Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 3)

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 3)

Masih dalam pembahasan fikih transaksi ijarah (sewa menyewa). Salah satu transaksi yang sering kali dilakukan, tak terkecuali kaum muslimin. Tentunya, ada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Islam tentang transaksi ini yang harus diketahui ketika ingin melakukan transaksi tersebut.

Pada tulisan sebelumnya, sempat disinggung tentang bentuk sewa menyewa. Setidaknya ada dua hal:

Pertama, sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset.

Kedua, sewa menyewa dalam bentuk pekerjaan atau sewa jasa.

Dan pada pembahasan kali ini, lebih mengerucut kepada pembahasan sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset.

Hukum sewa menyewa benda atau aset

Dalam pembahasan ini, ringkasnya sewa menyewa benda atau aset secara hukum terbagi menjadi dua pembahasan,

Pertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnya

Benda atau aset yang boleh disewakan

Yaitu, setiap benda atau aset yang boleh untuk digunakan manfaatnya secara mubah; atau bisa juga dikatakan benda yang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk disewakan. Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Benda tersebut tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah.” [1]

Dan kaidah dalam hal ini, yaitu:

الأصل في الأشياء الإباحة

Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”

Tentunya sangat banyak contohnya terkait dengan hal ini. Di antaranya: tanah, rumah, hewan tunggangan, kendaraan, pakaian, dan lain sebagainya. Dan terdapat beberapa keadaan yang boleh padanya menyewakan benda atau aset yang dimiliki. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni.

Di antaranya:

1) Boleh menyewakan pohon atau batang pohon untuk menjemur baju atau untuk bernaung padanya.

2) Boleh menyewa binatang untuk memadatkan tanah atau ladang persawahan.

3) Boleh menyewa dinding atau tembok untuk meletakkan kayu-kayu padanya, dalam waktu tertentu.

4) Boleh menyewa rumah untuk dijadikan sebagai masjid yang digunakan untuk melaksanakan salat.

5) Boleh menyewa sumur untuk diambil airnya dalam kurun waktu yang ditentukan. [2]

Dan masih banyak lagi keadaan-keadaan yang boleh padanya benda atau aset disewakan. Sehingga pada poin ini telah jelas benda atau aset apa saja yang boleh disewakan.

Benda atau aset yang tidak boleh untuk disewakan

Hal ini terbagi menjadi beberapa bagian:

Benda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanya

Seperti: makanan, minuman, lilin, dan lainnya. Benda-benda seperti ini ketika disewa tidak akan tersisa bendanya dan hilang manfaat kegunaannya. Maka, tidak boleh yang seperti ini untuk disewakan. Beda halnya jika dijual. Adapun dijual, tidak ada hak untuk dikembalikan benda tersebut karena sudah menjadi milik pembeli.

Masuk dalam hal ini juga, menyewa kuda pejantan atau yang sejenisnya untuk diambil spermanya yang kemudian dimasukkan ke betina. Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu berkata,

أَنّّ النَّبِيَ نَهَى عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam melarang dari mengambil anak dari kuda pejantan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Karena yang dijadikan tujuan sejatinya adalah air mani yang dimiliki oleh si pejantan tersebut, sedangkan hal itu masih tidak jelas keberadaannya. Atas dasar ini, sewa menyewa dalam bentuk seperti ini tidak diperbolehkan. Sama halnya seperti menyewa kambing betina untuk diperah susunya. [3] 

Benda atau aset yang haram untuk diperjualbelikan

Hal ini seperti khamar, hewan yang haram untuk diperjualbelikan, seperti anjing dan babi, tidak boleh juga menyewakan benda atau aset yang dimiliki orang lain tanpa seizinnya, dan lain sebagainya yang haram untuk diperjualbelikan, maka haram juga untuk disewakan. Termasuk dalam hal ini juga, menyewakan benda atau aset yang tidak mungkin bisa diterima manfaatnya, baik itu boleh untuk diperjualbelikan atau tidak.

Terjadi perbedaan pendapat pada mushaf Al-Qur’an. Apakah boleh disewakan atau tidak. Abu Hanifah berpendapat bahwa mushaf Al-Qur’an tidak boleh untuk disewakan, dalam rangka memuliakan firman Allah Ta’ala. Adapun jumhur berpendapat boleh untuk disewakan sebagaimana buku-buku yang lain, sebagaimana boleh diperjualbelikan, maka boleh disewakan.

Kedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda

Dalam hal ini, tentunya pemberi sewa harus melihat kegunaan benda yang disewakan. Jika benda atau aset yang disewa untuk suatu hal yang halal sesuai dengan kegunaannya, maka boleh untuk disewakan. Kaidahnya,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَار

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

Para ulama mewanti-wanti terkait hal ini dalam kitab-kitab mereka dan sangat banyak contoh realita dari hal ini. Di antaranya,

1) Seperti seorang muslim yang menyewakan rumahnya untuk peribadatan agama selain Islam, untuk gereja atau yang sejenisnya.

2) Seseorang menyewakan kendaraannya untuk melakukan tindak kejahatan.

3) Seorang menyewakan gedung, kos-kosan, kontrakan, hotel, apartemen miliknya untuk dipakai pada hal-hal yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya haramkan. Seperti, pesta, mabuk, zina, judi, dan lain sebagainya.

Yang seperti ini hendaknya seorang muslim hati-hati dan betul-betul melihat untuk apa barang sewaannya tersebut digunakan. Jangan karena nominal dari uang hasil sewa tersebut, ia berani untuk menerjang apa saja yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya.

Ingatlah! Bahwa semuanya akan Allah Ta’ala tanya di akhirat kelak. Jangan sampai harta yang dimiliki di dunia justru akan menjadi pengantarnya masuk ke dalam neraka. Wal’iyadzu billah

Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. 

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2

***

Depok, 7 Jumadilawal 1446/ 9 November 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih.

Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.

Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah.

 

Catatn kaki:

[1] Al-Mughni, 9: 113.

[2] Al-Mughni, 9: 113-116.

[3] Al-Mughni, 9: 117.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *