Hukum & Pengertian Nadzar Dalam Islam Bagian #1
Hukum & Pengertian Nadzar Dalam Islam Bagian #1
Pengertian Kaffārat dalam Islam
Secara bahasa, kaffārat (الكفّارة) berasal dari kata kafara (كَفَرَ) yang berarti menutup atau menghapus.
Sedangkan menurut istilah syariat:
Kaffārat adalah suatu amalan atau perbuatan tertentu yang diwajibkan syariat sebagai tebusan (penghapus) dosa atau kesalahan yang dilakukan seorang muslim, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Jadi, kaffārat berfungsi sebagai bentuk penebusan kesalahan agar seorang muslim bisa kembali bersih dari dosa tertentu sesuai ketentuan syariat.
Asfahani rahimahullah dalam ‘Mufrodat Alfadul Qur’an, hal. 797 mengatakan,”Nazar adalah mewajibkan yang tidak wajib kepada diri anda karena terjadi suatu peristiwa. Allah Ta’ala berfirman:
اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah.” [QS. Maryam: 26]
Maka nazar adalah mewajibkan mukallaf (orang yang terkena beban kewajiban) terhadap dirinya yang tidak wajib atasnya. Baik secara langsung atau digantungkan. Telah disebutkan dalam Kitabullah pada posisi sanjungan. Allah Ta’ala berfirman terkait dengan hamba-Nya orang-orang mukmin:
اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًاۚ . عَيْنًا يَّشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللّٰهِ يُفَجِّرُوْنَهَا تَفْجِيْرًا . يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهٗ مُسْتَطِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” [QS. Al-Insan: 5-7]
Maka Allah –Tabaroka Wata’ala– menjadikan ketakutan mereka terhadap kegentingan hari kiamat dan pemenuhan nazarnya merupakan salah satu sebab keselamatan dan masuknya ke surga.
Hukum Nazar
Memenuhi nazar adalah kewajiban yang disyariatkan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ثم ليقضوا تفثهم وليوفوا نذورهم
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” [QS. Al-Hajj: 29]
Imam Syaukani rahimahullah mengatakan, “Perintah menunjukkan akan kewajiban. Telah ada banyak hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam larangan bernazar dan penjelasan kemakruhannya”.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تَنْذروا ، فإن النذر لا يغني من القدر شيئا ، وإنما يستخرج به من البخيل
“Jangan kalian semua bernazar, karena nazar tidak berpengaruh terhadap takdir sedikitpun. Sesungguhnya ia keluar dari kebakhilan.” [HR. Muslim no. 3096]
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mulai melarang kami bernazar seraya bersabda:
إنه لا يرد شيئا ، وإنما يستخرج به من الشحيح
“Sesungguhnya ia (nazar) tidak dapat menolak sedikitpun. Sesungguhnya ia dikeluarkan dari kekikiran.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Kalau ada yang mengatakan ‘Bagaimana disanjung orang orang menunaikan nazar kemudian dilarangnya. Seharusnya nazar yang disanjung adalah nazar ketaatan saja tanpa digantungkan terhadap sesuatu. Dimana seseorang mengharuskan dirinya untuk melakukan ketaatan dan menghalangi dari kemalasan atau rasa syukur terhadap kenikmatan.
Sementara nazar yang dilarang itu banyak macamnya diantaranya adalah nazar pengganti, dimana orang yang bernazar dalam ketaatan ketika mendapatkan sesuatu atau menolak sesuatu. Kalau tidak didapatkan, tidak melakukan ketaatan. Ini yang dilarang. Mungkin hikmah dilarangnya hal itu adalah karena sebab-sebab berikut ini:
Orang nazar melakukan ketaatan dengan berat. Ketika terjadi pada kondisi sulit dan mengharuskan melakukan sesuatu. Orang nazar ketika bernazar melakukan ketaatan dengan syarat jika apa yang diinginkan tercapai. Sehingga nazarnya seperti pengganti yang dapat mencederai niatan dalam ketaatan. Karena kalau dia tidak sembuh dari penyakitnya, tidak akan bershodaqoh karena digantungkan atas kesembuhannya. Inilah kondisi kikir. Karena dia tidak mengeluarkan hartanya sedikit pun kecuali dengan pengganti langsung. Biasanya lebih dari apa yang dikeluarkannya.
Sebagian orang mempunyai keyakinan jahiliyah, muaranya bahwa nazar harus mendapatkan sesuai dengan tujuan yang dia lakukan. Atau Allah akan merealisasikan tujuan orang yang bernazar karena nazarnya. Menghilangkan keyakinan pada sebagian orang awam. Dimana akhirnya bahwa nazar dapat menolak takdir. Atau mendapatkan manfaat segera atau memalingkan dari keburukan. Maka hal itu dilarang khawatir keyakinan orang awam akan hal itu. Serta peringatan bahaya metode seperti itu terhadap keselamatan aqidah.
Wallohu a’lam,
Bersambung ke Bagian #2