Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbedanya dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian.
Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya.
Definisi muzara’ah[1]
Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam.
Secara istilah, memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian.
Dikarenakan adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian dan adakalanya petani yang memiliki kemampuan dan keahlian tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga diadakannya hal ini sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual.
Hukum muzara’ah
Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat wallahu’alam adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya.
Dalil muzara’ah
Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far.
بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ
وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ
“Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya
Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata,
‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (Shahih Bukhari no.2328)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ
“Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2]
Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا
“Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.”[3]
Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan. Hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikian yang dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara)
Syarat pada lahan penanaman[4]
Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikiannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah.
Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya.
Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut.
Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak.
Syarat pembagian hasil[5]
Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari dari kedua belah pihak.
Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar.
Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah.
Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar.
Wallahu’alam.
Baca juga: Fikih Akad Musaqah
***
Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy.
Dan beberapa referensi lainnya
Catatan kaki:
[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal.316.
[2] Fathul Bari, 5:11.
[3] Majmu’ Fatawa, 29:97.
[4] Shahih Fiqh Sunnah, 5:419.
[5] Shahih Fiqh Sunnah, 5:419.