Penjelasan Manfaat atau Keuntungan dalam Akad Qardh (Utang Piutang)
Penjelasan Manfaat atau Keuntungan dalam Akad Qardh (Utang Piutang)
Perlu diketahui oleh pembaca bahwa setiap akad utang piutang pasti ada unsur manfaat di dalamnya, baik dari sisi yang utang atau yang diutangi, oleh karena itu tidak setiap akad utang piutang yang ada unsur manfaat di dalamnya dipastikan bahwa hukumnya haram, akan tetapi perlu diteliti lebih lanjut jenis manfaat yang didapat, apakah termasuk manfaat yang diharamkan atau yang dibolehkan.
Dari sini bisa kita pahami bahwa manfaat ini bermacam-macam, ada manfaat yang sepakat para ulama akan keharamannya, ada manfaat yang sepakat akan kebolehannya, ada yang masih menjadi titik pembahasan di kalangan para ulama karena masih belum bisa dipastikan apakah dia masuk dalam manfaat yang dibolehkan atau yang diharamkan.
1. Patokan manfaat yang sepakat para ulama akan keharamannya
Manfaat jenis pertama ini adalah: “manfaat yang bersifat tambahan, terjadi kesepakatan atas adanya manfaat tersebut di awal akad, dan manfaat hanya kembali kepada pemberi utang.”
Jenis ini telah disepakati oleh para ulama akan keharamannya, baik tambahan manfaat ini berupa tambahan nominal utang, atau dalam bentuk mengembalikan utang dengan yang lebih baik dari yang dulu diutangkan, atau pemberi utang mensyaratkan adanya manfaat yang dia dapatkan walaupun itu tidak ada kaitannya dengan utangnya, seperti pemberi utang boleh memakai kendaraan orang yang utang atau menempati rumahnya dan sejenisnya.
Manfaat jenis pertama ini dilarang karena sebab menyelisihi konsep akad utang piutang, dimana akad utang piutang merupakan akad sosial, yang mana akad sosial merupakan akad tanpa adanya profit yang kembali kepada pemberi utang, sedang jika disyaratkan adanya manfaat duniawi (profit) yang kembali kepada pemberi utang, maka akan membuat akad tersebut keluar dari sebab disyariatkannya.
قال ابن المنذر في كتابه “الإجماع”: “وأجمعوا على أنْ المسْلِفَ إذا شرط عُشْرَ السلَفِ هديةً أو زيادةً، فأسلفه على ذلك، أنّ أخذَه الزيادة ربا”.
Berkata Ibnul Mundzir: “dan para ulama telah sepakat bahwa apabila pemberi utang mensyaratkan sepersepuluh dari utang menjadi hadiah untuknya atau sebagai tambahan kemudian mereka berdua sepakat akan hal tersebut, maka hal tersebut adalah riba.” [Ibnul Mundzir. (1425 H). Al-Ijma’. Mesir: Darul atsar (hal. 109)]
وقال ابن عبد البر في “الاستذكار”: “وَكُلُّ زِيادَةٍ مِنْ عَيْنٍ أو مَنْفَعَةٍ، يَشْتَرِطُها الْمُسَلِّفُ على الْمُسْتَسْلِفِ: فَهِيَ رِبًا، لا خِلافَ فِي ذلكَ”.
Berkata Ibnu Abdul Barr: “dan segala jenis penambahan, baik berupa barang atau manfaat, dan hal tersebut disyaratkan oleh sang pemberi utang atas orang yang utang, maka itu adalah riba tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama.” [Ibnu Abdil Barr. (1421 H). Al-Istidzkar. Beirut. Dar Alkutub Al-Ilmiyah. (jilid 6, hal. 516)]
وقال ابن قدامة في “الكافي”: “لا يجوز أن يشترط في القرض شرطًا يجرُّ به نفعًا، مثل أن يشترط ردَّ أجود منه، أو أكثر، وأنْ يبيعَه وأن يشتري منه، أو يؤْجِره أو يستأجر منه، أو يُهدي له، أو يعمل له عملًا ونحوه”.
Berkata Ibnu Qudamah: “Tidak boleh mensyaratkan dalam akad utang piutang sebuah manfaat, seperti mensyaratkan untuk mengembalikan lebih bagus dari apa yang dia utangkan atau lebih banyak jumlahnya, atau mensyaratkan dia harus membeli darinya atau menjual kepadanya, atau harus menyewakan kepadanya atau menyewa darinya, atau memberinya hadiah atau mengerjakan sebuah pekerjaan untuknya.” [Ibnu Qudamah. (1414 H). Al-Kafi. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. (hilid 2, hal. 72)]
Contoh dari akad ini banyak sekali dan sering kita jumpai pada praktik utang piutang di kalangan masyarat, seperti seseorang berutang uang kemudian memberi jaminan sebidang tanah atau kendaraan, kemudian sang pemberi utang memanfaatkan tanah atau kendaraan tersebut.
