Keempat: Membersihkan kemaluan
Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ، أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ»
“Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150).
Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan,
»لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ«
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262).
Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing
Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita,
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ«
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292).
Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi
Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan,
«أَنَّ رَجُلًا مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ»
“Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370).
Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan,
«اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ»
“Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024