Di antara permasalahan yang sering muncul saat terjadinya perceraian di antara pasangan suami istri atau meninggalnya salah satu dari keduanya di negeri kita tercinta adalah masalah harta gono gini. Jika melihat ke kamus KBBI, gono-gini/gana-gini memiliki arti,
“Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.”
Munculnya istilah harta gono gini (harta bersama) tidak lain dan tidak bukan seringkali dikarenakan faktor adanya penggabungan harta milik suami dan istri, baik itu dalam bentuk patungan tatkala membeli rumah, kredit motor, ataupun hal-hal lainnya. Dan hal ini muncul karena tidak adanya kejelasan porsi patungan antara keduanya sehingga kepemilikan harta tersebut menjadi tidak jelas.
Lalu, bagaimana status hukum harta tersebut di dalam syariat kita? Terutama apabila salah satu dari keduanya telah meninggal dunia. Dan bagaimanakah langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?
Harta gono gini dalam perundang-undangan Indonesia
Harta gono-gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, dan pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya.
Begitu juga dalam pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 96 dan pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari harta harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah bagian dari harta bersama (gono-gini) mereka.
Harta gono gini dalam perspektif hukum Islam
Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fikih terdahulu para ulama. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan budaya atau adat istiadat yang persoalan hukumnya belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena masalah ini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern, dan mungkin dikarenakan juga orang Islam di zaman terdahulu tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri, harta istri adalah harta istri dan harta suami adalah harta suami, jelas porsi harta mereka berdua.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya.
Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. pernah menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tidak ada istilah harta gono gini, istilah tersebut datangnya dari kita dan tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam.
Dalam Islam, jika terjadi sebuah perpisahan, baik karena perceraian atau meninggalnya salah satu pasangan, maka apa yang menjadi hak milik pasangannya harus dikembalikan terlebih dahulu. Baik itu berupa harta, saham, ataupun kepemilikan lainnya. Baru kemudian sisa dari harta tesebut menjadi warisan bagi ahli warisnya jika ia telah meninggal dunia.
Baca juga: Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan?
Konsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam Islam
Dalam Islam, kepemilikan harta sangatlah diperhatikan, seorang laki-laki dan perempuan yang telah balig dan dapat mengelola harta, maka ia berhak untuk mengelola harta tersebut dan memilikinya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan para wali anak yatim untuk menyerahkan hartanya kepada anak-anak yatim tersebut tatkala mereka telah dewasa dan dapat mengelola harta,
وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu (yaitu memberikan sebagian harta mereka untuk mereka belanjakan sendiri) sampai mereka cukup umur untuk kawin (telah mencapai usia dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa’: 6)
Ayat ini umum, mencakup setiap muslim yang sudah dewasa, maka harta yang menjadi hak milik mereka tidak dapat berpindah kepemilikan, kecuali atas izin dan keridaan pemilik harta tersebut.
Islam sangatlah menjaga kepemilikan harta seorang muslim, dan ini telah tercantum di dalam banyak sekali ayat dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لا يأْخذَنَّ أحدُكم متاعَ أخيهِ لاعبًا ولا جادًّا . وقال سليمانُ : لعبًا ولا جدًّا ومن أخذ عصا أخيهِ فلْيرُدَّها
“Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan.” Sulaiman bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi berkata, “Tidak dengan main-main, tidak pula sungguhan, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud no. 5003)
Hadis ini berlaku umum, bahkan dalam sebuah hubungan pernikahan. Dengan adanya ikatan pernikahan tidak kemudian menjadikan harta suami otomatis menjadi milik istri. Begitu pula sebaliknya, harta istri otomatis menjadi milik suami, atau istilah lainnya harta mereka menjadi milik bersama.
Namun, perlu kita pahami juga bahwa dalam hubungan suami dan istri, seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya, yang apabila harta tersebut kemudian diberikan kepada istri, maka sepenuhnya menjadi kepemilikan dan hak istrinya. Seorang suami tidak berhak untuk menarik kembali harta yang menjadi hak nafkah istri tersebut. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka‘,
“yaitu, berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap istri mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 292)
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,
كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia manahan hak-hak orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996)
Maka, wajib hukumnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya dan keluarganya, dan bila itu tidak dilaksanakan, maka ia berdosa.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri terkadang akan memiliki harta dari suaminya, dan ini menjadi haknya dan miliknya. Seorang suami tidak diperbolehkan untuk mengambil kembali harta tersebut, baik dengan dalih adanya harta gono-gini ataupun dalih lainnya. Jika pun ia butuh untuk menggunakan harta istrinya, maka itu harus sepengetahuan istrinya dan keridaannya.
Penutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan
Setelah mengetahui bahwa hukum Islam tidak mengenal konsep harta gono-gini, maka tatkala kita mendapat sebuah permasalahan yang mengharuskan pemisahan harta antara milik suami dan milik istri, wajib hukumnya untuk kita pisahkan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Apa yang memang menjadi hak suami dan harta suami, maka itu menjadi haknya dan miliknya, dan apa yang menjadi hak istri dan hartanya, maka itu tetap menjadi haknya dan hartanya.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap pasangan yang sedang membangun rumah tangganya, kemudian melakukan sebuah transaksi dengan cara patungan seperti membeli rumah atau kendaraan ataupun melakukan utang, untuk memperjelas porsi kepemilikan harta masing-masing dari keduanya. Dan cara yang lebih baik lagi adalah dengan mencatatkannya dan mengikrarkannya di hadapan saksi, sehingga apabila di kemudian hari terjadi suatu kondisi yang mengharuskan pemisahan harta keduanya, tidak terjadi perselisihan di antara keduanya.
Jikapun terjadi perselisihan, maka Islam memperbolehkan adanya musyawarah dan diskusi untuk mencapai kesepakatan antara keduanya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Shulh (berdamai) dengan sesama kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu perkara yang halal.” (HR. Tirmidzi no. 1352)
Wallahu A’lam bis-shawab.
Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta?
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: Muslim.or.id