Apakah Bid’ah Juga Bisa Jadi Syirik?
Apakah Bid’ah Juga Bisa Jadi Syirik?
Alhamdulillah, washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash-hābihi ajma’in.
Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan di dalam agama yang bukan bagian darinya.
Maka segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba yang ia niatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla dari apa-apa yang tidak mempunyai asal dalam syariat maka hal tersebut dikategorikan sebagai bid’ah dan tidak mendapatkan penerimaan.
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan bagian dari perkara kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim: 1718)
Dan semua bid’ah itu sesat tanpa terkecuali, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau lantunkan di setiap khutbahnya:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْر الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim: 867)
Ketahuilah bid’ah itu bisa menjadi syirik bermakna bahwa ia adalah pengantar menuju kepadanya, bahkan ia adalah asas dan pemicu utamanya, masih saja seseorang itu larut di dalam perbuatan bid’ah hingga ia tidak sadar telah jatuh kepada kesyirikan.
Lihatlah kesyirikan pertama yang terjadi di umat manusia yaitu syirik kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam yang tidak lain disebabkan oleh bid’ah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang shalih.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pada firman Allah ‘azza wajalla:
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Inilah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nuh ‘alaihis salam yaitu ketika mereka telah mati setan membisikkan kepada kaum mereka ‘buatlah patung-patung di majelis yang mereka biasa tempati duduk yang menyerupai wajah mereka, dan berilah ia nama sesuai dengan nama-nama mereka.’ Maka mereka pun melakukannya hanya saja ia belum disembah. Hingga ketika generasi itu telah berlalu dan ilmu telah dilupakan maka ia pun disembah.” (HR. Al-Bukhari: 4920)
Hal ini juga sebagaimana yang terjadi pada para penyembah kuburan di zaman ini. Dimulai dari sikap berlebih-lebihan terhadap pemilik kubur, lalu mereka membuat bangunan di atas kuburnya dengan dalih kecintaan terhadapnya dan berkeyakinan bahwa berdoa di sisinya itu lebih afdhal dibandingkan masjid, maka tidak lama berselang mereka pun menyembahnya selain Allah.
Katakan juga yang semisalnya pada bid’ah-bid’ah yang lain seperti perayaan maulid yang dimana banyak kasus telah berujung pada praktik kesyirikan. Allahul musta’an.
Olehnya tidaklah heran mengapa para ulama begitu keras memperingatkan akan bahayanya bid’ah melebihi peringatan mereka dari perbuatan-perbuatan keji lainnya; disebabkan dampak dari bid’ah ini yang melebar yang berujung pada redupnya pengamalan sunnah dan robohnya pengamalan agama sedikit demi sedikit.
Berkata Hassan ibn Athiyyah rahimahullah, “Tidaklah suatu kaum itu mengadakan suatu bid’ah kecuali Allah akan mencabut dari mereka sunnah yang semisal dengannya, kemudian Dia tidak akan mengembalikannya kepada mereka hingga hari kiamat.” (Al-Ibanah Al-Kubra: 1/351)
Dan Al-Imam Malik rahimahullah seringkali melantunkan bait ini:
وخَير أمورِ الدِّينِ ما كَانَ سُنَّةً … وشرُّ الأُمور المُحدَثَاتُ البَدائعُ
“Dan sebaik-baik perkara agama adalah apa yang menyepakati sunnah … dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan”
Maka wajiblah bagi sekalian kaum muslimin untuk menjauhi bid’ah dan saling memperingatkan akan bahayanya.