Gambaran Kecintaan Para Sahabat kepada Nabi ﷺ dan Peringatan terhadap Perayaan Maulid Nabi – إسماعيل بن عيسى

Merupakan kebahagiaan bagi seorang hamba, Allah menganugerahinya kecintaan kepada Nabi ﷺ. Sesungguhnya, mencintai beliau shalawatullahi wa salamuhu ‘alaih merupakan prinsip pokok agama. Tidak ada iman bagi orang yang tidak menjadikan Nabi ﷺ lebih dicintainya daripada anak-anaknya sendiri, orang tuanya, dan seluruh umat manusia. Allah taala berfirman,

قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأۡتِىَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ

Katakanlah, “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kerabat kalian, harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah yang kalian senangi, lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan jihad di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.

QS At-Taubah 9:24

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda,

لَا يُؤۡمِنُ أَحَدُكُمۡ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيۡهِ مِنۡ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجۡمَعِينَ

“Tidaklah beriman seorang pun di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, putranya, dan seluruh manusia.”

HR Al-Bukhari nomor 15

Ibnu Taimiyah berkata, “Keteguhan sikap pujian dan sanjungan kepada beliau ﷺ, serta penghormatan dan pemuliaan kepada beliau merupakan tegaknya agama secara keseluruhan. Sebaliknya, ketiadaan sikap tersebut berarti keruntuhan agama secara keseluruhan.”

Para sahabat menunjukkan kecintaan mereka yang mendalam kepada Rasulullah ﷺ melalui perkataan dan perbuatan mereka. Misalnya, dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam duduk di mimbar dan bersabda, “Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah antara diberi apa yang diinginkannya dari keindahan dunia ini dan apa yang ada di sisi-Nya. Hamba itu memilih apa yang ada di sisi-Nya.”

Abu Bakr menangis dan berkata, “Kami akan mengorbankan ayah dan ibu kami untukmu!”

Kami heran melihat reaksinya… Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam adalah hamba yang diberi pilihan tersebut dan Abu Bakr adalah orang yang paling mengerti di antara kami akan hal itu.

HR Al-Bukhari nomor 466, 3654, 3904; Muslim nomor 2382

Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan:

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan bertanya, “Kapan hari kiamat akan tiba?”

Beliau menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari kiamat?

Laki-laki itu menjawab, “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Nabi bersabda, “Engkau akan bersama orang-orang yang engkau cintai.”

Anas berkata, “Kami tidak pernah lebih bahagia setelah memeluk Islam daripada ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam  bersabda, ‘Engkau akan bersama orang-orang yang engkau cintai.’”

Anas menambahkan, “Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakr, dan ‘Umar, dan aku berharap untuk bersama mereka meskipun aku tidak melakukan amalan seperti mereka.”

‘Amr bin Al-‘Ash berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan tidak pula lebih aku hormati di mataku. Aku tidak sanggup menatapnya langsung karena rasa hormat kepadanya. Jika aku diminta untuk menggambarkannya, aku akan tidak mampu, karena mataku belum pernah menatap beliau.”


Ketika Zaid bin Ad-Datsinah radhiyallahu ‘anhu ditanya, setelah orang-orang Makkah membawanya keluar dari tanah suci untuk membunuhnya, “Apakah Anda ingin Muhammad berada di sini menggantikan Anda sehingga kami dapat memenggalnya, sementara Anda aman bersama keluarga Anda?”

Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak suka apabila Muhammad berada di tempatnya yang di situ beliau tertusuk duri hingga menyakitinya, sementara aku duduk bersama keluargaku.”

Abu Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun di antara orang-orang yang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad.”


Para sahabat ridhwanullahu ‘alaihim menerapkan cinta mereka kepada Nabi ﷺ ke dalam praktek amaliah. Mereka dengan mudah mengorbankan hidup dan harta mereka di jalan Allah dalam rangka taat dan cinta kepada Rasulullah ﷺ.

Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu mengungkapkan hal ini ketika beliau berkata kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, harta kami ada di tanganmu. Ambillah apa yang engkau inginkan dan tinggalkan apa yang engkau inginkan! Apa yang engkau ambil lebih kami sukai daripada apa yang engkau tinggalkan. Seandainya laut menghadang kami, kami akan terjun bersamamu, tidak seorang pun dari kami akan menahan diri. Demi Allah, kami sabar dalam peperangan dan memenuhi janji ketika berjumpa dengan musuh. Maka pimpinlah kami, wahai Rasulullah, ke tempat yang telah Allah perintahkan kepadamu!”


Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memiliki contoh-contoh nyata yang menunjukkan sangat cintanya kepada Rasulullah ﷺ. Ketika Nabi hijrah, ketika Allah taala mengizinkan Nabi-Nya untuk berangkat ke Madinah, beliau memberi tahu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tentang hal ini. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

Ketika kami sedang duduk di suatu hari di rumah Abu Bakr di siang bolong, ada yang berkata kepada Abu Bakr, “Ini Rasulullah ﷺ (datang) dengan menudungi kepalanya.” Di saat yang beliau tidak biasanya mendatangi kami.

