Antara Takzim dan Ghuluw, Menimbang Kasus Santri dan Tagar #BoikotTrans7

Antara Takzim dan Ghuluw, Menimbang Kasus Santri dan Tagar #BoikotTrans7

2 hours yang lalu
Antara Takzim dan Ghuluw, Menimbang Kasus Santri dan Tagar #BoikotTrans7

Antara Takzim dan Ghuluw, Menimbang Kasus Santri dan Tagar #BoikotTrans7

Bismillah…

Beberapa waktu terakhir, jagat media sosial diramaikan oleh tagar #BoikotTrans7. Sebabnya adalah tayangan salah satu program televisi yang memperlihatkan santri yang ngesot di hadapan kiai.
Banyak pihak merasa tersinggung. Sebagian menilai itu bentuk penghinaan terhadap tradisi pesantren. Namun, di sisi lain, ada juga yang justru melihat tayangan itu sebagai cerminan masalah internal dalam sebagian tradisi keagamaan kita.

Tulisan ini tidak bertujuan menambah gaduh. Justru kita ingin melihat persoalan ini dengan kacamata syariat, agar umat dapat belajar menempatkan adab pada tempatnya, tidak berlebihan dan tidak pula abai.

Menghormati Guru Adalah Syiar Islam

Tidak diragukan, Islam sangat menekankan adab kepada orang berilmu. Allah ﷻ berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah: 11)

Para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka patut dihormati, dijaga lisannya, dan dimuliakan kedudukannya. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak ulama di antara kami.” (HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Maka penghormatan kepada guru, ustadz, dan kiai adalah bagian dari adab Islami. Namun, seperti ibadah lainnya, adab pun ada batasnya.

Santri Juga Harus Dimuliakan

Santri adalah penuntut ilmu agama, mereka penerus penyampai estafet ilmu kepada masyarakat yang lebih luas dan generasi selanjutnya. Yang dengan perjuangan mereka belajar dan berdakwah, Islam tetap terjaga. Sehingga mereka adalah manusia yang harus kita muliakan.

  • Bagaimana tidak, sementara seluruh makhluk mendoakan mereka istighfar?!
  • Bagaimana tidak, sementara para Malaikat pun hormat kepada mereka?!
  • Bagaimana tidak, sementara seluruh mereka calon pewaris para Nabi?!
  • Bagaimana tidak, sementara mereka sedang menempuh jalan yang dekat dan mudah menuju surga?!

Semua itu terkumpul di dalam Sabda Nabi  ﷺ:

من سلك طريقًا يلتمس فيه علمًا، سهَّل اللهُ له طريقًا إلى الجنةِ، وإنَّ الملائكةَ لَتضعُ أجنحتَها لطالبِ العلمِ رضًا بما يصنعُ، وإنَّ العالمَ لَيستغفرُ له مَن في السماواتِ ومن في الأرضِ، حتى الحيتانُ في الماءِ، وفضلُ العالمِ على العابدِ كفضلِ القمرِ على سائرِ الكواكبِ، وإنَّ العلماءَ ورثةُ الأنبياءِ، إنَّ الأنبياءَ لم يُورِّثوا دينارًا ولا درهمًا، إنما ورَّثوا العلمَ، فمن أخذه أخذ بحظٍّ وافرٍ

“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya karena ridha terhadap apa yang dilakukan oleh penuntut ilmu.
Dan sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan oleh ikan-ikan di dalam air.
Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya, maka sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat besar.” (Shahih At-Targhib no. 70, hadits Abu Darda’)

Ketika Takzim Berubah Menjadi Ghuluw

Rasulullah ﷺ memberi peringatan keras terhadap sikap berlebihan dalam menghormati seseorang, bahkan terhadap beliau sendiri:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan memujiku sebagaimana orang Nasrani memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Jika terhadap Nabi ﷺ saja umat dilarang ghuluw, tentu lebih tidak pantas bila dilakukan kepada manusia biasa sekalipun dia seorang guru atau kyai.

Dalam praktik di lapangan, kadang terlihat bentuk penghormatan yang berlebihan. Misalnya, santri ngesot atau berjalan jongkok di hadapan kiyai, memandikan sandal guru, atau melakukan ritual yang tak pernah dicontohkan oleh Nabi ﷺ dan para sahabat seperti ngalap berkah air bekas wudhu guru, air minum guru.

Ini bukan bentuk adab, tapi kelebihan dalam beragama. Karena Islam tidak mengajarkan seseorang merendahkan kehormatannya untuk memuliakan makhluk.
Yang benar, takzim itu menjaga kehormatan dua pihak: santri tetap terhormat, guru tetap dimuliakan.

Khidmah Santri, Ibadah atau Eksploitasi?

Dalam beberapa pesantren, santri terbiasa membantu gurunya. Mereka memasak, membersihkan rumah, atau menyiapkan kebutuhan kiai. Bila dilakukan dengan niat khidmah dan tanpa paksaan, ini amal yang mulia. Namun, ketika santri dipaksa bekerja di luar batas, atau dijadikan “pekerja tetap” tanpa hak istirahat, maka itu menyelisihi prinsip syariat.

Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ

“Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-haknya.”  (QS. Asy-Syu’arā’: 183)

Bantuan santri kepada guru adalah bentuk ta’awun (tolong-menolong) yang bernilai ibadah bila sesuai koridor. Tapi ketika diubah jadi alat kepentingan pribadi, lalu dibungkus dengan kalimat “biar dapat barokah”, itu penyimpangan niat.

Barokah itu datang dari ilmu yang diamalkan dan doa guru yang tulus, bukan dari kerja paksa atau perendahan diri.

 “Ngalap Berkah” Yang Disalahpahami

Fenomena “ngalap berkah” sering menjadi alasan pembenaran bagi praktik yang tidak sesuai tuntunan.
Padahal, barakah sejatinya milik Allah ﷻ. Kita boleh mengharap berkah melalui wasilah yang dibenarkan syariat, bukan ritual yang tidak ada tuntunannya.  Dan sebab yang paling utama dapat membuka semua pintu keberkahan adalah iman dan takwa. Sebagaimana Allah firmankan,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami azab mereka disebabkan oleh perbuatan mereka.” (QS. Al-A‘rāf: 96)

Syaikh Prof. Abdurrazzaq Al-Badr – hafizhahullah- (ulama di kota Madinah dan pengajar di Masjid Nabawi) menerangkan ayat ini:

فبهذين (آمَنُوا وَاتَّقَوْا) تُنال البركة، فلا يحصِّلها العبد إلا بإيمانه بالله ويأتي في مقدّمة ذلك الإيمان بأصول الإيمان العظام: بالله وملائكته وكتبه ورسوله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره. فكلما عَمُر القلب بالإيمان تحقيقاً وتكميلاً وتتميماً تنزلت عليه من البركة منًّا من الله وتفضّلا بحسب ذلك.
وبتقوى الله جلّ وعلا فعلا للأوامر وتركا للنواهي؛ إذ تقوى الله جلّ وعلا ليست قولا يقوله الإنسان بلسانه أو دعوى يدعيها وإنما حقيقتها: عمل بطاعة الله على نور من الله رجاء ثواب الله, وترك معصية الله على نور من الله خيفة عذاب الله.

Melalui dua unsur pokok; iman dan taqwa seorang hamba dapat memperoleh keberkahan (البركة). Keberkahan tidak akan terwujud kecuali melalui keimanan yang benar kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Keimanan ini meliputi pengakuan dan pembenaran terhadap rukun-rukun iman yang mendasar, yaitu: beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta takdir baik dan buruk. Semakin kokoh dan mendalam keimanan seseorang baik dalam aspek pengetahuan (taḥqīq), penyempurnaan (takmīl), maupun pengamalan (tatmīm) maka semakin melimpah pula keberkahan yang Allah limpahkan kepadanya. Hal itu merupakan manifestasi karunia dan anugerah ilahi yang diberikan sesuai dengan kadar keimanan seseorang.

Adapun takwa kepada Allah Yang Mahatinggi diwujudkan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa bukan sekadar kata yang diucapkan di lisan, atau klaim yang hanya dinyatakan tanpa bukti. Hakikat takwa adalah:

Beramal dengan ketaatan kepada Allah, berlandaskan cahaya (petunjuk) dari Allah (yaitu tuntunan NabiNya), dengan harapan memperoleh pahala dari Allah; dan meninggalkan maksiat kepada Allah, berlandaskan cahaya (petunjuk) dari Allah, karena takut akan azab Allah.” (https://al-badr.net/muqolat/2502)

Mengambil berkah dari guru berarti mengambil ilmunya, meniru akhlaknya, dan meminta doanya, bukan menganggap debu sandalnya memiliki daya ghaib.

Jalan Tengah, Adab Dalam Petunjuk Dalil

Islam adalah agama pertengahan. Tidak berlebihan dalam menghormati, tapi juga tidak kurang ajar terhadap guru. Tidak menuhankan manusia, tapi juga tidak menistakan ilmu.

Karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Akhlak dan adab adalah buah dari ilmu yang benar. Maka menuntut ilmu tanpa adab akan melahirkan kesombongan, dan adab tanpa ilmu akan menjerumuskan pada kebodohan.

Kasus viral tentang “santri ngesot” seharusnya menjadi cermin bagi kita semua.
Bagi sebagian kalangan, ini momentum untuk meninjau ulang tradisi berlebihan dalam menghormati guru. Dan bagi yang lain, ini saatnya memperbaiki cara berinteraksi dengan ustadz dan ulama agar lebih beradab. Karena sesungguhnya, adab itu cahaya. Ia menerangi ilmu, memperindah amal, dan menjaga hubungan antara murid dan gurunya dalam bingkai syariat.

Wallāhu a‘lam.

Oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc., M.Pd

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Secret Link