Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji.
Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1]
Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau,
إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
“Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau,
“إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ
‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “
ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ”
Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan)
Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ.
“Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih)
Sifat zuhud beliau
Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan,
أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ.
Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275)
Banyak bersedekah dan ikhlas
Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita,
كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ.
“Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673)
Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala.
Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq.
Wafatnya Abdurrahman bin Auf
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2]
Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin.
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin.
[Selesai]
Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1
***
Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah.
[2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.
Leave a Reply