Keistimewaan Manhaj Salaf

Secara bahasa, manhaj berarti ‘jalan yang terang dan gamblang’. Adapun istilah ‘salaf’ yang dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan sahabat dan pengikut setia mereka. (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16)

Apabila disebutkan istilah salaf secara umum, maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama dari umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari, Tirmidzi, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 11)

Semangat menuntut ilmu

Di antara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah pondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar’i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan (ajaran) Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu) yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku …” (QS. Yusuf: 108) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27)

Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul, ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu. (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1: 226-227)

Menyebarkan akidah tauhid

Salah satu keistimewaan pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan akidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasihat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bidah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bidah. (lihat Khasha’ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13)

Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah akidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42)

Urgensi ilmu akidah

Ilmu akidah merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh sebab itu, sebagian ulama terdahulu menyebut ilmu akidah sebagai fikih akbar. Karena dalam ilmu akidah inilah kita akan mengerti pokok-pokok ajaran agama. (lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitabnya, Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 34-35)

Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan akidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa akidah yang lurus. Oleh sebab itu, perhatian kepada masalah akidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena akidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8)

Karya ulama akidah

Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkara akidah. Ada di antara mereka yang menyusun buku dalam hal akidah dengan judul as-Sunnah, seperti as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal, as-Sunnah karya al-Khallal, dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim. Ada juga yang dinamai dengan asy-Syari’ah, seperti yang ditulis oleh al-Aajurri. Ada pula yang diberi nama dengan Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah sebagaimana yang ditulis oleh al-Laalikaa’i. Ada juga yang diberi nama dengan at-Tauhid seperti karya Ibnu Khuzaimah dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah, dan Kitab Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada pula yang disebut dengan ‘Aqidah, seperti yang ditulis oleh Abu Ja’far ath-Thahawi dan ‘Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyah. Ada juga yang disebut i’tiqad seperti Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh al-Fauzan hafizhahullah, hal. 22)

Baca juga: Mengaku Salafi, Namun Realitanya Tidak Bermanhaj Salaf

Kedudukan tauhid

Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata,

“Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula, akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya.

Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat.

Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)

Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman -pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya- semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama [ketaatan] dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 63)

Fenomena menyedihkan

Di antara fenomena yang sangat memprihatinkan di masa kini adalah banyaknya para dai yang kurang memperhatikan perkara akidah. Bahkan sebagian mereka terkadang mengatakan, “Biarkan saja manusia dengan akidah mereka! Kalian tidak perlu menyinggungnya! Yang penting bersatu, jangan suka berpecah-belah! Kita bersatu dalam apa-apa yang kita sepakati dan kita saling memberi toleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan.”

Demikian kurang lebih isi ungkapan mereka. Padahal tidak ada persatuan dan kekuatan kecuali dengan cara kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah terutama dalam hal-hal akidah yang notabene merupakan pondasi agama. (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 7)

Tauhid bagaikan asas dan pondasi bagi sebuah bangunan. Ketinggian dan kokohnya sebuah bangunan tergantung pada kekuatan pondasi dan keteguhannya. Amalan-amalan ibarat unsur sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Orang yang paham akan fokus untuk memperbaiki pondasi dan menguatkannya sebelum meninggikan bangunan, sedangkan orang yang bodoh bersemangat untuk meninggikan bangunan tanpa memperhatikan pondasinya. Hal itu sebagaimana keadaan orang munafik yang membangun masjid tanpa landasan ikhlas dan ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang menegakkan bangunannya di atas ketakwaan kepada Allah dan untuk mencari keridaan-Nya, itukah yang lebih baik atau orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang miring sehingga justru menjerumuskan dia ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109) (lihat Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar, hal. 13)

Pilar utama manhaj salaf

Di antara sekian banyak pokok akidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf yaitu; memurnikan ibadah kepada Allah, berpegang teguh dengan al-Jama’ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah, dan berhati-hati dan waspada dari bidah dan pembela bidah. (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah, hal. 7-8)

Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seseorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)

Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah (menghamba) kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Kunci-kunci persatuan

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah (perbaikan) dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan antara berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakannya berbagai mu’tamar (pertemuan) atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semua tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihimus shalatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas (pondasi) yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bidah-bidah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153)

Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau [rasul]. Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan jalan-jalan yang lain itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bidah.” (lihat al-I’tisham, 1: 76).

Baca juga: Dalil Manhaj Salaf Dalam Surat Al Fatihah

***

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel Muslim.or.id

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading