Kitab: Kitabut Tauhid
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-47 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Kitābut-Tauḥīd alladzhī huwa ḥaqqullāhi ʿalal ʿabīd yang ditulis oleh Al-Imām al-Mujaddid Muḥammad ibn ʿAbdil Wahhāb ibn Sulaimān At-Tamīmī raḥimahullāh.
Beliau mengatakan rahimahullah:
بَابُ مَنْ تَبَرَّكَ بِشَجَرٍ أَوْ حَجَرٍ وَنَحْوِهِمَا
Bab orang yang bertabarruk dengan pohon atau batu atau yang semisalnya.
Man tabarraka—orang yang mencari barakah, karena tabarraka artinya adalah thalabul barakah, mencari barakah. Orang yang mencari barakah dengan pohon atau dengan batu dan yang semisalnya, ini ada dua makna.
Makna yang pertama: dia mencari berkah dari pohon tersebut atau dari batu tersebut, yaitu meyakini bahwasanya yang memberkahi, yang mengeluarkan barakah, yang menjadikan sesuatu itu banyak kebaikannya dan langgeng kebaikannya adalah pohon atau batu tersebut.
Ada pun yang kedua, maknanya adalah orang yang ingin mencari berkah dari Allāh. Ingin mencari kebaikan dari Allāh. Akan tetapi dengan mendatangi pohon atau batu atau yang semisalnya, kemudian mencari berkah dengan cara mengusapnya, atau dengan meletakkan benda di situ misalnya, meletakkan uang atau meletakkan senjata.
Dengan tujuan supaya uang tadi menjadi uang yang berbarakah, senjata tadi menjadi senjata yang berbarakah. Siapa yang dia minta berkahnya? Allāh. Tapi dengan cara mengusap-usap pohon atau mengusap-usap batu, atau meletakkan sesuatu di pohon atau batu tersebut.
Nah, orang yang semacam ini tidak sampai kepada syirik yang besar, tetapi dia telah melakukan syirik yang kecil, yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Karena dia meyakini sesuatu yang bukan sebab itu sebagai sebab.
Dari mana dia meyakini bahwasannya pohon dan juga batu, dengan kita mengusapnya atau dengan kita meletakkan sesuatu di sana, kita akan mendapatkan berkah dari Allāh? Ini termasuk berkata atas nama Allāh tanpa ilmu.
Sekali lagi, yang berhak untuk memberkahi itu adalah Allāh. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan dan mendengar apa yang Allāh kabarkan. Kalau Allāh mengabarkan bahwa sesuatu itu berbarakah dan cara mendapatkan berkah-Nya adalah demikian, silakan. Tetapi kalau Allāh ﷻ, Dia-lah yang memiliki barakah, dan Dia tidak menjadikan perbuatan tersebut sebagai sebab untuk mendapatkan berkah-Nya, maka jangan kita berkata atas nama Allāh tanpa ilmu.
Kemudian menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab, karena ini termasuk syirik yang kecil. Sekali lagi, syirik yang kecil ini tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam, namun dia adalah dosa yang berbahaya, lebih berbahaya daripada dosa-dosa besar. Tidak boleh seseorang meremehkan masalah syirik kecil ini.
Kemudian yang perlu kita ketahui bahwasannya barakah ini ada dua. Ada barakah yang sifatnya ma‘nawiyah, dan ada barakah yang sifatnya dzātiyah. Barakah yang sifatnya ma‘nawiyah maka dia tidak bisa berpindah, seperti berkahnya para ulama, atau berkahnya Ka‘bah, atau berkahnya bulan Ramadhan.
Bagaimana cara kita mendapatkan keberkahan makhluk-makhluk tadi? Kalau itu adalah seorang ulama, maka keberkahan yang dia miliki adalah keberkahan yang ma‘nawiyah. Kita mendapatkan keberkahannya karena dia adalah seorang ulama, yaitu dengan mengikuti beliau, meneladani beliau dalam kebaikan.
Berarti di sini kita telah mencari berkah Allāh, berkah dari Allāh ﷻ dengan para ulama tadi, maksudnya dengan cara meneladani para ulama tersebut sehingga kita menjadi orang yang istiqamah, yang lurus iman dan amalnya. Inilah cara kita bertabaruk dengan para ulama, karena berkah yang ada pada mereka adalah berkah yang ma‘nawiyah.
Demikian pula keberkahan bulan Ramadhan. Bagaimana kita mendapatkannya? Caranya adalah dengan mengisi bulan Ramadhan dengan amal shalih dan ikhlas sesuai sunnah. Maka kita akan mendapatkan keberkahan Ramadhan.
Bagaimana kita mendapatkan keberkahan Ka‘bah? Caranya adalah dengan melakukan ibadah di sekitar Ka‘bah. Ini namanya keberkahan yang ma‘nawiyah, dan keberkahan seperti ini tidak berpindah. Oleh karena itu salah, seseorang yang bertabaruk dengan cara mengusap Ka‘bah, atau mencari pasir yang ada di kota Makkah, misalnya di kota Madinah, karena itu adalah kota yang berbarakah, karena keberkahan yang dimiliki adalah keberkahan yang ma‘nawi.
Kemudian yang kedua adalah keberkahan yang hissi, yang terlihat. Dan keberkahan di sini adalah keberkahan yang bisa berpindah, dan ini adalah keberkahan yang Allāh ﷻ khususkan untuk para Nabi dan juga para Rasul. Sehingga dahulu para sahabat radhiyallāhu ‘anhum disebutkan bahwa dulu mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan bekas wudhu Nabi Muhammad ﷺ. Ada di antara mereka bahkan yang bertabaruk dengan rambut Rasul ﷺ. Ada yang bertabaruk bahkan dengan ludah beliau.
Ada pula yang bertabaruk dengan baju beliau ﷺ. Ini menunjukkan bahwasannya bertabaruk seperti ini bisa berpindah. Dan dahulu para sahabat radhiyallāhu ‘anhum bertabaruk dengan Nabi ﷺ dengan bekas wudhu beliau, ludah beliau, dan rambut beliau.
Dan kita katakan bahwasannya ini adalah khusus untuk para Nabi dan para Rasul. Di antaranya adalah Nabi Muhammad ﷺ. Ada pun yang lain, maka tidak ada di sana berkah yang dzātiyah.
Bagaimanapun kedudukan seseorang, maka dia tidak mendapatkan berkah dzātiyah. Ini hanya dimiliki oleh para Nabi dan juga para Rasul. Di antara yang menunjukkan demikian: Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu adalah sebaik-baik umat. Umar ibn Khattab radhiyallāhu ‘anhu sebaik-baik umat Islam setelah Abu Bakar as-Shiddiq.
Meskipun keduanya adalah manusia yang terbaik setelah para Nabi dan Rasul, tidak ada di antara sahabat atau para tabi‘in yang bertabaruk dengan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Khattab; baik dengan bekas wudhu beliau, ludah beliau, atau rambut beliau. Tidak ada di antara sahabat yang bertabaruk dengan keduanya sebagaimana mereka dahulu bertabaruk dengan Rasulullah ﷺ.
Tidak ada di antara mereka yang bertabaruk dengan jasad Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Khattab, atau dengan bekas air minum mereka atau bekas wudhu mereka, sebagaimana mereka dahulu bertabaruk dengan Rasulullah ﷺ.
Ini menunjukkan kepada kita bahwasannya tabaruk jenis ini adalah tabaruk yang khusus untuk para Nabi dan Rasul. Di antaranya adalah Rasulullah ﷺ.
Maka jangan kita menjadikan sesuatu dianggap bahwa berkahnya akan mengalir atau berpindah kepada kita. Yang bisa berpindah hanyalah jenis barakah yang Allāh berikan kepada para Nabi dan para Rasul ‘alaihimus salam.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


