Dianjurkan Menceritakan Nikmat, namun Bagaimana jika Terkena Penyakit ‘Ain?

Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid

 

Pertanyaan:

Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya.

Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?

 

Jawaban:

Alhamdulillah.

Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11)

Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya.

An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2]

Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3]

Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja.

As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4]

Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis,

.. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر

… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.[5]

dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6]

Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat.

Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas).

Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.’” [7]

Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8]

Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore.

Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9]

Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu

***

Penerjemah: Reza Mahendra

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

[1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489.

[2] Ar-Ruh, hal. 312.

[3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95.

[4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928.

[5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth.

[6] Faidh Al-Qadir, 3: 369.

[7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani.

[8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275.

[9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading