Fikih Akad Salam (Bag. 1): Definisi dan Hukum

Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam.

Definisi salam

Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka.

Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak.

Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1]

Hukum dan dalil akad salam

Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2],

Pertama, dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282)

Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾

“Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).

Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Kedua, dalil dari As-Sunnah

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah

Ketiga, dalil ijma’

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,

أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ

“Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.”

Keempat, dalil secara akal

Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni,

وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ.

“Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3]

Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan.

Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4],

“Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.”

Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi)

Terdapat dua makna dalam hal ini,

Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli.

Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki.

Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan:

Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya.

Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak.

Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya.

Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang.

Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5]

Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

Baca juga: Fikih Akad Musaqah

***

Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.

Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy.

Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah.

Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah.

Dan beberapa referensi lainnya.

 

Catatan kaki:

[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240.

[2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178.

[3] Al-Mughni, 4: 338.

[4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243.

[5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading