Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

 

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan memakan makanan yang disajikan dalam perkumpulan-perkumpulan yang diadakan untuk memperingati hari raya bid‘ah? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Jawaban:

ppdb sakinah

Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, selawat dan salam atas utusan Allah rahmatan lil alamin wa ‘ala alihi washahbihi waikhwanihi ila yaumiddin. Amma ba’du.

Ketahuilah bahwa Allah Ta‘ala telah membatalkan perayaan-perayaan masa jahiliah dan menggantinya untuk umat Islam dengan dua hari raya, di mana mereka berkumpul untuk berzikir dan melaksanakan salat, yaitu: Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Anshar memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main dan menganggapnya sebagai dua hari raya. Maka, Nabi ﷺ bersabda,

إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik darinya, yaitu hari Al-Fithri dan hari An-Nahr.” [1]

Sebagaimana Allah Ta‘ala telah mensyariatkan bagi umat Islam untuk berkumpul dalam rangka beribadah dan mengingat Allah pada hari Jumat, hari Arafah, dan hari-hari tasyrik. Adapun selain itu, maka tidak diperbolehkan untuk merayakannya. Baik itu berupa hari raya keagamaan, seperti Hari Raya Natal dan Tahun Baru Masehi, Hari Ibu, Natal (Christmas) bagi kaum Nasrani, atau Hari Raya Yobel bagi kaum Yahudi.

Demikian pula dengan perayaan-perayaan kaum Rafidhah, seperti Hari Raya Ghadir, Hari Raya Isra Mi‘raj, peringatan Asyura, malam awal bulan Sya‘ban, malam pertengahan Sya‘ban, malam bulan Rajab, malam pertengahan Rajab, perayaan Maulid Nabi yang dilakukan oleh mereka (Rafidhah) dan kaum sufi, perayaan pergantian abad hijriah, dan semisalnya.

Dan hari-hari raya lainnya, seperti perayaan ulang tahun dan yang semisalnya dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid‘ah), di mana banyak kaum muslim mengikuti jalan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan yang serupa dengan mereka. Mereka meniru mereka dalam perayaan-perayaan mereka, akhlak mereka, cara hidup mereka, serta berbagai aspek kehidupan mereka. Nabi ﷺ bersabda,

لَتَتْبَعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: «يَا رَسُولَ اللهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟» قَالَ: «فَمَنْ»

“Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang dhab, niscaya kalian mengikuti mereka”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” [2]

Maka, wajib bagi kita untuk meninggalkan semua hari raya yang tidak disyariatkan oleh Allah kepada kita, serta meninggalkan segala bentuk yang berkaitan dengannya dan hal-hal yang menjadi pelengkapnya, seperti berkumpul untuk mengadakan kajian atau ceramah, makan bersama, atau mengadakan pesta perayaan. Hal ini karena تَوَابِعَ الشَّيْءِ مِنْهُ / “Segala sesuatu yang menjadi pelengkap atau turunan dari sesuatu adalah bagian darinya (dan mengikuti hukumnya).” dan yang termasuk di dalamnya adalah التَّابِعُ تَابِعٌ/ “Yang mengikuti memiliki hukum yang sama dengan yang diikutinya.”

Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar larangan dan pengharamannya dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama: Bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk perkara yang diada-adakan (muhdatsat al-umur), dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]

Nabi ﷺ bersabda,

وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، [وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ]، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، [وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan [setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah], setiap bid‘ah adalah kesesatan, [dan setiap kesesatan tempatnya di neraka].” [4]

Nabi ﷺ juga bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak.” [5]

Dan telah diriwayatkan dengan lafaz yang lebih umum dari sabda Nabi ﷺ,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.” [6]

Kedua: Karena perayaan musim-musim dan hari raya bid‘ah merupakan tindakan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari raya, padahal syariat tidak menetapkannya sebagai hari raya. Allah Ta‘ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 49)

Ketiga: Karena hal itu juga mengandung unsur menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sejenis dengan mereka dalam perayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka. Hal ini termasuk salah satu bentuk loyalitas kepada mereka. Allah Ta‘ala berfirman,

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ

“Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51)

Dan Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” [7]

Oleh karena itu, berpartisipasi dalam perayaan hari-hari raya yang tidak disyariatkan, baik dengan berkumpul di meja jamuan maupun mengadakan perayaan di atas panggung, merupakan bentuk pengakuan terhadap bid‘ah dan keridaan terhadap apa yang telah dilarang oleh Allah. Menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Allah Ta‘ala berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Al-Imran: 31)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

Ayat yang mulia ini menjadi hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun ia tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhnya ia adalah pendusta dalam klaimnya tersebut, hingga ia mengikuti syariat Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Sebagaimana telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, ‘Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.’ ”

Aku katakan, “Termasuk dalam amal yang tertolak adalah partisipasi para pembuat roti, pembuat kue, juru masak, pedagang daging putih, kalkun, dan lainnya dalam rangka menghidupkan perayaan-perayaan yang diada-adakan ini. Hal tersebut termasuk dalam kerja sama yang berdosa dan melampaui batas-batas syariat. Allah telah melarang bentuk kerja sama semacam ini dengan firman-Nya,

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.’ (QS. Al-Maidah: 2)”

Aku memohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, menyucikan hati dan amal perbuatan mereka dari segala sesuatu yang bertentangan dengan kemurnian agama, serta memberikan mereka taufik untuk berpegang teguh kepada Kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka, Muhammad ﷺ, dan untuk mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Dialah Pelindung Yang Maha kuasa atas hal itu.

Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh.

Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman.

Aljazair, pada 24 Rabiulakhir 1427 H

Bertepatan dengan 21 Mei 2006 M

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

 

Sumber:

Catatan kaki:

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab “Ash-Shalah“, bab “Salat Hari Raya” no. 1134, dan oleh An-Nasa’i dalam kitab “Salat Hari Raya” no. 1556, dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 2: 442, dan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 2021.

[2] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-I‘tisam bil Kitab was-Sunnah, bab “Sabda Nabi ﷺ, ‘Kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian’“, no. 7320, dan oleh Muslim dalam kitab Al-‘Ilm, no. 2669, dari hadis Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

[3] Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab “Kewajiban Berpegang Teguh pada Sunnah” no. 4607, oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-‘Ilm, bab “Apa yang Datang tentang Berpegang pada Sunnah dan Menjauhi Bid‘ah” no. 2676, dan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah, bab “Mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin yang Mendapat Petunjuk“, no. 42, dari hadis Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu.

Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 1: 181 dan Al-Wadi‘i dalam Ash-Shahih Al-Musnad, no. 938. Hadis ini juga dinilai sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir, 9: 582, Ibnu Hajar dalam Muwafaqatul Khabar Al-Khabar, 1: 136, Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘, no. 2549 dan Silsilah Ash-Shahihah, no. 2735, serta Syu‘aib Al-Arna’uth dalam takhrij-nya untuk Musnad Ahmad, 4: 126.

[4] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Jumu‘ah, no. 867, dari hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. Adapun teks yang berada di antara tanda kurung adalah tambahan dari An-Nasa’i dalam kitab Salat Al-‘Idain, bab “Bagaimana Khutbah?” no. 1578. Lihat: Irwa’ul Ghalil, karya Al-Albani, 3: 73.

[5] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan dengan lafaz ini oleh Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718, dan oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shulh, bab “Apabila Mereka Berdamai dengan Perdamaian Yang Zalim, maka Perdamaian Itu Tertolak“, no. 2697, dengan lafaz: “… yang tidak ada di dalamnya…,” dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[6] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[7] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Libas, bab “Pakaian yang Membuat Terkenal“, no. 4031, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 10:271, dan dinyatakan sahih oleh Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya’ Ulumiddin, 1: 359 serta oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. 1269 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 6149. Lihat juga Nashbur Rayah, karya Az-Zaila‘i 4: 347.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading