قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿هَلۡ أَتَىٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ ١٥ إِذۡ نَادَىٰهُ رَبُّهُۥ بِٱلۡوَادِ ٱلۡمُقَدَّسِ طُوًى ١٦ ٱذۡهَبۡ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ ١٧ فَقُلۡ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ ١٨ وَأَهۡدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخۡشَىٰ ١٩ فَأَرَىٰهُ ٱلۡـَٔايَةَ ٱلۡكُبۡرَىٰ ٢٠ فَكَذَّبَ وَعَصَىٰ ٢١ ثُمَّ أَدۡبَرَ يَسۡعَىٰ ٢٢ فَحَشَرَ فَنَادَىٰ ٢٣ فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٢٤ فَأَخَذَهُ ٱللَّهُ نَكَالَ ٱلۡـَٔاخِرَةِ وَٱلۡأُولَىٰٓ ٢٥ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبۡرَةً لِّمَن يَخۡشَىٰٓ﴾ [النازعات: ١٥-٢٦].
Allah—‘azza wa jalla—berfirman:
- Sudah sampaikah kepadamu kisah Musa?
- Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci, yaitu Lembah Thuwa;
- Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas,
- dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?
- Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?”
- Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar.
- Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.
- Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa).
- Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya.
- (Seraya) berkata: “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.”
- Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.
- Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).
Ayat 15
ثم قال تعالى مبينًا ما جرى للأمم قبل محمد صلى الله عليه وآله وسلم، فقال الله تعالى: ﴿هَلۡ أَتَىٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ﴾، والخطاب في قوله: ﴿هَلۡ أَتَىٰكَ﴾ للنبي صلى الله عليه وآله وسلم، أو لكل من يتأتى خطابه ويصح توجيه الخطاب إليه، ويكون على المعنى الأول: (هل أتاك يا محمد)، وعلى المعنى الثاني: (هل أتاك أيها الإنسان)، ﴿حَدِيثُ مُوسَىٰٓ﴾ وهو ابن عمران عليه الصلاة والسلام أفضل أنبياء بني إسرائيل، وهو أحد أولي العزم الخمسة الذين هم: محمد ﷺ، وإبراهيم، وموسى، وعيسى، ونوح عليهم الصلاة والسلام، وقد ذكر هؤلاء الخمسة في القرآن في موضعين؛ أحدهما في الأحزاب في قوله تعالى: ﴿وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ مِيثَٰقَهُمۡ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَ﴾ [الأحزاب: ٧]، والثاني في قوله تعالى: ﴿شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَٱلَّذِىٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ﴾ [الشورى: ١٣].
Kemudian Allah taala berfirman menerangkan peristiwa yang dialami oleh umat-umat sebelum Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam—. Allah taala berfirman, “Sudahkah datang kepadamu cerita tentang Musa?”
Pembicaraan dalam firman Allah, “Sudahkah datang kepadamu?” Ditujukan kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam—atau kepada siapapun yang ditujukan pembicaraannya dan arah pembicaraan ini sah untuknya. Ayat tersebut sesuai makna pertama bermakna “sudahkah datang kepadamu wahai Muhammad?” Dan bila menurut makna kedua bermakna “sudahkah datang kepadamu wahai manusia?”
“Cerita Musa” beliau adalah putra ‘Imran—‘alaihish-shalatu was-salam—, nabi terbaik bani Israil. Musa adalah satu dari lima rasul ululazmi, yaitu: Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh—‘alahimush-shalatu was-salam—. Allah menyebut lima rasul ini dalam Al-Qur’an di dua tempat.
Pertama, dalam surah Al-Ahzab dalam firman Allah taala, “Ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan darimu, juga dari Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa bin Maryam.” (QS Al-Ahzab: 7).
Kedua, di dalam firman Allah taala, “Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa.” (QS Asy-Syura: 13).
وحديث موسى عليه الصلاة والسلام ذكر في القرآن أكثر من غيره؛ لأن موسى هو نبي اليهود وهم كثيرون في المدينة وحولها في عهد النبي ﷺ، فكانت قصص موسى أكثر ما قص علينا من نبأ الأنبياء وأشملها وأوسعها، وفي قوله: ﴿هَلۡ أَتَىٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ﴾ تشويق للسامع؛ ليستمع إلى ما جرى في هذه القصة.
Cerita tentang Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—disebutkan dalam Al-Qur’an lebih banyak daripada yang lain karena Musa adalah nabinya orang-orang Yahudi, sementara mereka banyak di Madinah dan sekitarnya di masa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—.
Kisah Musa merupakan kisah nabi yang paling sering, paling lengkap, dan paling luas diceritakan kepada kita (dalam Al-Qur’an). Dalam firman Allah, “Sudahkah datang kepadamu cerita tentang Musa?” untuk menarik perhatian pendengar supaya dia menyimak jalan ceritanya.
Ayat 16
﴿إِذۡ نَادَىٰهُ رَبُّهُۥ بِٱلۡوَادِ ٱلۡمُقَدَّسِ طُوًى﴾ ناداه الله عز وجل نداءً سمعه بصوت الله عز وجل، قال تعالى: ﴿وَنَٰدَيۡنَٰهُ مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلۡأَيۡمَنِ وَقَرَّبۡنَٰهُ نَجِيًّا﴾ [مريم: ٥٢]. وقوله: ﴿بِٱلۡوَادِ ٱلۡمُقَدَّسِ﴾ هو الطور، والوادي هو مجرى الماء، وسماه الله مقدسًا لأنه كان فيه الوحي إلى موسى عليه الصلاة والسلام، وقوله: ﴿طُوًى﴾ اسم للوادي.
Ketika Rabnya memanggil Musa di lembah suci Thuwa. Allah—‘azza wa jalla—memanggil Musa dengan panggilan dengan suara Allah—‘azza wa jalla—yang didengar oleh Musa. Allah taala berfirman, “Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (QS Maryam: 52).
Firman Allah, “di lembah suci” adalah Ath-Thur. Lembah adalah tempat mengalirnya air. Allah menamakannya suci karena di situlah wahyu kepada Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—. Dan firman Allah, “Thuwa”, adalah nama lembah itu.
Ayat 17
﴿ٱذۡهَبۡ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ﴾ فرعون كان ملك مصر، وكان يقول لقومه: إنه ربهم الأعلى، وأنه لا إله غيره، كما قال الله تعالى: ﴿وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَأُ مَا عَلِمۡتُ لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرِى﴾ [القصص: ٣٨]، فادعى ما ليس له، وأنكر حق غيره وهو الله عز وجل، وأمر الله نبيه موسى عليه الصلاة والسلام أن يذهب إلى فرعون، وهذه هي الرسالة، وبين سبب ذلك وهو طغيان هذا الرجل -أعني: فرعون- وفي سورة طه قال: ﴿ٱذۡهَبَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ﴾ [طه: ٤٣].
“Pergilah kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia melampaui batas.” Fir’aun adalah raja Mesir dahulu. Dia berkata kepada kaumnya bahwa dia adalah tuhan mereka yang tertinggi dan bahwasanya tidak ada tuhan selain dia, sebagaimana Allah taala berfirman, “Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui ada tuhan bagi kalian selainku.”
Fir’aun mengaku-ngaku sesuatu yang bukan haknya dan dia mengingkari hak selain dia, yaitu Allah—‘azza wa jalla—. Allah memerintahkan nabi-Nya Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—untuk pergi kepada Fir’aun dan ini adalah pengutusan kerasulan.
Allah menerangkan sebab pengutusan itu yaitu pelampauan batas lelaki ini, yakni Fir’aun. Dalam surah Taha, Allah berfirman, “Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (QS Taha: 43).
ولا منافاة بين الايتين؛ وذلك أن الله تعالى أرسل موسى أولًا، ثم طلب موسى ﷺ من ربه أن يشد أزره بأخيه هارون، فأرسل هارون عليه الصلاة والسلام مع موسى؛ فصار موسى وهارون كلاهما مرسل إلى فرعون.
Tidak ada pertentangan di antara dua ayat ini karena pertama kalinya Allah taala mengutus Musa, kemudian Musa—shallallahu ‘alaihi wa sallam—meminta Rabnya agar meneguhkan kekuatannya dengan saudaranya, yaitu Harun.
Lalu Allah mengutus Harun—‘alaihish-shalatu was-salam—bersama Musa, maka jadilah Musa dan Harun dua-duanya diutus kepada Fir’aun.
وقوله تعالى: ﴿إِنَّهُۥ طَغَىٰ﴾؛ أي: زاد على حده؛ لأن الطغيان هو الزيادة، ومنه قوله تعالى: ﴿إِنَّا لَمَّا طَغَا ٱلۡمَآءُ حَمَلۡنَٰكُمۡ فِى ٱلۡجَارِيَةِ﴾ [الحاقة: ١١]، ومنه الطاغوت؛ لأن فيه مجاوزة الحد.
Firman Allah taala, “innahu ṭagā” artinya Fir’aun melebihi batas karena ṭugyān artinya melebihi. Termasuk dalam pengertian ini adalah firman Allah taala, “Sesungguhnya tatkala air melebihi batasnya, Kami angkut kalian dalam perahu.” (QS Al-Haqqah: 11).
Yang termasuk makna ini pula adalah kata “aṭ-ṭagūt” karena bermakna melampaui batas.
Ayat 18
﴿فَقُلۡ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ﴾ الاستفهام هنا للتشويق، تشويق فرعون أن يتزكى مما هو عليه من الشر والفساد، وأصل الزكاة النمو والزيادة، وتطلق بمعنى الإسلام والتوحيد، ومنه قوله تعالى: ﴿وَوَيۡلٌ لِّلۡمُشۡرِكِينَ ٦ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُم بِٱلۡـَٔاخِرَةِ هُمۡ كَٰفِرُونَ﴾ [فصلت: ٦-٧]، ومنه قوله تعالى: ﴿قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا﴾ [الشمس: ٩-١٠].
“Lalu katakanlah: Apakah kamu ingin untuk membersihkan diri?” Pertanyaan di sini adalah untuk tasywiq, yaitu untuk menggugah Fir’aun agar membersihkan diri dari kejahatan dan kerusakan yang dilakukannya.
Akar kata zakat adalah pertumbuhan dan peningkatan. Kata zakat jika disebutkan secara mutlak, bermakna Islam dan tauhid.
Yang termasuk pengertian ini adalah firman Allah taala, “Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang musyrik, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS Fussilat: 6-7).
Yang termasuk pengertian ini pula adalah firman Allah taala, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams: 9-10).
Ayat 19
﴿وَأَهۡدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخۡشَىٰ﴾ أي: أدلك إلى ربك، أي: إلى دين الله عز وجل الموصل إلى الله. ﴿فَتَخۡشَىٰ﴾؛ أي: فتخاف الله عز وجل على علم منك؛ لأن الخشية هي الخوف المقرون بالعلم، فإن لم يكن علم فهو خوف مجرد، وهذا هو الفرق بين الخشية والخوف. الفرق بينهما أن الخشية عن علم قال الله تعالى: ﴿إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُا۟﴾ [فاطر: ٢٨]، وأما الخوف فهو مجرد ذعر يحصل للإنسان ولو بلا علم؛ ولهذا قد يخاف الإنسان من شيء يتوهمه، لا حقيقة له، قد يرى في الليلة الظلماء شبحًا لا حقيقة له فيخاف منه، فهذا ذعر مبني على وهم، لكن الخشية تكون عن علم.
“Wa ahdiyaka ilā rabbika” artinya aku tunjukkan engkau kepada Rabmu, yaitu agama Allah—‘azza wa jalla—yang akan menyampaikan kepada Allah. “Fatakhsyā” artinya lalu engkau takut kepada Allah—‘azza wa jalla—di atas dasar ilmu darimu, karena khasyyah adalah takut yang beriringan dengan ilmu. Jika tidak ada ilmu, maka itu hanya disebut khauf (takut). Inilah perbedaan antara khasyyah dan khauf.
