Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 3)

Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat

Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ

“Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth)

Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya.

Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319)

Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab,

بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ

“Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132)

Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ

“Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟

“Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?”

Dia menjawab, “Ya.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit,

اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

“Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273)

Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata,

هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق

“Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1]

Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2]

Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3]

[Selesai]

***

@5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] At-Tamhid, 19: 168.

[2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159.

[3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading