Segala puji bagi Allah yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Nama-nama Allah tersebut mengandung petunjuk yang menjadi pedoman bagi kaum mukminin dalam mengenal Rabb-nya dengan benar.
Di antara nama-nama Allah yang penuh makna adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Ketiga nama ini menunjukkan ketinggian, keagungan, dan keperkasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, dan konsekuensi dari mengenal nama-nama tersebut bagi seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua.
Dalil Nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“
Nama ( العليّ ) Al-‘Aliy disebutkan dalam delapan tempat, di antaranya:
Pertama: Firman Allah Ta’ala,
وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan pemeliharaan keduanya tidak memberatkan-Nya, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Kedua: Firman-Nya,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِير
“Yang demikian itu, karena Allah, Dialah yang benar. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62)
Ketiga: Firman-Nya,
فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ
“Maka, (hanya) Allahlah yang menetapkan hukum, Dialah Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Ghafir: 12)
Adapun ( الأعلى ) Al-A’la, disebutkan dalam:
Pertama: Firman Allah Ta’ala,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (QS. Al-A’la: 1)
Kedua: Firman-Nya,
إِلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى
“Kecuali mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.” (QS. Al-Lail: 20)
Adapun (الْمُتَعَالي) Al-Muta’ali, disebutkan satu kali dalam, yaitu firman Allah Ta’ala,
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالي
“Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 9) [1]
Dalam ayat di atas, Imam Qari’ Ibn Katsir, Ya’qub, dan Ibn Muhaysin membacanya dengan menetapkan huruf ya ( الْمُتَعَالي ), sementara bacaan tanpa huruf ya ( الْمُتَعَال ) merupakan bacaan para imam Qari’ lainnya (Imam ‘Ashim, Imam Nafi’ dan selainnya). [2]
Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“
Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.
Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“
Pertama: Al-‘Aliy (العلي)
Kata ini merupakan sifat musyabbahah dari kata kerja “عَلَا يَعْلُو” (tinggi), berwazan “فعيل“. Asalnya adalah “عَلِيُو“, di mana huruf ya mati (ي) dan wawu (و) bertemu. Wawu diubah menjadi ya, lalu diidgam (dileburkan) dengan ya berikutnya. [3]
Kedua: Al-A’la (الأعلى)
Nama ini berwazan af’al (أَفْعَل) dengan asal “أَعْلَو“. Huruf asli lamnya adalah wawu yang kemudian diubah menjadi ya, lalu diubah menjadi alif. [4]
Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي)
Merupakan isim fa’il (pelaku) dari kata kerja “تَعَالَى“. Asalnya adalah “الْمُتَعَالو” dari kata dasar “علا – يعلو“. Huruf wawu diubah menjadi ya. [5]
Secara makna, para ahli lughah menjelaskan sebagai berikut:
Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan,
العلي: فعيل من العلو والعلاء، والعلاء: الرفعة والسناء والجلال
“Nama ‘Al-‘Aliy’ berwazan (فعيل), berasal dari kata “علو” (ketinggian) dan “علاء” yang bermakna keagungan, kehormatan, dan kemuliaan.
Orang Arab berkata, ‘فلان علي ذو علاء‘ untuk menyebut seseorang yang agung dan tinggi kedudukannya. Selain itu, ‘Al-‘Aliy’ dan ‘Al-‘Aaliy’ juga berarti yang menguasai dan yang menundukkan segala sesuatu. Dalam konteks bahasa, ‘علا فلان فلانًا’ berarti seseorang mengalahkan atau menundukkan orang lain.”[6]
Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan,
(علو) الْعَيْنُ وَاللَّامُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ يَاءً كَانَ أَوْ وَاوًا أَوْ أَلِفًا، أَصْلٌ وَاحِدٌ يَدُلُّ عَلَى السُّمُوِّ وَالِارْتِفَاعِ
“Kata dasar ‘عَلَوَ‘ yang terdiri dari huruf ‘ain, lam, dan huruf illat (ya, wawu, atau alif) merupakan akar yang satu, menunjukkan makna ‘ketinggian’ dan ‘terangkat’.” [7]
Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan,
(ع ل ا) : عُلْوُ الدَّارِ وَغَيْرِهَا خِلَافُ السُّفْلِ … وَعَلَا الشَّيْءُ عُلُوًّا (مِنْ بَابِ قَعَدَ) ارْتَفَعَ.
“Kata ‘عُلْوُ‘ berarti kebalikan dari rendah (sufl). Kata kerja ‘عَلَا – يعلو‘ bermakna naik atau terangkat.”[8]
Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks Allah
Allah ‘Azza Wajalla adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Hal ini menunjukkan keagungan, kebesaran, dan ketinggian-Nya dalam kedudukan, kehormatan, serta derajat.
Al-Khalil bin Ahmad berkata,
الله عز وجل هو العلي الأعلى المتعالي ذو العلاء والعلو، فأما العلاء: فالرفعة، والعلو: العظمة والتجبر. وتقول «علا الشيء علاء». ويقال: علوت وعليت جميعًا، وكذلك عليَ علاء في الرفعة والشرف والارتفاع
“Allah adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali, yang memiliki keagungan dan ketinggian. Adapun ‘العلاء‘ berarti keagungan, sedangkan ‘العلو‘ berarti kebesaran dan keperkasaan.
Kamu mengatakan, ‘علا الشيء علاء‘ (sesuatu itu menjadi tinggi). Dan digunakan juga, ‘علوت‘ (aku meninggi) dan ‘عليت‘ (aku mencapai ketinggian).
Demikian juga, ‘عليَ علاء‘ menunjukkan keluhuran, kehormatan, dan ketinggian.” [9]
Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan, ketinggian zat-Nya, ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya, dan ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu.
Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan,
“Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan:
Pertama: Allah adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian zat-Nya, yang istiwa di atas ‘Arsy, dan tinggi di atas semua makhluk serta terpisah dari mereka. Sebagaimana firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
‘Ar-Rahman istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Thaha: 5)
Dan firman-Nya dalam enam ayat Al-Qur’an:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
‘Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Al-A’raf: 54)
Yaitu, Dia tinggi dan berada di atas ‘Arsy dengan ketinggian yang sesuai dengan keagungan, kesempurnaan, dan kebesaran-Nya.
Kedua: Dia juga Al-‘Aliy dalam ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya begitu agung, tidak ada yang setara atau mendekati sifat-sifat tersebut. Bahkan, hamba-hamba-Nya tidak mampu memahami sepenuhnya satu pun dari sifat-sifat-Nya.
Ketiga: Dia adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Semua makhluk tunduk kepada-Nya. Seluruh makhluk berada dalam genggaman-Nya, tidak ada yang bergerak atau diam, kecuali dengan izin-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.” [10]
Allah Ta’ala Al-‘Aliy yang menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, dan Al-A’la yang menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut.
Syekh As-Si’diy berkata,
والفرق بين العلي الأعلى أنَّ العلي يدل على كثرة الصفات ومتعلقاتها وتنوعها، والأعلى يدل على عظمتها
“Perbedaan antara Al-‘Aliy dan Al-A’la adalah bahwa Al-‘Aliy menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, sedangkan Al-A’la menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut.” [11]
Adapun tentang Al-Muta’ali, Imam Mufassir, Ibnu katsir mengatakan,
{الْمُتَعَالِ} أَيْ: عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ، فَخَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ وَدَانَ لَهُ الْعِبَادُ، طَوْعًا وَكَرْهًا
“Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi di atas segala sesuatu, yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, menguasai segala sesuatu, sehingga semua leher tunduk kepada-Nya, dan semua makhluk patuh kepada-Nya, baik dengan suka maupun terpaksa.” [12]
Syekh As-Si’diy rahimahullah mengatakan,
{الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره.
“Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi atas semua makhluk-Nya, dengan Zat-Nya, kekuasaan-Nya, dan keperkasaan-Nya.” [13]
Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba
Penetapan nama-nama “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:
Pertama: Seorang muslim hendaknya meyakini ketinggian mutlak Allah, Rabb semesta alam, dalam semua maknanya, tanpa meniadakan atau menakwilkan salah satu dari sifat tersebut, serta tanpa membatasi apa pun darinya. Dia wajib menetapkan bagi-Nya ketinggian zat, ketinggian kedudukan, dan ketinggian kekuasaan.
Kedua: Seorang muslim harus meyakini bahwa Allah Mahatinggi di atas segala sesuatu, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya, dan Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tentang diri-Nya. Hal ini merupakan akidah salaf umat ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, termasuk para ulama hadis, tafsir, fikih, ushul, sejarah, bahasa Arab, sastra, dan lainnya. [14]
Ketiga: Keimanan terhadap ketinggian Allah atas makhluk-Nya akan menanamkan rasa pengagungan, kerendahan, ketundukan hati di hadapan Allah, penyucian-Nya dari segala kekurangan dan cela, keikhlasan dalam beribadah, serta menjauhkan diri dari menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Allah berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ، هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah, karena Allah, Dialah yang benar, dan apa yang mereka seru selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi, Mahabesar” (QS Al-Hajj: 62). [15]
Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua.
***
Rumdin PPIA Sragen, 15 Rajab 1446 H
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H.
Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.
As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah.
Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.
An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.
Al-Shadhili, Ayman. Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif. Diedit oleh Mukhtar bin Faraj Al-‘Alami. Pengantar oleh Zakaria Al-Nuti. Cetakan Pertama. 1440 H/2019 M.
Kharuf, Muhammad Fahd. Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah. Edisi Kelima. Beirut: Dar Ibn Kathir, 1437 H/2016 M. ISBN: 978-614-415-173-0.
Catatan kaki:
[1] An-Nahjul Asma, hal. 225.
[2] Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah, hal. 250. Lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170, dan Al-Mudhah, hal. 700-701.
[3] Al-Bayan, hal. 42. Lihat juga Isytiqaq, hal. 108.
[4] Al-Bayan, hal. 591.
[5] Al-Bayan, hal. 250. Lihat juga An-Nahjul Asma, hal. 224.
[6] Isytiqaq, hal. 108.
[7] Maqaayiis Al-Lughah, hal. 597
[8] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 431.
[9] Dinukil dari Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 109.
[10] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170.
[11] Fathur Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 51.
[12] Tafsir Ibnu Katsir, 4:437.
[13] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 414.
[14] An-Nahj Al-Asma, hal. 227-228.
[15] Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 174.