Menunda Punya Anak: Antara Niat Baik dan Batas Syariat

Menunda Punya Anak: Antara Niat Baik dan Batas Syariat

12 hours yang lalu
Menunda Punya Anak: Antara Niat Baik dan Batas Syariat

Menunda Punya Anak: Antara Niat Baik dan Batas Syariat

Pendahuluan

Bismillāh…

Menikah adalah ibadah besar dan pintu menuju terbentuknya generasi shaleh. Banyak pasangan di masa kini, setelah menikah, memilih untuk menunda kehamilan dengan alasan ingin menikmati masa berdua dulu, beradaptasi, atau mempersiapkan mental dan ilmu sebelum menjadi orang tua.

Pertanyaannya:

  • Apakah menunda kehamilan itu dibolehkan dalam Islam?
  • Bagaimana batasan dan niat yang dibenarkan syariat?
  • Mari kita bahas dengan panduan dalil dan keterangan ulama.

Tujuan Pernikahan Dalam Islam

Allah Ta‘ālā berfirman:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً

“Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri itu anak-anak dan cucu-cucu.” (QS. An-Naḥl [16]: 72).

‏Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama pernikahan bukan hanya kebersamaan, tetapi juga melahirkan keturunan saleh yang meneruskan amal dan dakwah.

‏Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 2050, dinilai hasan).

‏Maka secara prinsip, keinginan memiliki anak adalah bagian dari tujuan syar’i pernikahan.

Hukum Menunda Kehamilan

Dalam fikih Islam, menunda kehamilan dikenal dengan istilah ‘azl yaitu menahan sperma agar tidak membuahi. Praktik ini pernah dilakukan pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan beliau tidak melarangnya secara mutlak.

Dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنه, ia berkata:

كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ

“Kami melakukan ‘azl (menunda kehamilan) di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sementara Al-Qur’an masih turun, dan beliau tidak melarangnya.” (HR. Bukhari no. 5208, Muslim no. 1440).

‏Hadits ini menunjukkan bahwa menunda kehamilan boleh dilakukan selama memenuhi syarat-syarat syar’i.

Syarat dan Batasan Menunda Kehamilan

Para ulama menjelaskan, bolehnya ‘azl atau menunda kehamilan bukan berarti bebas tanpa pertimbangan syariat.

Beberapa ketentuan penting adalah:

  1. Harus dengan kesepakatan suami-istri

Syaikh Ibnu Bāz rahimahullah menegaskan:

“Tidak boleh salah satu pihak menunda kehamilan tanpa izin pasangannya, karena hak mendapatkan anak adalah hak bersama.” (Fatāwā Nūr ‘alā ad-Darb)

Jadi, jika keduanya sepakat, maka boleh tapi jika hanya salah satu yang ingin menunda, itu termasuk menzalimi hak pasangan.

  1. Tidak mengandung unsur menolak takdir Allah

Menunda kehamilan boleh karena sebab duniawi yang wajar, seperti:

  • Ingin mempersiapkan diri menjadi orang tua,
  • Alasan kesehatan,
  • Alasan ekonomi mendesak,
  • Atau menunda sementara agar bisa belajar dan beradaptasi di awal pernikahan.

Namun jika niatnya karena takut miskin, atau merasa anak akan menghalangi kebebasan hidup, maka itu terlarang, karena bertentangan dengan ayat:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ

“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 31).

  1. Tidak menyebabkan bahaya bagi tubuh

Jika penundaan dilakukan dengan cara medis seperti kontrasepsi, maka harus dipastikan tidak menimbulkan mudarat fisik atau permanen.

Kaidah fikih menyebutkan:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibn Mājah no. 2341, dinilai hasan).

‏Maka konsultasi medis yang aman dan syar’i perlu dilakukan, agar tidak menimbulkan bahaya jangka panjang pada kesuburan atau kesehatan rahim.

Menunda Anak “Untuk Pacaran Dulu”?

Sebagian pasangan mengatakan,

“Kami ingin menunda dulu agar bisa menikmati masa-masa pacaran halal.”

Kalimat ini tampak manis, tapi perlu diluruskan.

Tujuan menikah bukanlah pacaran, melainkan ibadah dan membangun keluarga.

Pacaran dalam makna bebasnya tidak pernah disyariatkan, bahkan setelah menikah pun seorang Muslim tetap diarahkan untuk menjaga waktu agar penuh dengan amal, belajar, dan membangun tanggung jawab bersama.

Jika yang dimaksud adalah ingin mempererat hubungan, saling mengenal, dan belajar peran sebagai suami-istri maka itu baik, selama niatnya tetap untuk berbenah diri dan bukan untuk bersenang-senang menunda amanah dari Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menasehati:

“Setiap kenikmatan dunia yang melalaikan dari tugas ibadah, maka kenikmatan itu berubah menjadi ujian.” (al-Fawāid, hlm. 65).

Kaidah dan Sikap Pertengahan

Islam selalu menuntun kepada keseimbangan:

  • Tidak tergesa-gesa tanpa persiapan,
  • Tapi juga tidak menolak ketetapan Allah dengan alasan duniawi.

Kaidah fikih mengatakan:

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ

“Kesulitan itu mendatangkan kemudahan.”

‏Artinya, jika memang ada kesulitan nyata (seperti faktor medis, psikis, atau finansial), maka menunda boleh dilakukan sementara waktu.

‏Namun bila hanya karena gaya hidup modern ingin menikmati waktu berdua tanpa tanggung jawab maka itu niat yang tidak tepat.

Kesimpulan Hukum

  1. Menunda kehamilan hukumnya boleh jika:
  • ada kesepakatan suami istri,
  • ada alasan syar’i dan kebutuhan yang jelas,
  • dilakukan dengan cara yang aman dan tidak membahayakan.
  1. Menunda tanpa alasan syar’i, hanya karena ingin bersenang-senang atau “pacaran halal”, maka tidak sesuai dengan ruh pernikahan dalam Islam.
  2. Jika Allah menakdirkan kehamilan walau sudah diusahakan menunda, maka wajib diterima dengan ridha, karena itu bagian dari qadar Allah.

Penutup

Anak adalah amanah dan karunia, bukan beban.

Boleh menunda jika memang ada maslahat, tapi jangan pernah menutup diri dari rezeki yang Allah siapkan dalam bentuk anak saleh.

Sebab boleh jadi, dari anak itulah Allah limpahkan keberkahan rumah tangga, rezeki, dan kasih sayang yang lebih luas daripada yang kita bayangkan.

وَاللَّهُ يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ

“Allah memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki anak perempuan dan kepada siapa yang Dia kehendaki anak laki-laki.” (QS. Asy-Syūrā [42]: 49).

‏Semoga Allah memberi taufik kepada setiap pasangan Muslim & Muslimah untuk dimudahkan memperbaiki atau menata niat, menimbang maslahat, dan menyambut setiap takdir dengan penuh iman dan rasa syukur.

Ditulis Oleh Ustadz Muhammad Fikri Al-Hilabi, S.Ag., M.Ag.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Secret Link