Kitab: Kitabut Tauhid
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-40 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Kitābut-Tauḥīd alladzhī huwa ḥaqqullāhi ʿalal ʿabīd yang ditulis oleh Al-Imām al-Mujaddid Muḥammad ibn ʿAbdil Wahhāb ibn Sulaimān At-Tamīmī raḥimahullāh.
Sebagaimana biasanya, beliau meratangkan beberapa faedah yang bisa diambil dari bab yang sedang kita bahas ini.
فِيهِ مَسَائِلُ
Di dalamnya ada beberapa permasalahan.
الأُولَىٰ: التَّغْلِيظُ فِي لُبْسِ الحَلْقَةِ وَالخَيْطِ وَنَحْوِهِمَا لِمِثْلِ ذٰلِكَ
1. Ancaman yang sangat keras bagi orang yang memakai gelang atau yang semisalnya, yang terbuat dari logam dan juga benang, dan yang semisal dengan keduanya. Ternyata di sana ada ancaman yang keras bagi orang yang melakukannya. Itu apa ancamannya? Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Dia tidak akan beruntung selama-lamanya.”
Ini adalah ancaman yang keras ketika beliau mengatakan demikian, menunjukkan ancaman yang keras bagi orang tersebut untuk yang semisalnya, yaitu untuk mengangkat bala atau menolak bala.
الثَّانِيَةُ: أَنَّ الصَّحَابِيَّ لَوْ مَاتَ وَهِيَ عَلَيْهِ، مَا أَفْلَحَ. فِيهِ شَاهِدٌ لِكَلَامِ الصَّحَابَةِ: أَنَّ الشِّرْكَ الأَصْغَرَ أَكْبَرُ مِنَ الكَبَائِرِ
2. Seorang sahabat, seandainya dia meninggal dunia dan ternyata barang tersebut masih ada pada dirinya, dia tidak akan beruntung. Padahal ini adalah seorang sahabat. Dikatakan oleh Nabi, “Engkau tidak akan beruntung selamanya.” Lalu bagaimana dengan kita? Kalau sahabat saja yang demikian besarnya pahala yang Allāh janjikan kepada mereka, yang Allāh berikan kepada mereka, melakukan perbuatan ini dikatakan kepada beliau demikian, lalu bagaimana dengan kita?
Di dalam ucapan ini ada syāhid, bukti yang menguatkan terhadap ucapan sebagian sahabat bahwasanya syirik kecil itu lebih besar daripada dosa-dosa besar. Karena Nabi ﷺ sampai mengatakan, “Engkau tidak akan beruntung selamanya,” padahal ini adalah sebuah dosa yang merupakan syirik kecil. Bisa diambil—ini menguatkan ucapan sebagian sahabat yang menjelaskan bahwasanya syirik kecil ini lebih besar daripada dosa-dosa besar, seperti ucapan ‘Abdullāh ibn Mas‘ud, ketika beliau menyebutkan:
لَأَنْ أَحْلِفَ بِاللّٰهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ صَادِقًا
Beliau mengatakan: “Sungguh, aku bersumpah dengan menyebut nama Allāh dalam keadaan dusta itu lebih aku cintai daripada bersumpah dengan selain nama Allāh dalam keadaan jujur.”
Bersumpah dengan nama Allāh dalam keadaan dusta menurut beliau lebih baik daripada bersumpah dengan selain nama Allāh dalam keadaan jujur. Dusta, tapi dia bersumpah dengan nama Allāh, berarti tidak syirik. Memang seseorang melakukan dosa besar, yaitu berdusta, tapi dia terhindar dari kesyirikan yang kecil.
Adapun yang kedua, dia selamat dari kedustaan, dia jujur, tetapi dia melakukan syirik kecil. Kata beliau, yang pertama itu lebih baik, menunjukkan bahwasanya syirik kecil ini lebih besar daripada dosa besar. Jadi hadits ini menguatkan ucapan sahabat tersebut.
الثَّالِثَةُ: أَنَّهُ لَمْ يُعْذَرْ بِالْجَهَالَةِ
3. Orang tersebut tidak diberikan ‘udzur dengan kebodohannya, karena Nabi ﷺ di dalam hadits ini beliau langsung mengatakan:
Inzi‘hā fa innahā lā tazīduka illā wahnan, fa innaka law mitta wa hiya ‘alaika mā aflahta abadan.
“Kalau engkau meninggal dunia dalam keadaan itu masih ada pada dirimu, maka engkau tidak akan selamat selama-lamanya; engkau tidak akan beruntung selama-lamanya.”
Beliau mengatakan bahwasanya di sini menunjukkan bahwa tidak diberikan ‘udzur karena kebodohan seseorang. Ini kalau memang kebodohannya adalah kebodohan yang disengaja, maka ini tidak diberikan ‘udzur.
Karena kebodohan ada dua: ada kebodohan yang tidak disengaja, bukan keinginan seseorang untuk bodoh — sebabnya adalah mungkin karena jauhnya dia dari ilmu, tinggal di sebuah daerah yang sangat jauh dari ilmu, dan tidak memungkinkan dia datang ke sana, ke tempat ilmu tersebut.
Kemudian yang kedua, tidak adanya da‘i yang berdakwah kepada tauhid, atau fisiknya yang tidak memungkinkan, padahal dia di dalam hatinya berkeinginan sekali untuk mengenal agama Allāh, mengenal kebenaran. Kalau sampai dia tidak tahu, maka ini adalah sebuah ‘udzur bagi seseorang.
Tapi kalau seseorang dia memiliki kemampuan-kemampuan tadi dan memiliki kemungkinan, kemudian dia tidak mau belajar sehingga dia tidak tahu perkara agamanya — perkara akidah yang sebenarnya itu adalah perkara akidah yang harusnya seorang muslim tahu — maka ketidaktahuan dia ini adalah disengaja, dan itu bukan merupakan ‘udzur bagi seseorang.
Dan ucapan Beliau ﷺ seandainya haditsnya adalah hadits yang shahih, fa innaka law mitta wa hiya ‘alaika mā aflahta abadan, bisa dibawa kepada seandainya dia meninggal dalam keadaan sudah tahu, yaitu sudah diajarkan oleh Nabi ﷺ dan sudah diberitahu bahwa ini adalah perbuatan syirik, tidak bermanfaat, kalau setelah tahu ini—setelah ilmu ini datang kepadanya—tapi dia terus melakukan dan meninggal dunia, maka dia tidak akan beruntung selama-lamanya.
Jadi, ucapan beliau fa innaka law mitta wa hiya ‘alaika maksudnya adalah dia dalam keadaan tahu, bukan dalam keadaan dia tidak tahu. Wallāhu ta’ala a‘lam.
الرَّابِعَةُ: أَنَّهَا لَا تَنْفَعُ فِي العَاجِلَةِ، بَلْ تَضُرُّ، لِقَوْلِهِ: «لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا
4. Perbuatan seperti ini tidak bermanfaat di dunia — ternyata dia tidak bermanfaat di dunia, jadi akhiratnya rusak, agamanya rusak, dan di dunia dia tidak akan mendapatkan sesuatu — bahkan dia memudharati. Menjadikan seseorang waswas, menjadikan seseorang banyak khayalan, banyak waswas, sedikit-sedikit dia takut, karena sebab dia tergantung dengan benda tadi. Karena sabda Nabi “Itu tidak menambah engkau kecuali lemah saja.” Jadi, sudah rugi di dunia dan rugi di akhirat tentunya.
الخَامِسَةُ: الإِنْكَارُ بِالتَّغْلِيظِ عَلَى مَنْ فَعَلَ مِثْلَ ذٰلِكَ
5. Pengingkaran dengan keras bagi orang yang melakukan demikian. Karena Nabi ﷺ sampai mengatakan mā aflahta abadan.
السَّادِسَةُ: التَّصْرِيحُ بِأَنَّ مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
6. Penjelasan bahwa orang yang bergantung kepada sesuatu akan dijadikan dia bertawakal kepada sesuatu tadi, akan dipasrahkan kepada sesuatu tadi. Sehingga kalau dia bergantung kepada sesuatu yang lemah, dia akan dipasrahkan kepada sesuatu yang lemah. Kalau dipasrahkan kepada sesuatu yang lemah, maka tidak akan menambahkan dia kecuali kelemahan saja.