Perbedaan antara keduanya adalah khasyyah muncul dari ilmu. Allah taala berfirman, “Yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS Fathir: 28).
Adapun khauf adalah kepanikan murni yang terjadi pada seseorang, walau tanpa ilmu. Oleh karenanya, seseorang mungkin takut dari sesuatu yang ia bayangkan yang tidak nyata. Ia mungkin melihat hantu yang tidak nyata di kegelapan malam lalu ia menjadi takut padanya. Ini adalah kepanikan yang didasarkan pada bayangan dalam pikiran. Adapun khasyyah muncul dari ilmu.
فذهب موسى عليه الصلاة والسلام وقال لفرعون ما أمره الله به: ﴿هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ ١٨ وَأَهۡدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخۡشَىٰ﴾، ولما كان البشر لا يؤمنون ولا يقبلون دعوى شخص أنه رسول إلا بآية، كما أنه لا يقبل من أحد دعوى إلا ببينة؛ جعل الله سبحانه وتعالى مع كل رسول آية تدل على صدقه،
Maka pergilah Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—dan mengatakan kepada Firaun ucapan yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, “Apakah engkau ingin membersihkan diri dan aku tunjukkan engkau kepada Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya?” Karena manusia tidak mau beriman atau menerima pengakuan seseorang bahwa ia seorang rasul kecuali dengan bukti, sebagaimana dia tidak menerima klaim dari seseorang kecuali dengan bukti yang nyata, maka Allah—subhanahu wa ta’ala—telah menjadikan ayat/tanda pada setiap rasul yang menunjukkan kebenarannya.
Ayat 20 – 21
وهنا قال: ﴿فَأَرَىٰهُ ٱلۡـَٔايَةَ ٱلۡكُبۡرَىٰ﴾؛ يعني: أرى موسى فرعون الآية الكبرى؛ أي: العُظمى، فما هي هذه الآية؟ الآية أن معه عصًا من خشب من فروع الشجر كما هو معروف، فكان إذا وضعها في الۡأرض صارت حية تسعى، ثم يحملها فتعود عصا، وهذا من آيات الله أن شيئًا جمادًا إذا وضع على الأرض صار حية تسعى، وإذا حمل من الأرض عاد في الحال فورًا إلى حاله الأولى عصا من جملة العصي، وإنما بعثه عليه السلام بهذه الآية، وبكونه يدخل يده في جيبه فتخرج بيضاء من غير سوء؛ أي: من غير عيب، أي: بيضاء بياضًا ليس بياض البرص، ولكنه بياض جعله الله آية، إنما بعثه الله بالعصا واليد؛ لأنه في زمن موسى كان السحر منتشرًا شائعًا، فأرسله الله عز وجل بشيء يغلب السحرة الذين تصدوا لموسى عليه الصلاة والسلام.
Di sini Allah berfirman, “Lalu ia menunjukkan kepadanya tanda yang paling besar” yang berarti Musa menunjukkan kepada Firaun tanda yang paling besar. Jadi, apa tanda ini? Tandanya adalah ia memiliki tongkat kayu yang terbuat dari ranting pohon, seperti yang sudah diketahui. Jika ia menaruhnya di tanah, tongkat itu akan berubah menjadi ular yang bergerak-gerak. Kemudian jika ia mengambilnya, ular itu akan kembali menjadi tongkat.
Ini adalah salah satu tanda Allah, bahwa jika benda mati diletakkan di tanah, ia akan berubah menjadi ular yang bergerak, dan jika diangkat dari tanah, ia akan segera kembali ke keadaan semula, menjadi sebatang kayu seperti kayu pada umumnya. Dan Allah mengutus Musa—‘alaihis-salam—dengan tanda ini.
Juga dengan tanda bahwa beliau memasukkan tangannya ke dalam sakunya, lalu tangannya keluar putih bersih, tanpa ada keburukan, artinya, tanpa cacat. Yakni putih, bukan putihnya kusta, melainkan putih yang dijadikan tanda oleh Allah.
Allah mengutus beliau dengan ayat/tanda tongkat dan tangan karena sihir tersebar luas dan lazim pada zaman Musa, maka Allah—‘azza wa jalla—mengutus beliau dengan sesuatu yang akan mengalahkan para penyihir yang melawan Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—.
قال أهل العلم: وفي عهد عيسى صلى الله عليه وعلى آله وسلم انتشر الطب انتشارًا عظيمًا، فجاء عيسى بأمر يعجز الأطباء، وهو أنه كان لا يمسح ذا عاهة إلا برأ، إذا جيء إليه بشخص فيه عاهة -أي عاهة تكون- مسحه بيده ثم برأ بإذن الله، ﴿وَأُبۡرِئُ ٱلۡأَكۡمَهَ وَٱلۡأَبۡرَصَ﴾ [آل عمران: ٤٩]، مع أن البرص لا دواء له، لكن هو يبرئ الۡأبرص بإذن الله عز وجل، ويبرئ الۡأكمه الذي خلق بلا عيون، وأشد من هذا وأعظم أنه يحيي الموتى بإذن الله، يؤتى إليه بالميت فيتكلم معه، ثم تعود إليه الحياة، وأشد من ذلك وأبلغ أنه يخرج الموتى بإذن الله من قبورهم، يقف على القبر وينادي صاحب القبر فيخرج من القبر حيًّا، وهذا شيء لا يمكن لأي طب أن يبلغه؛ ولهذا كانت آية عيسى في هذا الوقت مناسبة تمامًا لما كان عليه الناس.
Para ulama berkata: Pada masa Nabi ‘Isa—shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam—ilmu pengobatan tersebar luas. Nabi ‘Isa membawa cara pengobatan yang tidak mampu dilakukan oleh para dokter, yaitu bahwa beliau tidak akan menyentuh orang yang cacat kecuali orang tersebut akan sembuh. Jika seseorang yang cacat dibawa kepada beliau, beliau akan menyentuhnya dengan tangannya dan kemudian orang tersebut akan sembuh dengan izin Allah.
“Aku menyembuhkan orang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak” (QS Ali ‘Imran: 49), meskipun penyakit sopak tidak ada obatnya, namun beliau bisa menyembuhkan orang yang berpenyakit sopak dengan izin Allah—‘azza wa jalla—dan beliau menyembuhkan orang buta yang lahir tanpa mata.
Yang lebih dahsyat dan lebih agung dari itu adalah beliau menghidupkan kembali orang mati dengan izin Allah. Orang mati itu dibawa kepadanya, lalu beliau berbicara kepadanya, lalu kehidupan kembali kepadanya.
Yang lebih dahsyat dan lebih agung dari itu adalah beliau mengeluarkan orang mati dari kuburnya dengan izin Allah. Beliau berdiri di dekat kubur dan memanggil penghuni kubur, lalu ia keluar dari kubur dalam keadaan hidup.
Ini adalah sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh pengobatan apa pun. Oleh karenanya, mukjizat ‘Isa saat itu sangat sesuai dengan keadaan orang-orang saat itu.
قال أهل العلم: أما رسول الله محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم فقد أتى إلى العرب وهم يتفاخرون في الفصاحة، ويرون أن الفصاحة أعظم منقبة للإنسان، فجاء محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم بهذا القرآن العظيم الذي أعجز أمراء الفصاحة، وعجزوا عن أن يأتوا بمثله، قال الله تعالى: ﴿قُل لَّئِنِ ٱجۡتَمَعَتِ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأۡتُوا۟ بِمِثۡلِ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ لَا يَأۡتُونَ بِمِثۡلِهِۦ وَلَوۡ كَانَ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ ظَهِيرًا﴾ [الإسراء: ٨٨]، يعني: لو كان بعضهم يعاون بعضًا فإنهم لن يأتوا بمثله، حينئذ نقول: إن موسى عليه الصلاة والسلام أرى فرعون الآية الكبرى، ولكن لم ينتفع بالآيات ﴿وَمَا تُغۡنِى ٱلۡـَٔايَٰتُ وَٱلنُّذُرُ عَن قَوۡمٍ لَّا يُؤۡمِنُونَ﴾ [يونس: ١٠١]، ﴿إِنَّمَا تُنذِرُ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلذِّكۡرَ وَخَشِىَ ٱلرَّحۡمَٰنَ بِٱلۡغَيۡبِ﴾ [يس: ١١]، فالذين ليس في قلوبهم استعداد للهداية لا يهتدون ولو جاءتهم كل آية -والعياذ بالله- ولهذا قال: ﴿فَكَذَّبَ وَعَصَىٰ﴾ كذب الخبر، وعصى الۡأمر، يعني: قال لموسى: إنك لست رسولًا. بل قال: ﴿إِنَّ رَسُولَكُمُ ٱلَّذِىٓ أُرۡسِلَ إِلَيۡكُمۡ لَمَجۡنُونٌ﴾ [الشعراء: ٢٧]، وعصى الأمر، فلم يمتثل أمر موسى ولم ينقد لشرعه.
Para ulama berkata: Adapun Rasulullah, Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam—datang kepada orang-orang Arab ketika mereka sedang membanggakan kefasihan mereka. Mereka memandang bahwa kefasihan adalah prestasi yang paling mulia bagi manusia. Maka Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam—datang dengan Al-Qur’an agung ini yang membuat para sastrawan tidak berdaya dan mereka tidak mampu menghasilkan sesuatu yang serupa dengannya.
Allah taala berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, meskipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS Al-Isra: 88) Maksudnya, kalaupun mereka saling tolong-menolong, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan itu.
Kemudian kami katakan bahwa Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—menunjukkan kepada Fir’aun tanda terbesar, tetapi dia tidak mengambil manfaat dari tanda-tanda itu. “Dan tidaklah tanda-tanda dan peringatan-peringatan itu berguna bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Yunus: 101).
“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya.” (QS Yasin: 11).
Jadi mereka yang hatinya tidak siap untuk menerima petunjuk tidak akan mendapat petunjuk bahkan jika seluruh tanda datang kepada mereka. Kita berlindung kepada Allah. Oleh karenanya, Allah berfirman, “Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.” Fir’aun mendustakan berita dan mendurhakai perintah. Yaitu Fir’aun berkata kepada Musa, “Kamu bukan rasul.” Bahkan dia berkata, “Sesungguhnya, rasul yang telah diutus kepada kalian itu gila.” (QS Asy-Syu’ara`: 27).
Fir’aun mendurhakai perintah tersebut, tidak melaksanakan perintah Musa dan tidak tunduk pada syariat yang dibawa oleh beliau.
Ayat 22
﴿ثُمَّ أَدۡبَرَ يَسۡعَىٰ﴾؛ أي: تولى مدبرًا يسعى حثيثًا.
“Lalu ia berpaling seraya berusaha menantang Musa” artinya Fir’aun berpaling seraya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menentang Musa.
Ayat 23
﴿فَحَشَرَ فَنَادَىٰ﴾ حشر الناس؛ أي: جمعهم ونادى فيهم بصوت مرتفع؛ ليكون ذلك أبلغ في نهيهم عما يريد منهم موسى عليه الصلاة والسلام.
“Fir’aun mengumpulkan lalu berseru memanggil kaumnya” ia mengumpulkan orang-orang, yakni menghimpun mereka dan berseru kepada mereka dengan suara lantang, agar lebih jitu dalam melarang mereka dari mengikuti yang diinginkan Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—dari mereka.
Ayat 24
﴿فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ﴾ يعني: لا أحد فوقي؛ لأن ﴿ٱلۡأَعۡلَىٰ﴾ اسم تفضيل من العلو، فانظر كيف استكبر هذا الرجل وادعى لنفسه ما ليس له في قوله: ﴿أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ﴾، وكان يفتخر بالأنهار والُملك الواسع، يقول لقومه في ما قال لهم: ﴿يَٰقَوۡمِ أَلَيۡسَ لِى مُلۡكُ مِصۡرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ تَجۡرِى مِن تَحۡتِىٓ ۖ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ ٥١ أَمۡ أَنَا۠ خَيۡرٌ مِّنۡ هَٰذَا ٱلَّذِى هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ﴾ [الزخرف: ٥١-٥٢]، فما الذي حصل؟ أغرقه الله عز وجل بالماء الذي كان يفتخر به، وأورث الله ملك مصر بني إسرائيل الذين كان يستضعفهم.
“Lalu Fir’aun berkata: Akulah Tuhanmu yang tertinggi” artinya tidak ada satu pun di atasku, karena kata “al-a‘lā (yang tertinggi)” adalah isim tafdhil (bentuk superlatif) dari kata “al-‘uluw (tinggi)”. Perhatikan bagaimana sombongnya orang ini dan bagaimana dia mengklaim untuk dirinya sendiri sifat yang tidak ia miliki dalam pernyataannya, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.”
Fir’aun membanggakan sungai-sungai dan kerajaan yang luas. Dia berkata kepada kaumnya dengan ucapan, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan sungai-sungai ini mengalir di bawahku? Maka tidakkah kalian perhatikan? Bukankah aku juga lebih baik dari orang yang hina ini dan hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?” (QS Az-Zukhruf: 51-52).
Lalu apa yang terjadi? Allah—‘azza wa jalla—menenggelamkan Fir’aun di dalam air sungai yang begitu ia banggakan dan Allah mewariskan kerajaan Mesir kepada bani Israil, yang dulunya ditindas oleh Fir’aun.
Ayat 25
﴿فَأَخَذَهُ ٱللَّهُ نَكَالَ ٱلۡـَٔاخِرَةِ وَٱلۡأُولَىٰٓ﴾ أخذه الله تعالى أخذ عزيز مقتدر، ﴿نَكَالَ ٱلۡـَٔاخِرَةِ وَٱلۡأُولَىٰٓ﴾، يعني: أنه نكّل به في الآخرة وفي الأولى، فكان عبرة في زمنه، وعبرة فيما بعد زمنه إلى يوم القيامة، كل من قرأ كتاب الله وما صنع الله بفرعون فإنه يتخذ ذلك عبرة يعتبر به، وكيف أهلكه الله مع هذا الملك العظيم وهذا الجبروت وهذا الطغيان؟! فصار أهون على الله تعالى من كل هين.
“Maka Allah mengazab Fir’aun dengan azab di akhirat dan di dunia” Allah taala mengazab sebagai azab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa.
“Azab di akhirat dan di dunia” berarti bahwa Dia mengazabnya di akhirat dan dunia, sehingga menjadi pelajaran pada zamannya dan pelajaran untuk zaman setelah zamannya hingga hari kiamat. Setiap orang yang membaca kitab Allah dan perlakuan Allah terhadap Fir’aun, maka dia akan mengambilnya sebagai pelajaran. Serta pelajaran bagaimana Allah membinasakan Fir’aun bersama kerajaannya yang besar, kesombongannya, dan kezalimannya, sehingga ia menjadi lebih hina bagi Allah taala daripada segala sesuatu yang hina.
Ayat 26
﴿إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبۡرَةً لِّمَن يَخۡشَىٰٓ﴾ ﴿إِنَّ فِى ذَٰلِكَ﴾؛ أي: فيما جرى من إرسال موسى إلى فرعون ومحاورته إياه واستهتار فرعون به واستكباره عن الانقياد له؛ عبرة، ﴿لِّمَن يَخۡشَىٰٓ﴾؛ أي: يخشى الله عز وجل، فمن كان عنده خشية من الله وتدبر ما حصل لموسى مع فرعون والنتيجة التي كانت لهذا ولهذا فإنه يعتبر ويأخذ من ذلك عبرة، فيسلك سَبِيل المُرسَلِين ويتَجنَّب طرق الكافرين.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut (kepada Tuhannya).” “Sesungguhnya pada yang demikian”, maksudnya adalah peristiwa diutusnya Nabi Musa kepada Fir’aun, dialognya dengan Nabi Musa, dan tantangan Fir’aun terhadap Nabi Musa, dan kesombongannya karena tidak mau tunduk kepada Nabi Musa.
Pelajaran “bagi orang yang takut” artinya, orang yang takut kepada Allah—‘azza wa jalla—. Maka, barangsiapa yang takut kepada Allah dan merenungkan apa yang terjadi pada Musa dengan Fir’aun dan akibat dari ini dan itu, maka ia akan bisa mengambil pelajaran darinya, lalu ia akan menempuh jalan para rasul serta menjauhi jalan-jalan orang-orang kafir.
والعبر في قصة موسى كثيرة، ولو أن أحدًا انتدب لجمع القصة من الايات في كل سورة، ثم يستنتج ما حصل في هذه القصة من العبر لكان جيدًا، وذلك بأن يأتي بالقصة كلها في كل الايات؛ لأن السور في بعضها شيء ليس في البعض الآخر، فإذا جمعها وقال مثلًا: يؤخذ من هذه القصة العظيمة العبر التالية. ثم يسردها، كيف أرسله الله عز وجل إلى فرعون؟ كيف قال لهما ﴿فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلًا لَّيِّنًا﴾ [طه: ٤٤]، مع أنه مستكبر خبيث؟ وكيف كانت النتيجة؟ وكيف كان موسى عليه والسلام خرج من مصر خائفًا على نفسه يترقب كما خرج الرسول عليه الصلاة والسلام من مكة يترقب، وصارت العاقبة للرسول عليه الصلاة والسلام ولموسى عليه الصلاة والسلام، لكن العاقبة للرسول ﷺ بفعله وأصحابه، عذب الله أعداءهم بأيديهم، وعاقبة موسى بفعل الله عز وجل، فهي عبر يعتبر بها الإنسان، يصلح بها نفسه وقلبه حتى يتبين الأمر.
Ada banyak pelajaran dalam kisah Musa. Jika seseorang berinisiatif untuk mengumpulkan kisah dari ayat-ayat di setiap surah dan kemudian menyimpulkan pelajaran yang terjadi dalam kisah ini, itu akan baik. Caranya dengan menyebutkan keseluruhan kisah dalam semua ayat, karena sebagian surah mengandung sesuatu yang tidak dimiliki surah lainnya. Maka, jika ia mengumpulkannya dan mengatakan, misalnya, pelajaran berikut dapat dipetik dari kisah agung ini. Kemudian ia menyebutkannya: Bagaimana Allah—‘azza wa jalla—mengutus Musa kepada Fir’aun? Bagaimana Allah berkata kepada mereka berdua, “Dan bicaralah kalian berdua kepadanya dengan tutur kata yang lemah lembut.” (QS Taha: 44). Padahal Fir’aun sombong dan jelek? Lalu apa akibatnya?
Bagaimana Nabi Musa—‘alaihis-salam—meninggalkan Mesir dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir terhadap dirinya, sebagaimana Nabi Muhammad—‘alaihish-shalatu was-salam—meninggalkan Makkah dengan menunggu-nunggu. Kesudahan yang baik bagi Nabi Muhammad—‘alaihish-shalatu was-salam— dan untuk Nabi Musa—‘alaihish-shalatu was-salam—. Tetapi kesudahan yang baik untuk Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—terwujud melalui perbuatannya dan para sahabatnya. Allah mengazab musuh-musuh mereka melalui tangan mereka. Sedangkan kesudahan yang baik bagi Nabi Musa adalah karena perbuatan Allah—‘azza wa jalla—. Itu semua adalah pelajaran bagi manusia untuk memperbaiki diri dan hatinya hingga perkaranya menjadi jelas.
Sumber: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, surah An-Nazi’at, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin (wafat 1421 H) rahimahullah