Atau contoh lain adalah ketika seseorang berutang uang dengan nominal tertentu, kemudian disepakati nanti dikembalikan dengan jumlah yang lebih banyak dari utangnya.
Atau seseorang berutang uang dengan nominal tertentu kemudian ketika uang tersebut diberikan sudah dalam jumlah yang terpotong/lebih sedikit dari nominal yang tertera.
Semua ini secara umum termasuk utang piutang yang mengalir manfaat di dalamnya dan kembali manfaatnya kepada pemberi utang saja, sedang orang yang berutang mendapat mudharat, baik berupa dia tidak bisa menggarap tanah yang dia miliki, tidak bisa memakai kendaraan yang dia miliki, dan lain sebagainya.
2. Patokan manfaat yang diperbolehkan
A. Manfaat yang didapatkan oleh pemberi utang pada waktu pelunasan dan tanpa ada persyaratan sebelumnya.
Apabila pemberi utang mendapatkan manfaat dari orang yang berutang di waktu pelunasan, seperti diberi kelebihan nominal, atau dikembalikan dengan jenis yang lebih baik tanpa adanya persyaratan sebelumnya, maka hal tersebut adalah manfaat yang halal. Dalil akan hal ini adalah hadits di bawah ini:
عن أبي هريرة رضي اللَّهُ عنه قال: كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الإِبِلِ فَجاءَهُ يَتَقاضاهُ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْطُوهُ، فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلا سِنًّا فَوْقَهَا، فَقَالَ: (أَعْطُوهُ، إِنَّ خِيارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضاءً).
Artinya: dari Abu Hurairah berkata, “Dulu pernah ada seorang laki-laki yang mengutangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam satu ekor unta dengan umur tertentu, kemudian laki-laki tersebut datang kepada beliau dengan maksud ingin menagih apa yang dia utangkan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan kepada salah seorang sahabat untuk memberi apa yang dia minta, akan tetapi tidak ada unta yang seumuran dengan unta yang dulu dia utangkan kecuali unta dengan umur yang lebih besar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berikan unta tersebut, sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik ketika membayar utang.” (HR. Bukhori dan Muslim, no. 2305/1601. Hadits ini Shahih)
قال الإمام الشافعي في “الأم”: “وَمَنْ أَسَلَفَ سَلَفًا فَقَضَى أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فِي الْعَدَدِ وَالْوَزْنِ مَعًا: فَلاَ بَأْسَ بِذَلِكَ إذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ شَرْطًا بَيْنَهُمَا فِي عَقْدِ السَّلَفِ”.
Berkata Imam Syafi’i: “Barang siapa yang berutang kemudian dia mengembalikan dengan yang lebih baik dari utangnya dari segi jumlah dan berat, maka hukumnya tidak mengapa apabila tidak disyaratkan di awal ketika terjadinya akad utang piutang.” [Imam Syafi’i. (1403 H). Al-Umm. Bairut: Darul Fikr. (jilid 3, hal.36)]
وقال ابن قدامة رحمه الله في المغني: “فَإِنْ أَقْرَضَهُ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ، فَقَضَاهُ خَيْرًا مِنْهُ فِي الْقَدْرِ، أَوْ الصِّفَةِ، أَوْ دُونَهُ، بِرِضَاهُمَا: جَازَ …، وَإِنَّمَا يُمْنَعُ مِنْ الزِّيَادَةِ الْمَشْرُوطَةِ”.
Berkata Ibnu Qudamah: “Jika seseorang memberi utang secara mutlaq tanpa ada syarat, kemudian dia membayar dengan yang lebih baik dari segi nominal atau sifat, atau lebih rendah dengan keridhaan keduanya, maka hukumnya boleh. Hanyalah yang terlarang adalah tambahan yang disyaratkan.” [Ibnu Qudamah. (1388-1389 H). Al-Mughni. Maktabah Al-Kahiroh. (jilid 4, hal. 241)]
B. Manfaat yang manusia menganggapnya biasa terjadi (adat) dan tanpa adanya persyaratan di awal akad.
Seperti pemberian hadian di pertengahan waktu berutang, jamuan, tumpangan di sebuah kendaraan, dan sejenisnya dari manfaat. Jenis ini termasuk jenis yang diperselisihkan oleh para ulama empat madzhab dengan perselisihan yang kuat.
Namun dalam hal ini manusia disarankan untuk berhati-hati dan bersifat wara’, walaupun tidak semua sifat wara’ merupakan pilihan yang tepat pada setiap keadaan. Untuk mempermudah cara bersikap dalam masalah ini, mungkin pencerahan di bawah ini bisa dijadikan tolak ukur:
جاء في “الفتاوى الهندية”: “وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَتَوَرَّعَ من قَبُولِ الْهَدِيَّةِ إذَا عَلِمَ أَنَّهُ يُعْطِيه لِأَجْلِ الْقَرْضِ، وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ يُعْطِيه لَا لِأَجْلِ الْقَرْضِ بَلْ لِقَرَابَةٍ أو صَدَاقَةٍ بَيْنَهُمَا لَا يَتَوَرَّعُ عنه، وَكَذَا لو كان الْمُسْتَقْرِضُ مَعْرُوفًا بِالْجُودِ وَالسَّخَاءِ …، وَإِنْ لم يَكُنْ شَيْءٌ من ذلك فَالْحَالَةُ حَالَةُ الْإِشْكَالِ، فَيَتَوَرَّعُ عنه حتى يَتَبَيَّنَ أَنَّهُ أَهْدَى لَا لِأَجْلِ الدَّيْنِ”.
Dalam kitab Fatawa Hindiyah dikatakan: “Dan lebih diutamakan bagi seseorang untuk wara’ (menjaga diri) dari menerima hadiah, apabila dia tahu bahwa hadiah tersebut diberikan dengan maksud karena dia telah diberi utangan. Tapi jika dia tahu bahwa hadiah tersebut bukan dengan tujuan tersebut, akan tetapi karena memang unsur kekerabatan, pertemanan yang memang sudah terjalin antara mereka berdua, maka tidak perlu menjaga diri dari hadiah dan pemberian tersebut. Begitu pula apabila peminjam dikenal sebagai seorang yang dermawan. Namun, jika tidak diketahui sama sekali, maka masuk dalam perkara yang tidak jelas yang hendaknya seseorang menjaga diri dari jenis yang tidak jelas tersebut sampai jelas bahwa dia memberi tidak karena sebab utang.” [Sekumpulan Ulama. (1310 H). Fatawa Hindiyah. Mesir: Al-Matba’ah Al-Kubra Al-Amiriah. (jilid 3, hal. 203)]
C. Manfaat yang kembali kepada kedua belah pihak.
Jenis ini merupakan manfaat yang diperselisihkan oleh para ulama, ada yang berpendapat haram ada juga yang berpendapat boleh. Dan yang lebih dekat kepada kebenaran hukumnya adalah boleh.
قال ابن قدامة في “المغني”: “والصَّحيحُ جوازُه؛ لأنَّه مصلحةٌ لهما مِن غير ضررٍ بواحد منهما، والشَّرعُ لا يَرِدُ بتحريم المصالح التي لا مضرَّة فيها، بل بمشروعيتها.
Berkata Ibnu Qudamah: “Dan yang benar hukumnya adalah boleh; karena maslahatnya kembali kepada keduanya tanpa ada mudharat yang menimpa salah satu dari keduanya, sedangkan syariat tidak mengharamkan maslahat yang tidak mengandung mudharat.” [Ibnu Qudamah. (1388-1389 H). Al-Mughni. Maktabah Al-Kahiroh. (jilid 4, hal. 241)]
Dan manfaan jenis ini tidak masuk dalam nas keharaman dan juga tidak bisa diqiyaskan/digolongkan kepada yang dilarang. Maka sudah seharusnya untuk tetap pada hukum asal yaitu boleh.
Ada banyak contoh dalam masalah ini, kita ambil beberapa contoh:
وقال ابن تيمية في مجموع الفتاوى: “: “إذا أقرضه دراهم ليستوفيَها منه في بلدٍ آخر: مثل أنْ يكون المقرض غرضُه حمل الدَّراهم إلى بلدٍ آخر والمقترض له دراهم في ذلك البلد وهو محتاج إلى دراهم في بلد المقرض، فيقترض منه ويكتب له (سَفْتَجةً) -أي: ورقة إلى بلد المقترض- فهذا يصحُّ في أحد قولي العلماء.
وقيل: نهي عنه؛ لأنَّه قرضٌ جرَّ منفعة، والقرضُ إذا جرَّ منفعة كان ربًا.
والصَّحيحُ الجواز؛ لأنَّ المقترضَ رأى النَّفع بأمن خطر الطَّريق في نقل دراهمه إلى ذلك البلد، وقد انتفع المقترض أيضًا بالوفاء في ذلك البلد وأمْن خطر الطَّريق، فكلاهما منتفعٌ بهذا الاقتراض، والشَّارع لا ينهى عمَّا ينفعهم ويصلحهم، وإنَّما ينهى عمَّا يضرهم”.
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Apabila seseorang memberi utang dengan maksud agar dilunasi di negara lain. Seperti contoh: tujuan sang pemberi utang sebenarnya adalah ingin membawa hartanya ke negara lain (negara A misalkan), sedangkan yang berutang memiliki harta di negara A tersebut, tapi dia butuh harta di negara sang pemberi utang, maka dia berutang di negara sang pemberi utang dengan tujuan dia lunasi di negara A (mutualisme), maka ini merupakan praktik yang boleh menurut salah satu dari pendapat ulama.
Ada yang berpendapat praktik ini terlarang, karena praktik ini mengandung manfaat, sedang utang jika mengandung manfaat maka hukumnya adalah riba.
Namun, pendapat yang benar adalah boleh; karena sang pemberi utang mendapat manfaat berupa perpindahan hartanya ke negara A dalam keadaan aman dan terjamin, begitu pula dengan yang berutang, keduanya saling mengambil manfaat dengan akad utang tersebut, dan syariat tidak melarang dari hal yang ada manfaat untuk kemaslahatan mereka berdua, yang syariat larang adalah apa yang mudharat untuk mereka berdua.” [Ibnu Taimiyyah. (1425 H). Majmu’ Fatawa. Saudi Arabia: Mujamma’ Malik Fahad LilMushafisyarif. (jilid 29, hal. 530)]
Begitu pula apa yang dicontohkan oleh Ibnul Qoyyim, dimana beliau berkata:
ونظير ذلك أيضًا إذا أقرض فلَّاحه ما يشتري به بقرًا يعمل بها في أرضه أو بذرًا يبذره فيها.
Artinya: “Contoh lain yang konsepnya sama adalah apabila seseorang memberi utang kepada buruh tani agar dia membeli sapi dengan utang tersebut, dengan maksud supaya sang buruh tani membajak tanah sang pemberi utang. Atau agar sang buruh membeli benih supaya bisa ditanami di tanah sang pemberi utang.” [Ibnul Qoyyim. (1440 H). Tahdzibussunan Abi Dawud. Beirut: Dar Ibnu Hazm. (jilid 2, hal. 523)]
Maka yang benar dalam masalah ini adalah boleh, karena akad intinya adalah yang berutang mendapatkan manfaat dari utang tersebut, sedangkan manfaat yang didapatkan oleh sang pemberi utang bersifat mengikut, bukan inti dan tujuan. Hal ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Supaya lebih jelas perbedaanya, coba bandingkan manfaat di atas ini dengan manfaat yang ulama sepakat akan keharamannya. Seperti, seorang memberi utang dan dia mendapatkan manfaat tinggal di rumah/kontrakan yang berutang, dia mendapatkan manfaat dengan dia menanami tanah yang berutang, atau mengendarai dan menguasai kendaraan orang yang berutang padanya. Tentu perkaranya berbeda, karena berbeda, maka sudah seharusnya hukumnya juga berbeda.
Dan diantara contoh kontemporer akan adanya manfaat bersama antara orang yang berutang dan pemberi utang adalah arisan, bahkan juga arisan keluarga yang sebagian mengatakan bahwa adanya makan-makan dalam arisan keluarga termasuk manfaat yang membuatnya menjadi haram. Namun, yang tampak bagi penulis, hal tersebut bukanlah manfaat yang diharamkan, bahkan termasuk manfaat yang kembali kepada kedua belah pihak (dimana shahibul bait yang sekarang memberikan hidangan kepada anggota keluarga, nantinya juga akan diberi hidangan ketika arisan diadakan di rumah anggota yang lain), disamping masih banyak manfaat-manfaat lain yang didapat dari arisan keluarga tersebut, seperti menjalin tali silaturahmi, saling mengenal lebih dekat, adanya kajian-kajian yang didengarkan dan sejenisnya dari manfaat-manfaat yang ada, walaupun juga harus dijauhi perbuatan-perbuatan yang haram, seperti ikhtilath/campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Semoga Allah bersihkan harta kita serta menjadikannya berkah sebagai bekal kehidupan dunia dan bermanfaat untuk kehidupan akhirat. aamiin.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply