Hukum-Hukum Berkaitan dengan Ziarah ke Masjid Nabawi dan Adab-Adabnya
Hukum-Hukum Berkaitan dengan Ziarah ke Masjid Nabawi dan Adab-Adabnya
Disunahkah berkunjung ke masjid Nabawi, baik sebelum haji atau setelahnya; berdasarkan apa yang datang di dalam shahihain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: {صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْ مَا سِوَاهُ إِلَّا المسجدَ الحَرَامَ} البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dibanding seribu kali shalat di masjid yang lain kecuali masjidil haram.” (HR. Bukhori, no. 1190 dan Muslim, no. 1394)
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي ﷺ قال: {صَلَاةٌ في مَسْجِدِي هذا أَفْضَلُ مِن أَلْفِ صَلَاةٍ فِيما سِوَاهُ، إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَامَ}
Dan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dibanding seribu kali shalat di masjid yang lain kecuali masjidil haram.” (HR. Muslim)
عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ: {صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ المَساجِدِ، إلَّا المسجدَ الحَرَامَ وَصَلاةٌ فِيْ المَسْجِدِ الحَرَامِ أَفْضَلُ مِن مِائَةِ صَلَاةٍ فِيْ هَذا}
Dari Abdullah bin Zubair berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dibanding seribu kali shalat di masjid yang lain kecuali masjidil haram. Dan satu kali shalat di masjidil haram lebih baik dari seratus kali shalat di masjid ini.” (HR. Ahmad, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban)
وعن جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال. {صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِواهُ إِلَّا الَمْسِجِدِ الحَرَام وَصَلَاةٌ فِيْ الَمسْجِدِ الحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ}. أخرجه أحمد وابن ماجة
Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dibanding seribu kali shalat di masjid yang lain kecuali masjidil haram. Dan shalat di masjidil haram lebih afdhal seratus ribu kali dibanding shalat di masjid yang lain.” (HR.Ahmad dan Ibnu majah).
Dan hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.
Apabila pengunjung telah sampai di masjid, maka dianjurkan baginya untuk mendahulukan kaki kanan ketika akan masuk, kemudian membaca doa:
بِسْمِ اللَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ أَعُوذُ بِاللَّهِ العَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الكَرِيمِ، وَسُلْطَانِهِ القَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
Bismillaahi wasshalaatu wassalaamu ‘alaa Rasuulillah, a’uudzu billaahil ‘azhiim, wa biwajhihil kariim, wa sulthaanihil qadiim, minas syaithaanir rajiim. Allaahummaftah lii abwaaba rahmatik
Artinya: “Dengan Nama Allah, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajah-Nya Yang Mulia dan kekuasaan-Nya Yang Abadi, dari syaithan yang terkutuk, Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku.”
Sebagaimana doa tersebut juga dibaca ketika akan masuk di masjid manapun. Dan tidak ada doa khusus untuk masuk ke masjid Nabawi.
Kemudian shalat dua rakaat, kemudian berdoa kepada Allah ‘azza wajalla di shalat tersebut dengan doa yang dia inginkan untuk kebaikan dunia dan akhiratnya. Dan jika dia lakukan shalat tersebut di Raudhah maka lebih afdhal; berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا بَيْنَ قَبْرِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجنَّةِ
Artinya: “Di antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.”
Kemudian, setelah shalat hendaknya ziarah ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kuburan dua sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Berdiri menghadap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh adab dan merendahkan suara, kemudian mengucapkan salam kepadanya dengan ucapan:
السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكاتُهُ
Assalaamu ‘alaika yaa Rasuulallah wa rahmatullahi wa barakaatuh
Artinya: “Shalawat serta salam tercurah kepada-mu wahai Rasulullah, juga rahmat dan keberkahan Allah ‘azza wajalla.”
Berdasarkan apa yang telah tetap di dalam sunan Abu Dawud dengan jalan yang hasan:
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدُّ عَلَيْهِ السَّلَام
Dari Abu Hurairah dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tidaklah satu orang pun mengucap salam kepadaku kecuali Allah akan kembalikan ruh-ku kemudian aku jawab salam tersebut.’”
Dan jika orang yang berziarah ingin berucap salam dengan lafazh:
السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا خِيْرَةَ اللهِ مِنْ خَلْقِهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ المُرْسَلِيْنَ وَإِمَامَ الُمتَّقِيْنَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّيْتَ الأَمَانَةَ وَنَصَحْتَ الأُمَّةَ وَجَاهَدْتَ فِيْ اللهِ حَقَّ جِهادِهِ
Assalaamu ‘alaika yaa nabiyyallaah, assalaamu ‘alaika yaa khiiratallaahi min khalqihi, assalaamu ‘alaika yaa sayyidal mursaliin wa imaamal muttaqiin, asyhadu annaka qad ballaghtar risaalah wa addaital amaanah wa nasahtal ummah wa jaahadta fillaahi haqqa jihaadih
Artinya: “Semoga keselamatan terlimpah padamu wahai Nabiyyallah, sebagai hamba pilihan Allah ‘azza wajalla dari para hamba-Nya, semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai pemimpin para rasul dan imam dari orang-orang yang bertaqwa. Aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, mengemban amanah, menasihati umat, dan berjihad di jalan Allah ‘azza wajalla dengan sebenar-benarnya jihad.”
Maka hukumnya juga boleh, karena semua yang disebutkan itu termasuk sifat-sifat beliau.
Kemudian membaca shalawat serta berdo’a kebaikan untuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam; berdasarkan apa yang telah tetap di dalam syariat akan disyariatkannya menjamak (menggabungkan) antara bershalawat dan mengucap salam, hal itu juga sebagai bentuk mengamalkan firman Allah ‘azza wajalla
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ (الأحزاب: ٥٦)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”
Kemudian mengucapkan salam kepada Abu Bakar dan Umar, mendo’akan kebaikan untuk keduanya dan memintakan ridho untuk keduanya.
Dulu Ibnu Umar apabila mengucap salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada kedua sahabatnya tidak pernah menambah dari sekedar ucapan
” السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا بَكْرٍ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَبَتَاه “
Artinya: “Semoga keselamatan terlimpah padamu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semoga keselamatan terlimpah padamu wahai Abu Bakar, semoga keselamatan terlimpah padamu wahai Bapakku.”
Kemudian dia berpaling atau pergi.
Ziarah ini hanya disyariatkan untuk para lelaki saja, adapun perempuan, maka tidak boleh berziarah kubur, sebagai mana yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنَّهُ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُوْرِ مِنَ النِّسَاءِ وَالُمتَّخِذِيْنَ عَلَيْهَا اَلمساجِدَ وَالسُّرُجَ.
“Bahwa beliau melaknat perempuan yang sering ziarah kubur, dan orang-orang yang menjadikannya sebagai masjid dan lampu-lampu.”
Adapun menuju Madinah untuk melaksanakan shalat di masjid Nabawi, berdoa di dalamnya dan sejenisnya dari ibadah yang juga disyariatkan di semua masjid, maka hal tersebut disyariatkan untuk laki-laki dan perempuan, berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu.
Disunnahkan kepada para peziarah untuk melaksanakan shalat lima waktu di masjid Nabawi, memperbanyak dzikir, doa, dan shalat sunnah sebagai bentuk memanfaatkan waktu karena padanya tersimpan pahala yang banyak.
Dan dianjurkan untuk memperbanyak shalat-shalat sunah di dalam raudhoh. Berdasarkan hadits yang telah berlalu penyebutannya, yaitu hadits:
مَا بَيْنَ قَبْرِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجنَّةِ
Artinya: “Apa yang ada di antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.”
Adapun shalat fardhu, maka hendaknya pengunjung lebih giat lagi dan berusaha untuk mendapatkan shaf yang terdepan sesuai kemampuan masing-masing. Berdasarkan hadits:
{لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِيْ النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوْا} متفق عليه
Artinya: “Seandainya manusia tahu apa yang ada pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa mendapatkan hal tersebut kecuali dengan mengikuti undian niscaya mereka pasti akan mengikuti undian tersebut.” (Muttafaq ‘alaih)
Juga seperti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
{تَقَدَّمُوْا فَأْتَمُّوْا بِيْ وَلْيَأْتَمْ بِكُمْ مِنْ بَعْدِكُمْ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَتَأَخّرُ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى يُؤَخِّرُهُ الله} أخرجه مسلم
Artinya: “Majulah kalian!, ikutilah aku!, dan orang yang berada di belakang kalian hendaknya mengikuti kalian. Senantiasa seseorang terlambat mengerjakan shalat sampai Allah ‘azza wajalla mengakhirkannya.” (HR. Muslim)
Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
{لَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَتَأَخَّرُ عَنِ الصَّفِّ الُمقَدَّمِ حَتَّى يُؤَخِّرُهُ اللهُ فِيْ النَّارِ}
Artinya: “Senantiasa seseorang terus menerus terlambat untuk mendapatkan shaf terdepan sampai Allah memasukannya ke dalam neraka.”
Dan juga telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda kepada para sahabatnya:
{أَلَا تَصِفُوْنَ كَمَا تَصِفُ الَملَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا، قَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ وكَيْفَ تَصِفُ الَملَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ يُتِمُّوْنَ الصُّفُوْفَ الأُوَلَ وَيَتَرَاصُّوْنَ فِيْ الصَّفِّ} رواه مسلم
Artinya: “Tidak bisakah kalian berbaris seperti para malaikat berbaris?” Kami bertanya: “Bagaimana cara malaikat berbaris?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Mereka memenuhi shaf pertama dan mereka rapat.” (HR. Muslim)
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak, mencakup masjid Nabawi dan selainnya dari masjid-masjid kaum muslimin, sebelum berkunjung ataupun setelahnya.
Telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menganjurkan kepada para sahabat untuk memilih shaf yang sebelah kanan, dan telah ma’ruf bahwa shaf sebelah kanan di masjid Nabawi bukan termasuk raudhah; maka dari sini bisa kita simpulkan bahwa shaf terdepan dan shaf sebelah kanan lebih diutamakan dari pada Raudhah. Dan berusaha untuk tetap shalat di shaf terdepan dan shaf sebelah kanan lebih diutamakan dibanding berusaha tetap shalat di Raudhah. Hal ini jelas bagi orang-orang yang merenungi hadits-hadits yang datang dalam permasalahan ini. Allah-lah sang pemberi taufiq.
Tidak boleh hukumnya bagi seseorang untuk mengusap hujrah (kamar), menciumnya, atau tawaf di sekitarnya; karena hal tersebut tidak pernah ada penukilannya dari para salafus shalih, bahkan hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari.
Tidak boleh bagi seseorang meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyelesaikan hajatnya, membantu kesulitannya, menyembuhkan sakitnya, dan sejenisnya; karena hal tersebut tidak boleh diminta kecuali kepada Allah ‘azza wajalla saja, sedang memintanya kepada orang yang telah meninggal merupakan perbuatan syirik dan termasuk bentuk peribadatan kepada selain Allah.
Agama islam dibangun di atas dua pondasi:
- Tidak menyembah kecuali kepada Allah ‘azza wajalla.
- Tidak menyembah Allah ‘azza wajalla kecuali dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam syariatkan.
Dan inilah makna kalimat syahadat
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
An laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan Rasulallaah
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah ‘azza wajalla, dan bahwasannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah ‘azza wajalla.”
Begitu juga, tidak boleh bagi seseorang untuk meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam syafaat, dikarenakan hal tersebut hanya milik Allah ‘azza wajalla, maka tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla:
﴿قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا﴾ الزمر: ٤٤
Artinya: “Katakanlah, ‘Syafaat itu hanya milik Allah semuanya.’” (QS. Az-Zumar: 44)
Hendaknya seseorang berucap:
“Ya Allah… berikanlah kepadaku syafaat Nabi-Mu, berikanlan kepadaku syafaat malaikat-Mu, berikanlah kepadaku syafaat hamba-Mu yang beriman.”
Atau ucapan yang sejenisnya.
Adapun orang yang telah meninggal, maka tidak boleh meminta kepadanya sesuatupun, baik itu syafaat atau selainnya, baik mereka dari kalangan para Nabi ataupun bukan Nabi, karena hal tersebut tidak disyariatkan dan orang yang telah meninggal sudah terputus amalnya kecuali apa yang telah dikecualikan oleh syariat.
Di dalam shahih muslim dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَه
Artinya: “Apabila telah meninggal seorang hamba, maka akan terputus amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.”
Hanyalah boleh meminta syafaat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau masih hidup dan juga ketika di akhirat kelak, karena hal tersebut mampu beliau lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mampu untuk maju kemudian memintakan syafaat kepada Allah ‘azza wajalla untuk orang yang memintanya.
Adapun meminta tolong kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika (masih hidup) di dunia, maka jelas akan bolehnya, dan kebolehan ini tidak khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja, akan tetapi umum untuk seluruh manusia. Boleh hukumnya seseorang berkata kepada orang lain: “Mintakan syafaat untukku kepada Allah ‘azza wajalla dalam perkara ini dan itu,” atau dengan makna lain: “Tolong doakan aku,” dan sejenisnya.
Dan boleh bagi orang yang dimintai untuk berdoa kepada Allah ‘azza wajalla atas nama orang yang meminta tolong tersebut apabila yang dia minta adalah hal yang mubah.
Adapun pada hari kiamat, maka siapapun tidak bisa memberi syafaat kecuali setelah mendapatkan izin dari Allah ‘azza wajalla. Sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla:
﴿مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ﴾ البقرة: ٢٥٥
Artinya: “Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
Adapun keadaan setelah meninggal, maka itu adalah keadaan khusus, tidak boleh keadaan tersebut digolongkan dengan keadaan manusia ketika masih hidup, tidak pula boleh digolongkan seperti keadaan hari kebangkitan; karena telah terputus amal manusia dan bergantungnya manusia terhadap apa yang telah dia kerjakan selama di dunia, kecuali apa yang telah dikecualikan oleh syariat, sedangkan meminta syafaat kepada mayit bukan termasuk yang dikecualikan, maka tidak boleh digolongkan ke dalam hal yang dikecualikan.
Tidak diragukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafat hidup di alam barzakh, bahkan lebih sempurna dari kehidupan barzakhnya para syuhada, akan tetapi jenis kehidupan di alam barzakh tidak sama seperti jenis kehidupan sebelum meninggal dan jenis kehidupan pada hari kiamat, bahkan itu merupakan kehidupan yang tidak diketahui hakikatnya kecuali Allah ‘azza wajalla. Oleh karena itu di dalam hadits disebutkan:
{مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدُّ عَلَيْهِ السَّلَام}
Artinya: “Tidaklah seseorang berucap salam kepadaku kecuali Allah ‘azza wajalla akan kembalikan ruhku ke jasadku sampai aku menjawab salam tersebut.”
Hal tersebut menjadi dalil bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal, dan bahwa ruhnya telah berpisah dari jasadnya, hanya saja akan kembali untuk menjawab salam.
Dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal jelas dan maklum, dan merupakan perkara yang telah disepakati oleh kalangan ahli ilmu, akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi akan tetapnya kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di alam barzakh, sebagaimana para syuhada juga hidup di alam barzakh seperti yang Allah ‘azza wajalla sebutkan di dalam firmannya:
﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾ آل عمران: ١٦٩
Artinya: “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (QS. Ali ‘Imron: 169)
Kita sengaja memperpanjang pembahasan dalam masalah ini, tidak lain karena memang sangat pentingnya masalah ini, dan karena banyaknya orang yang menebar syubhat, serta mereka mengajak kepada perbuatan syirik, dan meminta kepada orang yang telah meninggal, bukan meminta kepada Allah ‘azza wajalla.
Maka kita berdoa kepada Allah ‘azza wajalla, semoga Allah selamatkan kita dan kaum muslimin dari perbuatan yang menyelisihi syariat-Nya. Wallahu a’lam.
Adapun perbuatan sebagian para peziarah, seperti mengangkat suara di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, memperlama berdiri di sisinya, maka hal tersebut menyelisihi syariat; karena Allah ‘azza wajalla telah melarang manusia dari mengangkat suara melebihi suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaharkan ucapan sama seperti apa yang mereka lakukan antar sesama mereka. Dan Allah ‘azza wajalla menganjurkan mereka untuk merendahkan suara ketika disisinya.
Allah ‘azza wajalla berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ﴾ الحجرات: ٢ – ٣
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah ‘azza wajalla untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Hujurat [49]: 2-3)
Dan karena memperlama berdiri di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memperbanyak mengucap salam di sisinya akan menyebabkan saling berdesak-desakan, keributan dan banyaknya suara bernada tinggi di sisi kuburan beliau, dan hal ini menyelisihi apa yang Allah syariatkan kepada kaum muslimin, sebagaimana tertuang di dalam ayat di atas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pribadi yang mulia, baik dalam keadaan hidup dan setelah meninggal, maka tidak selayaknya bagi seorang mukmin untuk melakukan perbuatan yang menyelisihi adab-adab syar’i di sisi kubur beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seperti itu pula apa yang dilakukan oleh para peziarah, dan juga selain mereka, dimana mereka bersengaja untuk berdoa di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menghadap ke kuburan dan mengangkat kedua tangan dalam keadaan berdoa, semua perbuatan ini menyelisihi apa yang para salafus shalih contohkan, yaitu para salafus shalih dari kalangan para sahabat dan orang yang mengikuti beliau dengan baik, bahkan praktik doa seperti ini termasuk perbuatan bid’ah. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
{عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المهْدِيِّيْن مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَْ كَلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ} أخرجه أبو داود والنسائي بإسناد حسن.
Artinya: “Wajib atas kalian untuk berpegang teguh terhadap sunnah-ku dan sunnah para khulafa’ rasyidin -yang mereka telah diberi petunjuk- setelah ku, pegang teguh sunnah tersebut, gigit erat dengan gigi geraham. Dan tinggalkanlah perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
{مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ} أخرجه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم: «{من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد}
Artinya: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari, no. 2697 dan Muslim, no. 1718).
Dan dalam riwayat muslim dengan lafazh berbeda yang artinya: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718).
Ali bin Husain (Zainul Abidin) melihat seseorang yang berdoa di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia melarangnya seraya berucap: “Maukah kamu aku beri tahu dengan sebuah hadits yang aku dengar dari bapakku kemudian dari kakekku kemudian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
{لَا تَتَّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَلَا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ تَسْلِيْمَكُمْ يَبْلُغُنِيْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ} أخرجه الحافظ محمد بن عبد الواحد المقدسي في كتابه الأحاديث المختارة.
Artinya: “Jangan kalian jadikan kuburanku sebagai Ied (tempat yang dikunjungi berulang-ulang dengan ritual tertentu) dan jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawatlah kepadaku, karena salam kalian akan disampaikan kepadaku dimana saja kalian berada.”(HR. Al Hafidz Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Ahadits Al-Mukhtarah).
Dan begitu pula apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berziarah ketika mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana orang tersebut meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian meletakkan keduanya di atas dada atau di bawahnya seperti keadaan seorang yang sedang shalat, maka ini merupakan keadaan yang tidak boleh dilakukan ketika mengucap salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga kepada selainnya, seperti kepada para raja, penguasa, dan selain mereka, karena hal tersebut termasuk keadaan merendahkan diri dan menghinakan diri yang tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah, sebagaimana Al Hafidz Ibnu Hajar mengisahkan hal tersebut dari para ulama di dalam kitabnya Fathul Bari.
Perkara tersebut sangat jelas hukumnya bagi orang yang merenungi permasalahan ini jika niat dan tujuan orang tersebut adalah untuk mengikuti petunjuk salafus shalih.
Adapun orang yang telah dirasuki fanatik, hawa nafsu, taqlid buta, dan suuzhan kepada para dai yang mengajak kepada petunjuk salafus shalih, maka urusannya dengan Allah. Kita meminta kepada Allah untuk kita dan untuk mereka hidayah dan taufiq-Nya untuk lebih mengedepankan kebenaran dari selainnya. Allah ‘azza wajalla adalah Dzat yang paling baik untuk dimintai.
Seperti itu juga apa yang sebagian manusia lakukan, mereka menghadap ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari jarak yang jauh, kemudian menggerakkan lisannya untuk mengucapan salam atau berdoa, ini termasuk jenis yang terlarang. Dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk membuat perkara baru di dalam agama yang Allah tidak izinkan, dan para pelaku perbuatan tersebut lebih dekat kepada intoleransi daripada rasa sayang dan kemurnian. Sungguh Imam Malik telah mengingkari perbuatan tersebut dan yang semisalnya dengan ucapan beliau yang masyhur:
” لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هذِهِ الأُمَّةِ إِلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلُهَا “
Artinya: “Tidak akan baik generasi akhir kecuali dengan apa yang generasi terdahulu baik.”
Telah jelas bahwa yang membuat generasi terdahulu baik adalah berjalannya mereka di atas manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, khulafaur rasyidin, para sahabat, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dan tidak akan baik generasi akhir dari umat ini kecuali mereka berpegang teguh dengan manhaj tersebut dan berjalan di atasnya.
Semoga Allah ‘azza wajalla memberi taufiq kepada kaum muslimin untuk mengerjakan apa yang membuat mereka selamat, bahagia dan mulia di dunia dan di akhirat, sesungguhnya Allah ‘azza wajalla adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Pemberi.
Referensi: Kitab Sifat Umrah dan hukum-hukum yang Berkaitan dangan Ziarah dan Adab-adabnya, karya syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.