Pendahuluan
Di antara metode ahli bid’ah dalam menolak sifat-sifat Allah adalah menggunakan istilah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak dikenal oleh para salaf saleh. Mereka menggunakan istilah yang mengandung makna mujmal (ambigu) sebagai alasan untuk menolak sifat-sifat Allah. Mereka beralasan bahwa makna dalam istilah tersebut merupakan konsekuensi dari makna sifat yang ditetapkan ahli sunah waljamaah, padahal makna tersebut merupakan makna batil menurut persangkaan mereka.
Pada pembahasan ini, akan dijelaskan bagaimana sikap ahli sunah waljamaah terhadap istilah-istilah mujmal tersebut. Akan disebutkan pula beberapa contohnya serta bagaimana ahli sunah menyikapinya dan memahami makna dari istilah tersebut.
Metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat Allah
Sebelumnya, perlu kita pahami bahwa metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat untuk Allah adalah sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah berikut:
Pertama: Dalam hal penetapan
Menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, maupun tamtsil.
Kedua: Dalam hal peniadaan
Meniadakan apa yang telah ditiadakan oleh Allah dan rasul-Nya disertai meyakini adanya penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah yang merupakan kebalikan dari sifat yang ditiadakan tersebut.
Ketiga: Dalam hal yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaaan
Terkait istilah-istilah yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaanya dalam Al-Qur’an dan hadis, seperti istilah jism, hayyiz, jihah, makan, dan semisalnya. Sikap ahli sunah adalah tawaqquf mengenai lafaznya, yaitu tidak menetapkan untuk Allah dan tidak pula meniadakannya dari Allah karena tidak terdapat dalil dalam hal ini. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud dari makna tersebut adalah makna batil, maka Allah tersucikan darinya dan ahli sunah menolak makna tersebut. Namun, apabila yang dimaksudkan dengannya adalah makna benar dan tidak bertentangan dengan kesempurnaan Allah, maka mereka menerimanya. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhiisi Al-Hamawiyyah)
Lafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaah
Dalam buku-buku akidah, dibahas mengenai pembahasan istilah yang mujmal (الكلمات المجملة). Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait istilah-istilah yang mujmal ini, yaitu:
Pertama: Yang dimaksud kalimat mujmal adalah kalimat yang digunakan oleh ahli ta’thil yang menolak sifat-sifat Allah dan sering digunakan juga oleh ahli kalam secara umum.
Kedua: Disebut makna mujmal karena mengandung kemungkinan benar dan batil atau dalam lafaz ini terkumpul antara makna benar dan makna batil, sehingga maknanya masih samar. Tidak diketahui makna yang terkandung dalam lafaz tersebut, kecuali setelah dijelaskan secara rinci mengenai maknanya.
Ketiga: Maksud dari ahli ta’thil menggunakan istilah seperti ini adalah sebagai batu loncatan untuk menolak sifat-sifat Allah dengan berdalih ingin menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan.
Keempat: Alasan mereka melakukan hal ini karena ketidakmampuan mereka untuk melawan argumentasi ahli sunah dengan hujjah dalil sehingga mereka menggunakan metode ini.
Kelima: Lafaz-lafaz yang mujmal ini sama sekali tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, namun semata-mata merupakan istilah baru yang dilontarkan oleh ahli kalam.
Keenam: Metode ahli sunah dalam menyikapi istilah mujmal ini, yaitu tawaqquf terhadap lafaznya dan memberikan perincian terhadap makna dari lafaz tersebut. (Rasa’ilu fil ‘Aqidah)
Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai sikap ahli sunah waljamaah dalam menyikapi lafaz mujmal:
Pertama: Terkait lafaznya, maka sikap ahli sunah adalah tawaqquf, yaitu tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Contohnya lafaz jihah. Mereka tidak mengatakan Allah berada dalam jihah dan tidak pula mengatakan Allah tidak berada dalam jihah. Mereka tidak menetapkannya karena tidak terdapat dalil penetapannya dan mereka tidak meniadakannya karena juga tidak terdapat dalil peniadaannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Kedua: Terkait makna dari lafaz-lafaz tersebut, maka hal ini perlu dirinci. Termasuk kaidah umum dalam ahli sunah terhadap lafaz yang mujmal, yaitu: bahwasanya lafaz mujmal yang mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil, maka tidak ditetapkan secara mutlak dan tidak ditiadakan secara mutlak; akan tetapi, perlu dirinci sehingga diketahui maksud dari makna tersebut. Apabila mengandung makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Tidak boleh meniadakan secara mutlak karena bisa jadi maknanya benar sehingga tidak boleh ditolak. Tidak pula langsung menerima maknanya secara mutlak karena bisa jadi mengandung makna batil sehingga tidak bisa diterima. Oleh karena itu, perlu dirinci berdasarkan apa yang dimaksud dari makna tersebut. Inilah sikap ahli sunah terhadap makna dari istilah yang mujmal. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati)
Pada asalnya, kita harus meninggalkan penggunaan istilah mujmal yang merupakan istilah muhdas (istilah baru yang tidak dikenal oleh salaf saleh), seperti istilah: jihah, hayyiz, hudus, tarkib, jauhar, ‘arad, dan sebagainya. Tidak boleh menggunakan istilah-istilah ini ketika menjelaskan akidah ahli sunah waljamaah. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid)
Hukum penggunaan istilah mujmal ini hanya boleh digunakan ketika terjadi perdebatan dengan ahli bid’ah dalam rangka membantah dan menjelaskan kekeliruan pemahaman mereka pada kondisi yang memang dibutuhkan. Adapun ketika menjelaskan keyakinan akidah ahli sunah waljamaah, maka wajib menggunakan istilah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Tidak boleh sama sekali menggunakan istilah mujmal ini karena tidak ada kebutuhan untuk menggunakannya. Oleh karena itu, tidak kita dapati para imam ahli sunah waljamaah ketika menjelaskan akidah menggunakan istilah-istilah tersebut. (Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatiha wa Ahkamuha)
Bahkan, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penggunaan lafaz mujmal seperti lafaz jism termasuk bid’ah meskipun digunakan dalam makna yang sahih. Beliau berkata dalam kitab Bayan Talbisi Al-Jahmiyyah, “Adapun lafaz jism, maka ini termasuk bid’ah, baik dalam penetapannya maupun peniadaanya. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak pula terdapat dalam perkataan satu pun dari salaf saleh penggunaan lafaz jism dalam sifat Allah, baik itu dalam penetapan ataupun peniadaan.” (Al-‘Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah)
Berikutnya akan kami paparkan tiga contoh lafaz mujmal yang sering digunakan oleh ahli bid’ah dan bagaimana ahli sunah dalam menyikapinya, yaitu lafaz jihah, jism, dan hayyiz.
Menyikapi lafaz jihah
Mengenai lafaznya, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan tidak menetapkannya dan tidak pula meniadakannya. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci, karena makna jihah mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil. Lafaz jihah memiliki beberapa kemungkinan makna:
Pertama: Apabila yang dimaksud dengan jihah adalah arah bawah, maka ini makna batil yang tidak sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini juga bertentangan dengan sifat ‘uluw bagi Allah yang telah ditetapkan berdasar dalil dari Al-Qur’an, hadis, akal, fitrah, dan ijma’.
Kedua: Apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di seluruh arah, Dia berada di dalam makhluk-Nya, dan Zat Allah berada di setiap tempat, maka ini tidak mungkin bagi Allah dan bertentangan dengan sifat ‘uluw.
Ketiga: Jika yang dimaksud Allah tidak berada pada arah dan tempat, yaitu tidak berada di dalam alam maupun di luar alam, tidak bersatu dan tidak pula terpisah, tidak di atas dan tidak pula di bawah, maka ini juga makna batil karena yang seperti ini hakikatnya adalah sesuatu yang tidak ada.
Keempat: Apabila yang dimaksud jihah adalah arah atas berupa makhluk yang meliputi Zat Allah, maka ini juga merupakan makna batil, karena Allah Maha Besar dan tidak diliputi oleh satupun makhluk-Nya.
Kelima: Adapun apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di arah atas yang berada di luar alam (di luar seluruh makhluk-Nya) dan Dia istiwa’ di atas ‘Arsy dan terpisah dari makhluk-Nya, maka ini merupakan makna benar. Dalam hal ini, Allah berada di arah atas secara mutlak. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid)
Akan tetapi, kita tidak boleh memberitakan Allah dengan lafaz ini yang mengandung makna kemungkinan benar dan batil. Kita hanya boleh menggunakan lafaz-lafaz yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadis, semisal dalam firman Allah,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.“ (QS. Al A’la: 1)
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.“ (QS. Saba’: 23)
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka.“ (QS. An-Nahl: 50)
Allah berada di atas ketinggian yang mutlak. Lafaz ‘uluw digunakan untuk Allah dalam Al-Qur’an dan hadis, bahkan sifat ‘uluw merupakan sifat paling agung yang banyak terdapat penetapannya dalam Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan lafaz yang sudah ditetapkan oleh syariat, yaitu ‘uluw dan menggantinya dengan lafaz yang mujmal dan tidak pernah digunakan oleh para salaf salih, semisal lafaz jihah. Tidak sepantasnya mengganti yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih rendah. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati)
Baca juga: Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala
Menyikapi lafaz jism
Apakah Allah memiliki jism? Jawaban hal ini sesuai dengan kaidah yang sudah dibahas di atas. Dari sisi lafaz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Mereka tidak mengatakan Allah punya jism dan tidak pula mengatakan Allah tidak punya jism, karena di dalam Al-Qur’an maupun hadis tidak terdapat dalil yang menetapkan dan meniadakan. Adapun mengenai maknanya maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud jism adalah Allah memiliki tubuh atau jasad seperti makhluk yang merupakan bagian terbagi-bagi dan terpisah satu dengan yang lainnya, maka ini adalah penyataan mumatsilah yang menganggap bahwa jism Allah seperti jism makhluk. Mahasuci Allah dari persangkaan mereka. Ini merupakan kedustaan yang sangat besar dan maknanya batil. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.“ (QS. Asy-Syura: 11)
Jika yang dimaksud jism adalah seperti tubuh makluk yang keberadaanya tersusun dari bagian-bagian organ yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, serta membutuhkan makan dan minum untuk keberlangsungan tubuh tersebut, maka ini juga merupakan makna batil dan tidak boleh ditetapkan untuk Allah. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah)
Adapun apabila yang dimaksud jism adalah apa yang terdapat pada Zat Allah hakiki yang berdiri sendiri, seperti sifat wajah, tangan, mata, dan telapak kaki yang merupakan sifat kesempurnaan dan keagungan dari segala sisi, maka ini adalah makna yang benar. (Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Ibnu Al-‘Utsaimin)
Namun, selayaknya tidak menggunakan istilah jism dan cukup menggunakan istilah zat dan sifat. Jadi cukup dikatakan bahwa Allah mempunyai zat dan sifat sebagaimana ditetapkan oleh ahli sunah. (Qowa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati)
Menyikapi lafaz hayyiz
Mengenai lafaz hayyiz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan diam, yaitu tidak menetapkan dan tidak pula meniadakan. Tidak dikatakan Allah punya hayyiz dan tidak pula dikatakan Allah tidak punya hayyiz karena tidak terdapat dalil yang menetapkan ataupun meniadakan.
Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud hayyiz adalah melingkupi sesuatu yang dilingkupi, yaitu berada di dalamnya dan menyatu, maka ini adalah makna yang batil. Tidak boleh meyakini demikian untuk Allah. Bahkan, mereka mengingkari al-hululiyyah yang menganggap Allah bersatu dengan sebagian zat makhluk-Nya, apalagi al-wujudiyyah/al-ittihadiyyah yang meyakini bahwa zat Allah adalah makhluk itu sendiri. Ini adalah keyakinan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam. Barangsiapa yang meyakini bahwa ada bagian dari mahkluk yang menyatu dengan zat Allah atau ada bagian dari zat Allah yang menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, maka dia telah kafir dengan kufur kabar.
Adapun apabila hayyiz bermakna terpisah dan tidak menyatu, maka ini adalah makna yang benar. Oleh karena itu, ahli sunah sepakat bahwa Allah terpisah dari mahkluk-Nya dan berada di atas seluruh makhluk, ber-istiwa’ di atas Arasy-Nya. Tidak ada bagian Zat Allah yang berada pada zat makhluk, dan tidak ada bagian zat makhluk yang berada pada Zat Allah. Zat Allah dan makhluk adalah dua zat yang terpisah karena Zat Allah berada pada ketinggian yang mutlak. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati)
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, bahwa ahli sunah waljamaah dalam akidah asma’ wa shifat adalah menetapkan dan meniadakan sesuai dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dan berusaha meninggalkan lafaz yang tidak terdapat dalam keduanya. Adapun mengenai lafaz yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, yaitu diam dengan tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Adapun mengenai makna dari lafaz tersebut, maka perlu dirinci. Apabila makna yang dimaksudkan adalah makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak.
Dengan memahami permasalahan ini dengan baik, maka jelaslah kebatilan ahli bid’ah yang sering menggunakan istilah mujmal untuk menuduh bahwa ketika ahli sunah waljamaah menetapkan sifat-sifat Allah, maka memberikan konsekuensi makna yang batil bagi Allah. Justru sebaliknya, tuduhan mereka keliru karena makna dari lafaz mujmal yang mereka gunakan ternyata memiliki makna yang sesuai dengan keagungan nama dan sifat Allah apabila dipahami dengan makna yang benar. Allahu a’lam.
Baca juga: Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah
***
Penyusun: Adika Mianoki
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Rasa’ilu fil-‘Aqidah, Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd.
Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati, Syekh Walid bin Rasyid As-Su’aidan.
Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid, Syekh Thoriq bin Sa’id bin ‘Abdillah Al-Qahthany.
Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatihaa wa Ahkamuha, Syekh Muhammad bin ‘Abdirrahman Abu Sayyif Al-Juhany.
Al-‘Uquud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Sulthan bin ‘Abdirrahman Al-‘Umairy.
Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.