Arisan Keluarga: Bagimana dengan Hidangan untuk Tamu, Apakah Riba?
Arisan Keluarga: Bagimana dengan Hidangan untuk Tamu, Apakah Riba?
Pada artikel yang lalu sudah kita paparkan hukum asal arisan, dimana hukum asalnya adalah mubah/boleh dilakukan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama mu’asirin/ kontemporer dan dikuatkan oleh fatwa lajnah daimah dan beberapa lajnah fatwa seperti MUI dengan alasan bahwa hukum asal dalam muamalah adalah boleh sampai ada dalil atau alasan yang yakin sehingga membuat hukumnya berpindah menjadi haram atau makruh, dan juga dengan alasan bahwa manfaat yang didapat oleh setiap anggota bersifat merata tidak menambah nominal uang yang dulu diutangkan sehingga tidak masuk dalam bab كل قرض جر نفعا فهو ربا (setiap utang piutang yang mengalir di bawahnya manfaat hukumnya adalah riba).
Ketika dibahas lebih jauh ternyata arisan ini memiliki beberapa bentuk dan tujuan, dan yang akan kita bahas pada tulisan kali ini adalah jenis arisan keluarga.
Gambaran
Arisan keluarga adalah sebuah arisan yang anggotanya terdiri dari semua anggota keluarga yang masih ada kaitannya sebagai saudara. Arisan ini biasa dilakukan berkumpul secara berpindah pindah tempat. Bagi siapa yang mendapat jatah arisan, maka sekaligus sebagai tuan rumah untuk arisan berikutnya. Tujuan diadakannya arisan ini adalah untuk mempererat tali silaturahmi antar saudara yang selama ini terpisah karena kesibukan masing-masing. Arisan keluarga biasanya dilakukan setiap sebulan sekali untuk mempertemukan keluarga yang jauh, sehingga akan tetap menjaga kekompakan keluarga. [
Analisis
Kalau kita lihat tujuan diadakan arisan keluarga akan kita jumpai bahwa tujuannya adalah tujuan yang mulia, yaitu agar mempererat hubungan antar keluarga, mengenal lebih dekat satu sama lain, mengetahui jika salah satu anggota keluarga ada yang mendapat musibah atau ujian untuk selanjutnya dicarikan solusi bersama. Ini merupakan tujuan yang mulia, sesuai dengan konsep ta’awun seperti firman Allah ‘azza wajalla:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
Artinya: “Dan tolong menolonglah kalian di atas perbuatan baik dan ketakwaan.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dan juga konsep menjalin tali silaturahmi seperti yang tertuang dalam hadits:
عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله ﷺ: (مَن سَرَّهُ أن يُبْسَطَ له في رزقِه ، وأن يُنْسَأَ له في أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَه) بخاري ٢٠٦٧ ومسلم ٢٥٥٧
Artinya: dari Anas bin Malik berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang suka untuk diberi kelancaran rezeki dan umur panjang, maka hendaknya dia menyambung tali silaturahmi.’” (HR. Bukhori, no. 2067 dan Muslim, no. 2557. Hadits ini Shahih)
Dari sini bisa kita pahami bahwa konsep arisan keluarga adalah konsep yang bagus dan baik, maka tidak ada yang perlu disoroti dalam praktik arisan keluarga kecuali satu pembahasan saja, yaitu apakah makanan yang dihidangkan kepada para peserta termasuk manfaat yang haram dan masuk dalam kaidah كل قرض جر نفعا فهو ربا (setiap utang piutang yang mengalir di bawahnya manfaat adalah riba), atau tidak? Atau makanan tersebut hanya sekedar suguhan dan jamuan layaknya seseorang memberi jamuan untuk para tamu yang datang?
Secara ringkas manfaat tersebut tidak termasuk manfaat yang terlarang dan tidak masuk dalam kaidah riba yang kita sebutkan di atas [Untuk lebih jelas tentang penjelasan secara rinci berkaitan dengan manfaat dalam akad utang piutang maka silahkan baca artikel kami di link berikut: ], karena beberapa hal di bawah ini:
- Itu merupakan manfaat yang kembali kepada kedua belah pihak dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dimana shahibul bait yang sekarang memberi suguhan suatu saat dia juga akan diberi suguhan.
- Jamuan makanan tersebut masuk kepada manfaat yang bersifat adat kebiasaan, tidak masuk dalam indikasi memberi manfaat supaya diberi utangan atau diberi masa tenggang dalam pembayaran utang. Dimana suguhan ini sudah menjadi hal yang lumrah dan wajar ketika ada tamu yang datang terlebih tamu tersebut adalah kerabat, maka termasuk hal yang wajar bagi shahibul bait untuk memberi suguhan, bahkan hal ini termasuk disyariatkan sebagai bentuk memuliakan tamu.
Untuk lebih menguatkan apa yang kita sampaikan ini mari kita baca apa yang dinukil oleh para ulama terdahulu di bawah ini:
جاء في “الفتاوى الهندية”: “وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَتَوَرَّعَ من قَبُولِ الْهَدِيَّةِ إذَا عَلِمَ أَنَّهُ يُعْطِيه لِأَجْلِ الْقَرْضِ، وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ يُعْطِيه لَا لِأَجْلِ الْقَرْضِ بَلْ لِقَرَابَةٍ أو صَدَاقَةٍ بَيْنَهُمَا لَا يَتَوَرَّعُ عنه، وَكَذَا لو كان الْمُسْتَقْرِضُ مَعْرُوفًا بِالْجُودِ وَالسَّخَاءِ …، وَإِنْ لم يَكُنْ شَيْءٌ من ذلك فَالْحَالَةُ حَالَةُ الْإِشْكَالِ، فَيَتَوَرَّعُ عنه حتى يَتَبَيَّنَ أَنَّهُ أَهْدَى لَا لِأَجْلِ الدَّيْنِ”.
Dalam Fatawa Hindiyah dikatakan: “Dan lebih diutamakan bagi seseorang untuk waro’ (menjaga diri) dari menerima hadiah, apabila dia tau bahwa hadiah tersebut diberikan dengan maksud karena dia telah diberi utangan. Tapi jika dia tau bahwa hadiah tersebut bukan dengan tujuan tersebut, akan tetapi karena memang unsur kekerabatan, pertemanan yang memang sudah terjalin antara mereka berdua, maka tidak perlu menjaga diri dari hadiah dan pemberian tersebut. Begitu pula apabila yang berutang dikenal sebagai seorang yang dermawan. Jika tidak diketahui sama sekali maka masuk dalam perkara yang tidak jelas yang hendaknya seseorang menjaga diri dari jenis yang tidak jelas tersebut sampai jelas bahwa dia memberi tidak karena sebab utang.” [Jama’ah Minal Ulama (Kumpulan Ulama). 1310 H. Fatawa Hindiyah. Matba’ah Kubra Al-Amiriyah. Mesir (3/203).]
وقال ابن تيمية في مجموع الفتاوى: “: “إذا أقرضه دراهم ليستوفيَها منه في بلدٍ آخر: مثل أنْ يكون المقرض غرضُه حمل الدَّراهم إلى بلدٍ آخر والمقترض له دراهم في ذلك البلد وهو محتاج إلى دراهم في بلد المقرض، فيقترض منه ويكتب له (سَفْتَجةً) -أي: ورقة إلى بلد المقترض- فهذا يصحُّ في أحد قولي العلماء.
وقيل: نهي عنه؛ لأنَّه قرضٌ جرَّ منفعة، والقرضُ إذا جرَّ منفعة كان ربًا.
والصَّحيحُ الجواز؛ لأنَّ المقترضَ رأى النَّفع بأمن خطر الطَّريق في نقل دراهمه إلى ذلك البلد، وقد انتفع المقترض أيضًا بالوفاء في ذلك البلد وأمْن خطر الطَّريق، فكلاهما منتفعٌ بهذا الاقتراض، والشَّارع لا ينهى عمَّا ينفعهم ويصلحهم، وإنَّما ينهى عمَّا يضرهم”.
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Apabila seseorang memberi utang dengan maksud agar dilunasi di negara lain. Seperti contoh: tujuan sang pemberi utang sebenarnya adalah ingin membawa hartanya ke negara lain (negara A misalkan) sedangkan yang berutang memiliki harta di negara A tersebut, tapi dia butuh harta di negara sang pemberi utangan, maka dia berutang di negara sang pemberi utangan dengan tujuan dia lunasi di negara A (mutualisme) maka ini merupakan praktik yang boleh menurut salah satu dari pendapat ulama.
Ada yang berpendapat praktik ini terlarang, karena praktik ini mengandung manfaat, sedang hutang jika mengandung manfaat maka hukumnya adalah riba.
Namun pendapat yang benar adalah boleh; karena sang pemberi utang mendapat manfaat berupa perpindahan hartanya ke negara A dalam keadaan aman dan terjamin, begitu pula dengan yang berutang dimana dia mendapatkan hartanya di mana dia berada sekarang, keduanya saling mengambil manfaat dengan akad hutang tersebut, dan syariat tidak melarang dari hal yang ada manfaat untuk kemaslahatan mereka berdua, yang syariat larang adalah apa yang mudharat untuk mereka berdua.” [Ibnu Taimiyyah. 2004. Majmu” fatawa. Mujamma’ Malik Fahad Lilmushafisyarif. Madinah Saudi Arabia (29/530-531)]
Dengan pembahasan di atas ini dan juga pembahasan-pembahasan pada artikel sebelumnya, terutama artikel dengan judul “Penjelasan Manfaat atau Keuntungan dalam Akad Qardh (Utang Piutang)”, maka telah jelas bagi penulis bahwa arisan keluarga hukumnya adalah mubah. Adapun manfaat yang terkandung di dalamnya, maka itu adalah manfaat yang manusia menganggapnya sebagai manfaat biasa bahkan manfaat tersebut kembali kepada semua peserta dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
Sekaligus hukum halal dalam permasalah ini sesuai dan sejalan dengan konsep attausi’ah ‘alannas (mempermudah urusan manusia) dan membiarkan manusia berinovasi dalam perkara dunia yang hukum asalnya adalah halal dan boleh.
Namun demikian, setelah jelas kepada kita hukum arisan keluarga, juga harus diperhatikan adab-adab yang lain, seperti campur baur laki-laki dan perempuan, gosip, ghibah, dan sejenisnya, supaya tujuan mulia dari arisan tersebut tercapai dengan baik dan menimbulkan maslahat yang besar.
Wallahu a’lam bishawab