Abu Bakr berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan beliau. Demi Allah, beliau tidak datang pada saat ini kecuali untuk urusan penting.”

Rasulullah ﷺ datang dan meminta izin untuk masuk. Beliau diizinkan dan beliau pun masuk. Rasulullah ﷺ berkata kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, “Suruhlah orang-orang yang ada di rumahmu untuk keluar!”

Abu Bakr menjawab, “Yang ada hanyalah keluargamu—ayahku sebagai tebusanmu—wahai Rasulullah.”

Rasulullah berkata, “Aku telah diberi izin untuk pergi hijrah.”

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku ingin menemanimu—ayahku sebagai tebusanmu—wahai Rasulullah.”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya.”

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menangis bahagia karena membayangkan berada di sisi Rasulullah ﷺ.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seseorang menangis bahagia sebelumnya sampai aku melihat Abu Bakr menangis pada hari itu.”


Dalam perjalanan hijrah, pada malam Abu Bakr pergi bersama Rasulullah ﷺ ke gua, terkadang Abu Bakr berjalan di depan beliau dan terkadang di belakang beliau. Rasulullah bertanya kepadanya dan Abu Bakr menjawab, “Aku ingat orang yang mengejar (yang datang dari belakang), maka aku berjalan di belakangmu. Aku ingat orang yang mencegat (yang mengintai di jalan), maka aku berjalan di depanmu.”

Nabi ﷺ bersabda, “Seandainya ada sesuatu, apakah engkau lebih suka dibunuh sebelum aku?”

Abu Bakr menjawab, “Ya, demi Allah yang mengutus Anda dengan kebenaran!”

Ketika mereka sampai di gua, Abu Bakr berkata, “Tunggu di sini, wahai Rasulullah, sampai aku memeriksa gua itu untukmu.”

Maka beliau pun memeriksanya.

Ketika orang-orang kafir Quraisy mengejar mereka, dan Suraqah bin Malik bin Ju’syam berhasil menyusul mereka dengan kudanya, Abu Bakr berkata, “Wahai Rasulullah, pengejar itu telah menyusul kita!”

Beliau menjawab, “Jangan bersedih. Allah beserta kita.”

Ketika Suraqah mendekat dan jarak antara kami dan dia kira-kira sejarak satu tombak, dua, atau tiga tombak, Abu Bakr berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, pengejar itu telah menyusul kita!” Aku pun menangis.

Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?”

Aku berkata, “Demi Allah! Aku tidak menangis untuk diriku sendiri, tetapi aku menangis untuk Anda.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mendoakan kejelekan untuk pengejarnya dengan mengatakan, “Ya Allah, lindungilah kami darinya sesuai kehendak-Mu.”

Kemudian kaki kuda pengejar itu terbenam sampai perut di tanah yang keras.

HR Ahmad nomor 3.


Dalam perang Uhud, banyak contoh kecintaan para sahabat kepada Nabi ﷺ ditunjukkan secara nyata. Yaitu, ketika kaum musyrik mengepung Rasulullah ﷺ dan orang-orang yang bersamanya. Dalam situasi genting ini, kaum muslimin bergegas menghampiri Rasulullah ﷺ dan membentuk penghalang di sekelilingnya dengan tubuh dan senjata mereka, berjuang sekuat tenaga untuk membelanya.

Abu Thalhah berdiri berjaga di hadapan Rasulullah ﷺ, mengangkat dadanya untuk melindunginya dari panah musuh, seraya berkata, “Leherku adalah perisai bagi lehermu, wahai Rasulullah.”


Abu Dujanah melindungi punggung Rasulullah ﷺ sehingga panah-panah menghujaninya namun beliau bergeming. Malik bin Sinan mengisap darah dari pipi Rasulullah ﷺ hingga bersih.


Sebuah batu muncul di hadapan Rasulullah ﷺ di atas gunung, dan beliau mencoba memanjatnya tetapi tidak berhasil. Thalhah bin ‘Ubaidullah duduk di bawahnya, dan Rasulullah naik ke atasnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Thalhah telah mendapatkan janah.”


Ketika perang Uhud, ada seorang wanita dari suku bani Dinar. Suami, saudara laki-laki, dan ayahnya terbunuh saat bersama Rasulullah ﷺ. Ketika orang-orang mengabarkan kematian mereka, ia bertanya, “Apa yang terjadi pada Rasulullah ﷺ?”

Mereka menjawab, “Dia baik-baik saja, wahai Umu Fulan, alhamdulillah, seperti yang kau inginkan.”

Ia berkata, “Tunjukkan beliau kepadaku agar aku dapat melihatnya!”

Maka mereka menunjukkan Rasulullah kepadanya. Ketika ia melihat beliau, ia berkata, “Seluruh musibah selain yang menimpa Anda terasa ringan.”


Diriwayatkan pula bahwa Tsauban, budak Rasulullah ﷺ yang telah dimerdekakan, sangat mencintai beliau ﷺ dan hampir tidak mampu berpisah darinya. Suatu hari, ia datang kepada Rasulullah dalam keadaan pucat dan menunjukkan tanda-tanda kesedihan. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, “Apa yang mengubah warna kulitmu?”

Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak sakit atau nyeri, tetapi ketika aku tidak melihatmu, aku merasakan kesepian yang mendalam sampai aku bertemu denganmu kembali. Kemudian aku teringat akhirat dan aku khawatir tidak akan melihatmu, karena engkau akan diangkat bersama para nabi. Sementara jika aku masuk janah, aku akan berada di tempat yang lebih rendah darimu. Jika aku tidak masuk janah, aku tidak akan pernah melihatmu selamanya.”

Kemudian ayat berikut diturunkan. Allah taala berfirman,

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama orang-orang yang telah dikaruniai Allah nikmat, yaitu para nabi, para shiddiq (orang yang sempurna dalam membenarkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad), para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.

QS An-Nisa’: 69


Para sahabat sangat terpukul atas wafatnya Nabi ﷺ, sampai-sampai ‘Umar mengingkari wafatnya beliau. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu membacakan ayat kepada mereka,

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡ

Muhammad itu hanyalah seorang utusan. Telah berlalu sebelumnya beberapa utusan. Maka jika ia wafat atau terbunuh, apakah kalian akan berbalik ke belakang kepada kekufuran?

QS Ali Imran: 144


Fathimah berkata ketika Rasulullah dimakamkan, “Mudahkah bagi kalian untuk melemparkan tanah ke atas Rasulullah?”

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Madinah, segala isinya bersinar terang. Pada hari beliau wafat, segala isinya gelap gulita. Kami belum sampai membersihkan debu di tangan setelah menguburkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kami telah mengingkari hati-hati kami (merasa berbeda daripada keadaan sebelum Nabi meninggal).”


Ada banyak contoh serupa, semuanya menunjukkan cinta sejati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya Allah, berilah kami taufik untuk menaati Nabi-Mu dan mencintainya dengan cara yang Engkau ridai.


Khotbah Kedua

Wahai hamba-hamba Allah, cinta sejati kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah sekadar kata-kata yang terucap di lidah, atau pelajaran dan khotbah yang disampaikan oleh para pemberi nasihat dan khatib. Pengakuan belaka tidaklah cukup. Bahkan, mencintai beliau ‘alaihish-shalatu was-salam haruslah menjadi cara hidup yang dijalani dan sebuah jalan yang diikuti. Allah benar ketika berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah, “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

QS Ali Imran: 31

Konsep mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diubah dan diselewengkan bagi sebagian orang. Sedangkan bagi para sahabat ridhwanallahu ‘alaihim, cinta ini berarti mengutamakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas segalanya. Menaati dan mengikuti beliau dalam segala hal. Bagi sebagian orang, konsep cinta kepada Nabi adalah menyusun selawat-selawat bidah dan menyelenggarakan perayaan maulid, sebagaimana yang terjadi sekarang pada sebagian umat Islam yang merayakan maulid Nabi, dan membaca syair-syair serta pujian-pujian yang mengandung makna berlebih-lebihan. Jika penghormatan dan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu diungkapkan melalui rasa hormat dan akhlak yang baik, sekarang bagi sebagian mereka, penghormatan kepada beliau adalah berlebih-lebihan sehingga mendudukkan Rasulullah melebihi batas-batas kemanusiaan dan mengangkat beliau ke derajat ketuhanan. Semua ini bersumber dari kekeliruan dan penyimpangan yang telah menyusup ke dalam makna dan konsep cinta.

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata:

Ketahuilah bahwa barangsiapa mencintai sesuatu, ia akan memprioritaskannya dan memprioritaskan pandangan / pendiriannya; jika tidak, maka ia tidak tulus dalam mencintainya dan hanya mengaku-aku. Orang yang tulus mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam adalah orang yang tanda-tanda cintanya tampak jelas padanya. Yang pertama adalah meneladani beliau, mengamalkan sunahnya, mengikuti perkataan dan perbuatannya, menaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan beradab dengan adabnya di kala sulit maupun mudah, di kala senang maupun benci. Dalilnya adalah firman Allah taala,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ

Katakanlah, “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.”

Ya Allah, jagalah kami tetap teguh di atas sunah. Ya Allah, bantulah kami untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.

Sumber:

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Secret Link