السَّابِعَةُ: التَّصْرِيحُ بِأَنَّ مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
7. Penjelasan bahwa orang yang menggantungkan tamimah, sungguh dia telah melakukan kesyirikan.
الثَّامِنَةُ: أَنَّ تَعْلِيقَ الخَيْطِ مِنَ الحُمَّى مِنْ ذٰلِكَ
8. Menggantungkan benang karena sebab panas (demam) yang ingin dia sembuh darinya—ini juga termasuk bagian dari yang pertama, yaitu menggantungkan sesuatu.
التَّاسِعَةُ: تِلَاوَةُ حُذَيْفَةَ الآيَةَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ يَسْتَدِلُّونَ بِالآيَاتِ الَّتِي فِي الشِّرْكِ الأَكْبَرِ عَلَى الأَصْغَرِ، كَمَا ذَكَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي آيَةِ البَقَرَةِ
9. Hudzaifah ketika membaca Firman Allāh
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
dalil bahwasanya para sahabat dahulu berdalil dengan ayat-ayat tentang syirik yang besar untuk menunjukkan haramnya syirik yang kecil, sebagaimana ‘Abdullāh ibn ‘Abbās menyebutkan ketika beliau menafsirkan sebuah ayat yang ada dalam Surat al-Baqarah, yaitu Firman Allāh
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
ternyata ‘Abdullāh ibn ‘Abbās menafsirkan ini seperti orang yang bersumpah dengan selain nama Allāh, yang bersumpah dengan kehidupan, atau orang yang mengatakan masya Allāh wa syi’ta, atau mengatakan lau lāl-battu la kāna kadza wa kadza—menunjukkan bahwasanya ‘Abdullāh ibn ‘Abbās berdalil dengan ayat tentang syirik besar atas haramnya syirik kecil.
العَاشِرَةُ: أَنَّ تَعْلِيقَ الوَدَعِ مِنَ العَيْنِ مِنْ ذٰلِكَ
10. Menggantungkan al-wad‘a (sesuatu yang digantungkan untuk menolak mata jahat (al-‘ayn)) ini termasuk perkara yang dilarang, karena beliau mengatakan: Wa man ta‘allaqa wada‘atan fa lā wada‘allāhu lah, “Barang siapa yang menaruh wad‘ah, maka Allāh ﷻ tidak akan menjadikan dia tenang.”
الحَادِيَةُ عَشْرَةَ: الدُّعَاءُ عَلَى مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً أَنْ لَا يُتِمَّ اللهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدْعَةً فَلَا وَدَعَ اللهُ لَهُ، أَيْ: تَرَكَ اللهُ لَهُ
11. Doa yang jelek bagi orang yang menggantungkan tamimah, bahwa Allāh ﷻ tidak akan menyempurnakan urusannya. Dan barang siapa yang menggantungkan wad‘ah, maka Allāh ﷻ tidak akan meninggalkan untuknya, yaitu tidak akan mengabulkan tujuan dia ketika memakai barang tersebut—tujuannya adalah untuk supaya terhindar dari ‘ayn—maka Allāh ﷻ tidak akan mengabulkan tujuannya tadi, tidak akan sampai tujuannya.
Dan ini adalah doa yang jelek dari Nabi ﷺ bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut, yaitu menggantungkan tamīmah (jimat) atau menggantungkan wad‘ah yang tujuannya adalah untuk terhindar dari ‘ayn. Ini semua menunjukkan tentang diharamkannya perbuatan ini.
Alhamdulillāh, dengan demikian kita bisa menyelesaikan bab yang ketujuh ini. Semoga Allāh ﷻ menjadikan apa yang kita sampaikan ini berbarakah dan bisa dipahami.
Kesimpulan intinya yang bisa kita ambil dari bab ini: bahwa yang menggantungkan sesuatu, baik berupa logam maupun berupa benang atau yang semisalnya di badan kita dengan tujuan untuk menolak bala, menolak musibah, atau dengan tujuan untuk mengangkat musibah dari diri kita, ini termasuk syirik kecil.
Dan syirik kecil ini lebih besar daripada dosa-dosa besar. Karena itu, seseorang harus waspada dari perbuatan ini, dan semoga Allāh ﷻ menjaga kita dan juga kaum muslimin dari berbagai penyimpangan.
Wallāhu ta’ala a‘lam.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته



