istrinya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
أصبح النبي – صلى الله عليه وسلم – عروسًا بزينب فدعا القوم فأصابوا من الطعام
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada pagi hari bersama Zainab sebagai pengantin baru, beliau mengundang orang-orang dan mereka menikmati makanan.” [8]
Pendapat kedua menyatakan bahwa walimah diadakan saat akad nikah.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa waktu pelaksanaan walimah bersifat fleksibel, mulai dari akad nikah hingga setelah suami menggauli istrinya, karena terdapat riwayat yang sahih dalam kedua hal ini. Selain itu, hari-hari tersebut merupakan hari kebahagiaan dan kegembiraan. Adat dan kebiasaan masyarakat juga memiliki kaitan dalam hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
واستحب بعض المالكية أن تكون عند البناء ويقع الدخول عقبها، وعليه عمل الناس اليوم
“Sebagian ulama Malikiyah menganjurkan agar walimah diadakan pada saat pasangan bersama, dan suami menggauli istrinya setelahnya, dan inilah yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini.” [9]
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [10]
[Bersambung]
***
@Fall, 25 Rabiul akhir 1446/ 28 Oktober 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] At-Tamhiid, 10: 182.
[2] Al-Muthli’, hal. 328.
[3] Lihat Al-Muhalla, 9: 450; Al-Muhadzab, 2: 82; Al-Inshaf, 8: 317.
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (38: 142-143). Al-Hafizh (Ibnu Hajar) dalam Fath al-Bari (9: 230) mengatakan, “Sanadnya tidak bermasalah.” Dalam sanad tersebut terdapat ‘Abdul Karim bin Salit, yang hanya diriwayatkan oleh dua orang. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqat (7: 131), dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) menyatakan, “Dia (perawi) yang maqbul (diterima hadisnya).”
[5] Ikmalul Mu’lim, 4: 588.
[6] HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim, 2: 1044.
[7] HR. Bukhari no. 5163, 5171, dan Muslim no. 1428.
[8] HR. Bukhari no. 5166.
[9] Fathul Baari, 9: 230.
[10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 406-412). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Leave a Reply