Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 11)

Telah dipaparkan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya hal-hal yang berkaitan dengan sewa menyewa jasa yang sifatnya khusus atau pribadi. Dan sewa menyewa jasa terbagi menjadi dua,

  • الأَجِيْرُ الخُاصُّ : Penyedia jasa atau sewa menyewa jasa secara khusus
  • الأَجِيْرُ المُشْتَرَكُ : Penyedia jasa atau sewa menyewa jasa secara umum atau bersifat publik

(Silahkan untuk kembali dilihat pada artikel bag. 6)

Sewa menyewa jasa secara umum

Yaitu sewa menyewa jasa yang manfaatnya berupa pekerjaan, jasa pekerjaan yang sifatnya dapat digunakan oleh banyak orang dan tidak dikhususkan hanya untuk satu orang saja[1].

Dalam pengertian yang lain,

Yaitu orang yang menerima penyewaan jasa lebih dari satu orang penyewa, dengan akad yang bermacam-macam, dan tidak terikat jasa tersebut hanya untuk satu orang saja[2].

Dinamakan dengan musytarak dikarenakan penyedia jasa menerima pekerjaan dari orang banyak, dan dalam satu waktu penyedia jasa bekerja untuk mereka. Maka dari sinilah digunakan kata musytarak yaitu mereka bergabung dalam satu waktu dan satu pekerjaan.

Dalam hal ini, penyedia jasa tidak boleh mengambil upahnya kecuali setelah menyelesaikan pekerjaannya.

Contoh-contoh dari sewa menyewa jasa secara umum

  • Seperti jasa cukur rambut. Jasa cukur rambut adalah contoh sederhana dari sewa menyewa jasa secara umum. Dalam keadaan ini ada dua orang yang satu adalah penyedia jasa yang satunya adalah pengguna jasa. Tentunya, penyedia jasa tidak hanya bekerja untuk satu orang saja. Ia bisa bekerja untuk banyak orang, mengingat banyak yang menggunakan jasanya sebagai tukang cukur.
  • Begitu juga dokter. Dokter masuk ke dalam kategori sewa menyewa jasa secara umum. Karena dokter pun tidak menyediakan jasa secara khusus, jasanya untuk orang banyak.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Seperti penjahit, arsitek, supir, dan lain sebagainya.

Ketentuan-ketentuan sewa menyewa jasa secara umum[3]

  • Pekerjaan dari jasa tersebut haruslah pekerjaan yang jelas dan diketahui sifatnya bukan pekerjaan yang masih samar-samar. Kendati pekerjaan tersebut adalah sifatnya untuk orang banyak, hal ini sama dengan sewa menyewa jasa secara khusus yang mengharuskan jelasnya pekerjaan tersebut. Sehingga dari sini, tidak sah hukumnya jika pekerjaan nya belum jelas.
  • Upah harus jelas, silahkan untuk penyedia jasa harus jelas dalam memasang upahnya. Dalam penentuan upah, tentunya tidak mesti adanya kesepakatan dari pihak penyewa jasa. Artinya yang menentukan upah adalah penyedia jasa, Adapun penyewa jasa nantinya hanya bisa menawar dan setuju atau tidak setujunya dengan upah yang diajukan.
  • Standar atau patokan selesainya sewa menyewa jasa secara umum adalah pekerjaan. Jika pekerjaan selesai, selesai pula akad tersebut. Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, “apakah boleh menggabung pekerjaan dan waktu sebagai patokan dalam akad ini?”

Contoh : “Tolong buatkan baju untuk saya dan saya mau hari ini juga selesai, dengan upah serratus ribu rupiah .”

Pada contoh di atas, adalah penggabungan antara selesainya pekerjaan dan waktu. Setidaknya ada dua perbedaan pada hal ini,

Hukum Tidak sah Sah
Ulama – Abu Hanifah
– Madzhab Mailiki (Masyhur)

– Madzhab Syafi’I

– Madzhab Hanbali

– Dua murid Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani)
– Sebagian pendapat ulama madzhab Hanbali

– Sebagian pendapat ulama madzhab Syafi’i

– Sebagian pendapat ulama madzhab Mailiki (jika ghararnya sedikit)

Alasan Karena dalam penggabungan pekerjaan dan waktu dapat membawa kepada ketidak jelasan akad (Jahaalah)
 

Sebab dengan menjadikan waktu sebagai patokan dalam akad ini, menyebabkan upah dapat diproleh sebelum selesai pekerjaannya. Ini dinamakan dengan Jahaalah dan hal itu dapat merusak suatu akad.

Karena dalam penggabungan ini, yang dijadikan patokan terlebih dahulu adalah pekerjaannya dan bukan pada waktunya.

 

Tetap tujuan dan standar utamanya adalah pekerjaan, Adapun waktu biasanya hanya untuk mempercepat pekerjaan tersebut.

 

Sehingga inilah yang dinamakan dengan gharar yasiir yaitu ketidakjelasan yang sifatnya  sangat minim sekali dan masih bisa ditolerir.

Sehingga penggabungan dari pekerjaan dan waktu dalam patokan sewa menyewa jasa yang bersifat umum menjadi sah jika pekerjaan yang dijadikan sebagai standar utama, dan ini masuk ke dalam kategori gharar yasiir yang masih dalam kategori diperbolehkan menurut para ulama.

Kesimpulan dari hal di atas,

Penyedia jasa berhak untuk mendapatkan upah ketika pekerjaannya sudah selesai dan sesuai dengan waktu yang disepakati. Adapun jika pekerjaan belum selesai padahal waktu sudah habis, maka hal ini dikembalikan kepada pihak penyewa jasa apakah ingin dilanjutkan atau tidak. Jika ingin dilanjutkan silahkan, dan jika tidak maka itu adalah hak penyewa.

Wallahu’alam.

Kembali ke bagian 10

Depok, 18 Ramadhan 1446H / 17 Maret 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Shahih Fiqh Sunnah karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah

Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz Dzahabi

Dan beberapa referensi lainnya

 

Catatan kaki:

[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar 359

[2] Shahih Fiqh Sunnah 5:295

[3] Diringkas dari kitab Shahih Fiqih Sunnah 5:299 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar 359

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading