Mengenal nama Allah adalah bagian penting dalam memahami tauhid yang benar. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan keesaan dan kemuliaan-Nya adalah Al-Ilah, yang berarti satu-satunya sesembahan yang benar. Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan.
Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Ilah, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampak dari memahami nama ini bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini memperkuat keyakinan kita, menambah keimanan, serta mendorong kita untuk lebih mencintai, mengagungkan, dan menghambakan diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya.
Dalil Nama Allah “Al-Ilah“
“Al-Ilah” adalah salah satu dari nama-nama Allah yang paling indah (asmaulhusna), yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163)
Allah juga berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهَا وَاحِدًا لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31)
Allah berfirman lagi,
قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya wahyu yang diwahyukan kepadaku adalah bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka apakah kalian akan berserah diri (kepada-Nya)?’” (QS. Al-Anbiya: 108) [1]
Di antara ulama yang memasukkan “Al-Ilah” dalam daftar asmaulhusna adalah Ibn Hazm, Ibn Hajar, Ibn Al-Wazir, dan Ibn Utsaimin -semoga Allah merahmati mereka semua-. [2]
Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“
Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ilah” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.
Makna bahasa dari “Al-Ilah“
Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) bermakna ( التَّعَبُّدُ ) penghambaan atau peribadatan. Sedangkan al-ilah bermakna ( الْمَعْبُودُ ) yang diibadahi.
Ibnu Faris mengatakan,
(أله) الْهَمْزَةُ وَاللَّامُ وَالْهَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ التَّعَبُّدُ. فَالْإِلَهُ اللَّهُ تَعَالَى، وَسُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ مَعْبُودٌ.
“Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) merupakan dasar yang satu, yaitu penghambaan atau peribadatan. Oleh karena itu, Al-Ilah adalah Allah Ta’ala, yang dinamakan demikian karena Dia adalah satu-satunya yang disembah.” [3]
Al-Fayyumi mengatakan,
(ء ل هـ) : أَلِهَ يَأْلَهُ (مِنْ بَابِ تَعِبَ) إلَاهَةً بِمَعْنَى عَبَدَ عِبَادَةً وَتَأَلَّهَ تَعَبَّدَ وَالْإِلَهُ الْمَعْبُودُ
“aliha – ya`lahu – Ilahatan bermakna ‘abada – ‘ibadatan. Ta`allaha yaitu ta’abbada. Al-ilah berarti al-ma’bud (yang diibadahi).” [4]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan,
قوله لا إله، أي: لا مألوه، وليس بمعنى لا آله، والمألوه : هو المعبود محبة وتعظيما تحبه وتعظمه لما تعلم من صفاته العظيمة وأفعاله الجليلة. قوله إلا الله، أي: لا مألوه إلا الله.
“Kalimat ‘Lailaha’ berarti ‘tidak ada yang diibadahi dengan benar’, bukan bermakna ‘tidak ada tuhan-tuhan’. Yang dimaksud dengan ‘mā’lūh’ adalah sesuatu yang disembah dengan penuh cinta dan pengagungan, yaitu sesuatu yang dicintai dan diagungkan karena diketahui memiliki sifat-sifat yang agung dan perbuatan-perbuatan yang mulia.
Sedangkan kalimat ‘illallah’ berarti ‘tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar, kecuali Allah’.” [5]
Beberapa ulama menyatakan bahwa kata Allah berasal dari Al-Ilah, kemudian huruf hamzah dihilangkan untuk kemudahan pengucapan. Pendapat ini didukung oleh Sibawaih, Ibn Qayyim dan beberapa ulama lainnya. [6]
Sedangkan, berhala-berhala disebut sebagai alihah (sesembahan-sesembahan, bentuk jamak dari ilah) karena kaum musyrikin menyembahnya selain Allah dan menganggapnya layak disembah. [7]
Makna “Al-Ilah” dalam konteks Allah
Syekh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah mengatakan,
اسم الإله: هو الجامع لجميع صفات الكمال ونعوت الجلال، فقد دخل في هذا الاسم جميع الأسماء الحسنى
“Nama Al-Ilah mencakup seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan Allah. Nama ini mencakup seluruh asmaulhusna.”
Kemudian, beliau melanjutkan,
“Sehingga pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah berasal dari Al-Ilah. Dengan demikian, nama Allah adalah nama yang mencakup semua nama dan sifat-Nya yang Mahatinggi. Allah berfirman,
إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً
‘Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Mahasuci Dia dari memiliki anak. Milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.’ (QS. An-Nisa: 171)” [8]
Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah mengatakan,
“Salah satu penjelasan terbaik tentang makna nama Allah (yang ini berasal dari kata al-ilah) adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata,
الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين
‘Allah adalah Zat yang memiliki keilahiahan dan penghambaan atas seluruh makhluk-Nya.’
(Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya, 1:121)”. Selanjutnya, beliau menjelaskan tentang makna ucapan Ibnu Abbas tersebut.
Allah menggabungkan kedua aspek ini dalam banyak ayat, seperti,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14)
Dan firman-Nya Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) [9]
Syekh Dr. Basim ‘Amir mengatakan,
والإله كذلك من أسماء الله تعالى كما ذكر ذلك جمع من العلماء، منهم: ابن منده وابن حزم وابن حجر وابن الوزير وابن عثيمين، قال تعالى: ﴿ وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ﴾ [الزخرف: 84]، أي: هو المعبود الحق في السماء، وهو المعبود الحق في الأرض، فيعبده أهلهما.
“Nama Al-Ilah juga termasuk dalam asmaulhusna, sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama. Di antaranya: Ibnu Mandah, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ibnu Al-Wazir, dan Ibnu Utsaimin.
Allah berfirman,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ
‘Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.’ (QS. Az-Zukhruf: 84) Yaitu, Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah di langit maupun di bumi, dan penduduk langit dan bumi menyembah-Nya.” [10]
Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir”
Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hamba
Penetapan nama “Al-Ilah” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:
Pertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya
Sifat-sifat keilahiahan mencakup semua sifat kesempurnaan, keagungan, kebesaran, keindahan, kasih sayang, kebaikan, kemurahan, dan anugerah-Nya. Karena sifat-sifat inilah, Allah berhak untuk disembah dan diibadahi. [11]
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,
{الله} هو المألوه المستحق لإفراده بالمحبة والخوف والرجاء وأنواع العبادة كلها، لما اتصف به من صفات الكمال، وهي التي تدعو الخلق إلى عبادته والتأله له.
“Allah adalah satu-satunya yang pantas untuk dicintai, ditakuti, diharapkan, dan disembah dengan segala bentuk ibadah karena Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Inilah yang mendorong makhluk untuk beribadah dan tunduk kepada-Nya.” [12]
Kedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain Allah
Allah Ta’ala berfirman,
فما أغنت عنهم آلهتهم التي يدعون من دون الله من شيء
“Dan tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah tidak memberi manfaat apa pun kepada mereka.” (QS. Hud: 101)
Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah kebatilan, karena tidak memiliki dasar kebenaran. Syirik dan penyembahan terhadap selain Allah adalah sesuatu yang tertolak secara syar’i. Hal ini sebagaimana firman Allah,
ومثل كلمة خبيثة كشجرة خبيثة اجتثت من فوق الأرض ما لها من قرار
“Perumpamaan (kalimat) yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, yang tercabut dari permukaan bumi, tidak memiliki keteguhan.” (QS. Ibrahim: 26) [13]
Ketiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya
Dr. Bassem Amer menyatakan,
“Implikasi dari nama Allah yang agung ini (yaitu, Al-Ilah) adalah terealisasinya penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan peribadatan yang tulus, tanpa ada sedikit pun kesyirikan atau persekutuan bagi makhluk mana pun. Tidak ada Islam dan iman tanpa mewujudkan penghambaan yang murni kepada-Nya.
Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.’ (QS. Adz-Dzariyat: 56-57)” [14]
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa mengesakan-Nya dalam ibadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan, dan menjauhkan kita dari kesyirikan dan bahaya-bahayanya. Amin.
Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab”
***
Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 H
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H.
Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.
Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syuruh Syaikh Shalih Al-’Utsaimin li Asma’ Allah Ta’ala Al-Husna. Disusun dan ditata oleh Munā Asy-Syamrī.
Catatan kaki:
[1] Fiqhul Asma’il Husna – Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 89-90. Lihat juga Mausu’ah Al-Asma’ Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 237.
[2] Lihat: Asma’ul Husna oleh Abdullah bin Shalih Al-Ghushn, hal. 352.
[3] Maqayis Al-Lughah hal. 49.
[4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 25.
[5] Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41.
[6] Islamqa.info/ar/41936 . Lihat juga Asy-Syarh Al-Mumti’, 3:56, Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41 – 42, Mausu’ah Al-Asma Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 238.
[7] Isytiqaq Asma’ Allah oleh Abu Al-Qasim Az-Zajjaji, hal. 30, dan Lisan Al-‘Arab entri أله. Dinukil dari
[8] Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah, hal. 192.
[9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 90-91. Silakan merujuk ke sini, karena terdapat penjelasan yang panjang dan sangat penting.
[10]
[11] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 91.
[12] Taysir Al-Lathif Al-Mannan fi Khulasat Tafsir Al-Qur’an, hal. 9.
[13] Syarh Asma’ Allah Al-Husna, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41.
[14]